BETAHITA.ID - Dua tahun belakangan, Asmar Simanjuntak merasa orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) kian sering menyambangi kebun kerabatnya di Desa Bulu Mario, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Mereka merambah tanaman dan mengambil hasil panen. Diusir pun, kalau tak beramai-ramai, mereka hanya diam, kadang membalas, atau pergi tapi kembali lagi ketika sepi.
Tangan Asmar menunjuk satu pohon durian yang buahnya nyaris dihabisi oleh Mawas juhut bottar, sebutan warga untuk orangutan tapanuli, yang sehari sebelumnya dipergoki kerabatnya, Masniari Aritonang. Diusir dengan lemparan batu pun satwa itu malah membalas dengan lemparan batang kayu. Alhasil hanya buah durian yang masih muda tersisa di batang dan bekas kulit durian di bawah pohon.
Kala itu sedang masa panen durian di kebun. Masa panen desa itu terlambat satu hingga dua bulan dibanding desa lainnya.
“Kalau dulu tidak begitu sering. Kalau sudah ada PLTA (PLTA Batang Toru) dan tambangnya (tambang batu quarry) sudah keseringan,” keluhnya ketika ditemui di kebun milik kerabatnya pada awal Desember 2022.
Masniar Aritonang di pondok kebunnya di Desa Bulu Mario, Sipirok, Tapanuli Selatan. Satu pohon duriannya dihabisi oleh orangutan tapanuli. Konflik satwa di desa itu diduga karena pembangunan PLTA Batang Toru. Kredit foto: Aryo Bhawono/Betahita.
Kera besar itu merupakan satwa endemik Bentang Alam Batang Toru. Mereka ditetapkan sebagai spesies tersendiri, terpisah dari kerabatnya, orangutan sumatera (Pongo abelii) maupun orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus).
Perbedaan morfologi dengan orangutan lainnya adalah pada ukuran tengkorak dan tulang rahang lebih kecil, serta rambut yang lebih tebal dan keriting. Pengukuran tengkorak dan tulang rahang ini dilakukan oleh peneliti Anton Nurcahyo sebagai bagian dari studi doktoralnya yang sedang ia selesaikan di Australian National University (ANU) bersama dengan pakar taksonomi primata Colin Groves. IUCN mencatat satwa ini sebagai spesies terancam punah.
Proyek PLTA Batang Toru dibangun oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), perusahaan patungan PLN dengan BUMN Cina (SDIC). Pembangkit listrik itu dibangun dengan total luas lahan untuk keperluan pembangkit sendiri mencapai 122 Ha.
Warga desanya itu sebelumnya terbiasa hidup berdampingan dengan orangutan tapanuli. Tapi kini ia merasa ada perubahan, soal seringnya satwa itu datang hingga tabiat satwa yang kian berani dan cerdik. Menghadapi mereka di kebun pun kian repot.
Desa Bulu Mario berada di Bentang Alam Batang Toru, habitat orangutan tapanuli. Bentang alam ini memiliki kerapatan biodiversitas sangat tinggi berupa hutan pegunungan rendah, hutan gambut pada ketinggian 900 – 1000 mdpl, hutan batu kapur, hutan berlumut (seperti di pegunungan tinggi).
Cakupan hutan Batang Toru sedikitnya memiliki enam tipe habitat utama, yaitu hutan montana, hutan lumut, hutan lembab lereng bukit, hutan dataran rendah, karang dan lereng, hutan sekunder, dan hutan tepi sungai. Jenis habitat yang berbeda ini kebutuhan sumberdaya makanan, lokasi bersarang, ruang untuk pergerakan musiman dan arboreal, seperti halnya hubungan sosial orangutan dan perlindungan dari pemangsa mereka.
Orangutan tapanuli sendiri tersebar di lima meta populasi, yakni zona timur dengan 162 individu, zona barat dengan 533 individu, tepi selatan zona barat dengan 42 individu, zona transisi (yang berlaku sebagai jembatan darat) dengan 6 individu, dan zona selatan (Cagar Alam Sibual-buali) dengan 24 individu.
Hasil pengamatan Asmar, orangutan itu bukan datang dari zona selatan, melainkan dari arah hulu sungai Batang Toru (lokasi PLTA Batang Toru/zona barat). Satwa itu tak pernah menyeberangi sungai kecil di sebelah kebun kerabatnya, sifat alamiah mereka adalah berpindah dari pohon ke pohon dan menghindari bergerak di atas permukaan tanah.
Desa Batang Paya, satu desa yang berbatasan langsung dengan proyek PLTA Batang Toru. Menurut penuturan warga, sudah tak ada lagi penampakan orangutan tapanuli di desa itu. Kredit foto: Aryo Bhawono/Betahita
Cerita Asmar klop dengan pengakuan Desa Batang Paya, Parsaulian Simanjuntak. Batang Paya merupakan desa terdekat dengan hulu PLTA Batang Toru. Orangutan di desa itu sejak satu-dua tahun belakangan jarang terlihat.
Juntak, sapaan Parsaulian Simanjuntak, menyebutkan tahun kemarin ia pernah berpapasan dengan orangutan di kebunnya yang bersebelahan dengan proyek PLTA Batang Toru. Itu pun cuma sekali, setelahnya sama sekali tak pernah ia lihat.
“Tahun ini, bahkan tidak pernah. Sekalipun sekedar berpapasan. Itu cuma tahun kemarin saja,” ucapnya ketika ditemui pada awal Desember 2022.
Sedangkan ke arah hulu dari Desa Bulu Mario, Desa Batu Satail, warga menyebutkan kehadiran orangutan tapanuli pada musim durian kian meningkat. Musim durian di desa ini dan Batang Paya lebih dulu dari Bulu Mario.
Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan, menyebutkan sebelum pembangunan PLTA Batang Toru, zona barat (tempat pembangunan proyek PLTA Batang Toru), memiliki kepadatan paling tinggi. Kawasan itu merupakan wilayah jelajah dan masuknya distribusi orangutan tapanuli.
Blok habitat yang mengarah ke hilir PLTA Batang Toru, sekitar 600 ha masih berupa hutan tapi beberapa bagian merupakan kebun masyarakat, Makanya ketika ada aktivitas pembangunan PLTA Batang Toru, satwa ini menyebar kemana-mana, termasuk mengarah ke kebun warga di wilayah hilir dari PLTA Batang Toru di Bulu Mario dan desa-desa setelahnya.
“Memang ada perubahan pergerakan orangutan yang kami nilai akibat aktivitas PLTA ini,” jelasnya.
Laporan dari rekan-rekannya yang bergerak di bidang konservasi menyebutkan satwa itu menyebar ke beberapa tempat termasuk kawasan yang dipantau, yakni di Bulu Mario, arah ke hilir dari PLTA.
Masalahnya ketika orangutan tapanuli merambah perkebunan, warga juga melakukan tindakan pengusiran hingga melukai satwa itu. Misalnya saja peristiwa di Batang Paya pada 2019, seekor orangutan tapanuli ditemukan dengan luka bacok di bagian pelipis dan di badan bagian belakang.
Kala itu Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut dari perkebunan melakukan evakuasi. Diduga kera besar itu menghabiskan durian di pohon warga hingga membuat kesal. Konflik satwa dengan warga ini dikhawatirkan terus meluas karena perubahan pergerakan orangutan.
Beberapa laporan dari rekan-rekan konservasionis yang diterima Dana menyebutkan sosialisasi penanganan masuknya orangutan ke kebun warga telah dilakukan, baik oleh lembaga konservasi maupun BBKSDA. Namun jika kesaksian Asmar dan warga lain tersebut tidak ditindaklanjuti maka kebun di desa-desa itu menjadi jalur perlintasan utama untuk menghindari wilayah proyek PLTA Batang Toru. Artinya kemungkinan peningkatan keberadaan orangutan di kebun kian besar.
Interaksi satwa itu dengan manusia pun akan mengubah perilaku mereka. Misalnya saja orangutan tapanuli berani memberikan pesan supaya tak diganggu dengan melempar balik batang atau buah pada warga yang melintas ataupun mengusirnya.
Papan peringatan ledakan proyek pembangunan PLTA Batang Toru. Peledakan inidi proyek itu sangat keras hingga terdengar puluhan kilometer. Kredit foto: Aryo Bhawono
Apalagi, adaptasi orangutan cukup baik. Beberapa alat pengusiran yang dimiliki warga, seperti alat bunyi ledak dari pipa paralon, tidak akan memiliki pengaruh efektif. Karena dentuman bom di kawasan PLTA Batang Toru yang terjadi setiap hari bisa jadi membuat mereka tak takut dengan petasan itu.
“Tapi dengan intensitas pengrusakan sumber pendapatan, itu menurunkan toleransi, menurunkan tingkat toleransi terhadap orangutan,” ungkapnya.
Sedangkan proyek PLTA Batang Toru sendiri dibangun dengan terowongan sejajar berdiameter 12 meter dan panjang 12,5 km. Total luas lahan untuk keperluan pembangkit sendiri mencapai 122 Ha dengan luas bangunan 56 Ha.
Peneliti kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Onrizal, menyebutkan keberadaan PLTA ini mengakibatkan fragmentasi beberapa populasi orangutan tapanuli. Rencananya dari Sibual-buali (bagian selatan ekosistem Batang Toru) ke blok barat akan disatukan. Pembuatan koridor di ekosistem Batang Toru yang akan dilakukan untuk menyatukan habitat satwa liar dan langka termasuk orangutan tapanuli terganjal.
“Jalan inspeksi yang dibangun di atas terowongan memisahkan habitat orangutan tapanuli karena memisahkan kanopi pohon, ini yang seharusnya menjadi prioritas perhatian,” ucapnya.
Bukaan lahan diPLTA Batang Toru dan tambang emas martabe di bentang alam Batang Toru. olah data Auriga Nusantara.
Onrizal sendiri terlibat dalam penyusunan AMDAL PLTA Batang Toru pada 2013. Namun beberapa masukannya terkait penanganan kerentanan orangutan tapanuli tak masuk dalam AMDAL Perubahan. Padahal ia menyertakan informasi detail, termasuk mengenai titik koordinat keberadaan sarang dan orangutan itu sendiri.
Malah tandatangannya dipalsukan dalam AMDAL perubahan ketiga. Perubahan ini menyangkut kapasitas produksi listrik oleh PLTA itu.
Ia merasa kecewa dengan sikap pemerintah dalam proyek pembangunan PLTA itu. Menurutnya kondisi orangutan tapanuli kian terancam dengan keberadaan proyek ini. Merosotnya kualitas data penanganan orangutan tapanuli dalam setiap perubahan amdal sangat membahayakan populasi dan kepadatan mereka.
Misalnya saja, survei populasi orangutan di lokasi pembangunan baru dilakukan ketika proyek sudah berjalan. Tentu, dengan adanya aktivitas, jumlah mereka sudah merosot dari populasi sebelumnya.
Foto citra satelit PLTP Sarulla Geothermal Limited di bentang alam Batang Toru. Nampak di dekatnya terdapat tambang yang diduga tanpa izin. Dokumentasi Auriga Nusantara.
Bahaya Perburuan
Selain habitatnya yang terganggu, ancaman lain mengintai orangutan tapanuli, perburuan. Dugaan ini diungkapkan Dana ketika mendapat kabar penyelamatan anak orangutan tapanuli di Desa Sitolu Ompu, Kecamatan Pahae Jae, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pada 29 September 2022 lalu, dua warga desa melihat anak orangutan yang diperkirakan berusia 11 bulan dengan berat 3 kg itu makan durian pada sore namun hingga malam induknya tak kunjung datang, ketika didatangi pun ia malah mendekat.
Sepanjang pengalamannya bergaul dengan konservasionis ataupun ahli orangutan, tak mungkin induk orangutan meninggalkan anaknya. Baginya jelas, kabar penyelamatan itu hanya kedok untuk menutupi adanya perburuan.
“Ini aneh makanya patut dicurigai karena risikonya besar sekali kalau sampai sudah masuk pemburu,” ucapnya ketika ditemui di Medan pada Desember lalu.
Perburuan satwa ilegal lebih memilih anak daripada induk orangutan. Karena pasar satwa ilegal justru menginginkan orangutan dalam kondisi hidup. Ada kemungkinan induk anak orangutan itu mati dibunuh, namun jasadnya tak berhasil ditemukan.
Kecurigaan Dana bukan tanpa alasan, Penelitian berjudul ‘Perilaku Sosial Ibu dan Anak Orangutan (Pongo pygmeus) di Pusat Rehabilitasi Satwa Yayasan International Animal rescue Indonesia (YIARI) Kabupaten Ketapang’ menyebutkan kedekatan induk dan anak orangutan.
Perilaku alami anak orangutan sangat bergantung pada induk. Bahkan ketika anak orangutan justru menjadi penuntun ketika bertemu orangutan lain. Sedangkan induknya akan menemaninya dalam jarak tertentu sambil mengawasi.
Bagi Dana pun kabar janggal ini menjadi pertanda buruk, perburuan telah masuk ke bentang alam Batang Toru, habitat orangutan tapanuli.
Industri tambang dan energi di bentang alam Batang Toru. Kredit: Olah Data Auriga Nusantara,
Rumah Pongo Terhimpit Proyek Tambang dan Energi
Risiko perburuan orangutan tapanuli tak bisa dilepaskan dari terbukanya bentang alam Batang Toru. Selain PLTA Batang Toru, ada proyek besar dilakukan di kawasan ini, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla dan tambang emas Martabe,
Tambang emas Martabe dikelola PT Agincourt Resources yang letaknya berdekatan dengan hutan Batang Toru Blok Barat. Luas wilayah tambang ini berdasarkan kontrak adalah 1.303 km2.
Sedangkan di sekitar bentang alam Batang Toru terdapat dua hamparan konsesi, yakni seluas 427,2 ha yang sebagian masuk hutan lindung blok barat di sisi selatan dan seluas 15,7 Ha yang sebagian berada di atas hutan lindung blok barat sisi utara.
Bukaan lahan tambang emas martabe di bentang alam Batang Toru. olah data Auriga Nusantara.
Sedangkan PLTP Sarulla (Geothermal) yang dikelola oleh PT Medco Geothermal Indonesia berlokasi di antara Blok Hutan Batang Toru Barat dan Timur, di lembah Sarulla, Tapanuli Utara.
Komplek pembangkit dan wellpad tersebar di beberapa titik dengan total luas (77,3 ha). Pada pemetaan komplek pembangkit ini adalah NIL Geothermal Power Plant seluas 41,5 ha, Sarulla Geothermal Limited seluas 7 ha, Sarulla Geothermal Power Plant seluas 21,2 ha, dan PT SOL-SIL Well Injection seluas 1,6 hektar.
Dua proyek besar tersebut seperti mengepung bentang alam Batang Toru. PLTP Sarulla di dari sisi yang mengarah ke Danau Toba dan Martabe di Blok Barat, menuju muara. Aktivitas keduanya membuka bentang alam Batang Toru dari dua sisi. Sedangkan PLTA Batang Toru membuka bagian tengah bentang alam itu.
Peneliti Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto, menyebutkan selama ini risiko perburuan berbanding lurus dengan pembukaan lahan. Terbukanya akses ke habitat meningkatkan risiko terhadap perburuan satwa.
Sungai Batang Toru di Sumatera Utara, yang akan dimanfaatkan untuk proyek pembangunan PLTA Batang Toru. Proyek ini mengancam habitat dan populasi orangutan tapanuli. Kredit Foto: Yudi Noviandi.
“Artinya semakin terbuka kawasan habitat, pemburu jadi mudah masuk karena aksesnya mudah. Ini terjadi dimanapun, dan peristiwa di Pahae Jae itu indikasi kuat,” ucap dia.
Pembukaan lahan dari tiga proyek ini membahayakan seluruh bentang alam yang juga disebut “Harangan Tapanuli”.
Perda Provinsi Sumatera Utara No 27 Tahun 2017 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumut Tahun 2017-2037 mengatur mengenai kawasan ini. Bentang alam yang terentang di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah ini memiliki luas 240.985,21 hektar ini terbagi atas kawasan inti terdiri dari kawasan konservasi (suaka alam) dan hutan lindung seluas 147.771,82 hektar.
Kemudian, kawasan penyangga berupa hutan produksi terbatas, hutan produksi dan areal penggunaan lain seluas 94.213,39 hektar.
Hutan Batang Toru terfragmentasi antara Blok Hutan Batang Toru Barat dan Blok Hutan Sarulla Timur Provinsi Sumatera Utara, serta beberapa cagar alam.
Selain rumah bagi orangutan tapanuli, ekosistem Batang Toru adalah tempat tinggal bagi banyak spesies langka dan terancam, termasuk di antaranya adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), dan burung-burung seperti kuau raja (Argusianus argus). Ekosistem ini juga merupakan tempat tinggal enam spesies primata terancam seperti siamang (Symphalangus syndactylus), dan owa ungko (Hylobates agilis).
Uniknya bentang alam ini merupakan sedikit dari area di dunia di mana tiga spesies kera bisa hidup bersama secara simpatrik, menempati rentang geografis yang sama. Ekosistem Batang Toru bersifat beragam secara biologis, dengan lebih dari 310 spesies burung yang tercatat, 80 spesies reptil, 64 spesies katak dan kodok, serta lebih dari 1000 spesies pohon.
“Biodiversitas di tiap hektar batang toru sangat rapat. Ada sekitar 300 biodiversitas dalam tiap hektarnya,” ucap Onrizal.
Peneliti orangutan dari Universitas Nasional, Didik Prasetyo mengungkapkan ancaman terhadap habitat dan populasi orangutan tapanuli ini bukan berarti pembangunan kemudian gagal. Selama ini rekan-rekannya yang memprotes pembangunan PLTA mengambil kesimpulan dari asumsi historis atas keberadaan orangutan
Secara historis, seluruh bentang alam Batang Toru adalah satu kesatuan. Namun data itu harus dimutakhirkan sehingga setiap kendala melahirkan solusi, baik bagi orangutan tapanuli maupun perusahaan.
Orangutan Tapanuli Menyeberang jembatan Buatan di PLTA Batang Toru, Sumatera Utara. Kredit foto: Dokumentasi Didik Prasetyo.
“Kalau dulu semua memang menyambung, tapi kalau sekarang kan juga sudah ada jalan provinsi. Jadi sudah terpisah,” jelasnya ketika ditemui di Jakarta pada sekitar Januari 2023.
Didik sendiri pernah bekerja sebagai konsultan di PT NSHE selama dua tahun pada 2019. Selama ini status hutan lindung dan cagar alam yang mendukung bentang alam Batang Toru terpisah oleh tanah berstatus Areal Penggunaan Lain (APL) yang menjadi kebun warga.PLTA Batang Toru sendiri berdiri di tengah lahan APL.
Ia menyebutkan Sungai Batang Toru memang memang memisahkan blok habitat orangutan. Tidak semua kanopi pohon di pinggir sungai itu tertutup, hanya di tiga titik saja. Timnya memberikan rekomendasi untuk membangun jembatan bagi orangutan yang mau melintas.
“Ini adalah jembatan pertama yang dipakai oleh orangutan dan sudah dipakai. Sampai sekarang juga,” ucapnya.
Pembangunan jembatan ini sendiri ia tuliskan dalam laporan penelitian berjudul ‘The Effectiveness of artificial Canopy Bridges for The diurnal Primates within A Hydroelectric Project in North Sumatra-Indonesia’ yang dimuat dalam jurnal Folia Primatologica. Desain jembatan mengikuti karakter satwa, tak hanya orangutan tetapi juga kera lainnya yang ada di habitat itu.
Selain itu beberapa rekannya yang bekerja sama dengan perusahaan tambang emas Martabe maupun PLTP Sarulla juga membangun koridor orangutan tapanuli di beberapa titik. Koridor ini menyediakan tempat bagi satwa itu, termasuk untuk perlintasan.
DarMenteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya /Dok.menlhk.go.id
Terpisah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, ketika dimintai keterangan enggan menjawab panjang.
“Itu (kritik soal dampak PLTA Batang Toru terhadap orangutan tapanuli-red) soal politis, ada perang (dagang) antara China dan AS,” ketika ditanya pada akhir Januari lalu.
Liputan ini merupakan kolaborasi Betahita, The Jakarta Post, CNN Indonesia, KBR 68H, Jaring.id, SIEJ, dan dukungan riset serta olah data Auriga Nusantara.
Penanggung Jawab:
Sandy Indra Pratama
Tim Produksi:
Penulis: Aryo Bhawono
Riset dan Olah Data: Hafid Azi Darma
Desain: Robby Eebor
Web Developer: Faizal Dinar Alfaqih