LIPUTAN KHUSUS:
Indonesia Juara 1 Negara Paling Berpolusi se-Asia Tenggara
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Berdasarkan laporan tersebut, tingkat konsentrasi PM 2.5 harian Indonesia mencapai 30.4 µgram/m3, dan 36.2 µgram/m3 untuk Jakarta.
Polusi
Rabu, 15 Maret 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Indonesia menduduki posisi pertama negara dengan polusi udara tertinggi se-Asia Tenggara, menurut laporan World Air Quality (IQAir) Tahun 2022. Sementara secara global, posisi Indonesia ada di posisi ke-26 dalam daftar negara paling berpolusi. Berdasarkan laporan tersebut, tingkat konsentrasi PM 2.5 harian Indonesia mencapai 30.4 µgram/m3, dan 36.2 µgram/m3 untuk Jakarta.
Angka konsentrasi PM 2.5 ini menunjukkan adanya perbaikan kualitas udara dibanding tahun sebelumnya, yakni 11 persen secara nasional dan 7 persen di lingkup Jakarta. Meskipun begitu, tingkat konsentrasi tersebut masih enam hingga tujuh kali lipat lebih tinggi dari standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
“Dengan kondisi kualitas udara yang buruk, gugatan warga negara atas polusi udara juga masih menemui jalan buntu. Presiden RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan malah mengajukan upaya kasasi setelah banding mereka ditolak Pengadilan Tinggi pada November 2022. Itu mengindikasikan arogansi dan sikap abai pemerintah terhadap hak rakyat atas udara bersih,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia, dalam pernyataan resminya, Selasa (14/3/2023).
Laporan IQAir menyebutkan, polusi udara masih menjadi persoalan lingkungan terbesar yang berisiko terhadap kesehatan. Kelompok yang terus-menerus terekspos dengan udara buruk rentan mengalami gangguan kesehatan, mulai dari mengidap penyakit asma, kanker, paru-paru, jantung, hingga mengalami kematian.
Merujuk laporan yang sama, kualitas udara yang buruk berkontribusi terhadap lebih dari enam juta kematian per tahun di seluruh dunia. Adapun total kerugian ekonominya mencapai USD8 triliun, melebihi 6,1 persen PDB global.
Masyarakat yang tinggal di Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya di Indonesia sangat rentan terhadap polusi udara. Selain Jakarta, kota besar dengan tingkat polusi tinggi adalah Surabaya (34.4 µgram/m3), Bandung (26.1 µgram/m3), dan Semarang (24.3 µgram/m3).
Di Jakarta, misalnya, dampak buruk kualitas udara itu sangat dirasakan oleh masyarakat Marunda, Jakarta Utara. Warga yang bermukim di rumah susun sewa (rusunawa) Marunda harus menghirup polusi debu batu bara selama tiga tahun terakhir. Selain dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, polusi udara di Indonesia disebabkan sektor transportasi–khususnya kendaraan pribadi–dan kebakaran hutan serta lahan.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun lalu, pemerintah bersepakat mengadopsi Energy Transition Mechanism dengan melakukan pensiun dini sejumlah PLTU di Indonesia. Setidaknya ada 15 GW PLTU yang disebut akan dipensiunkan lebih awal, dimulai dari PLTU Batu Bara Cirebon 1 dengan kapasitas 660 MW.
Pensiun dini PLTU dan pembatalan pembangunan PLTU baru juga krusial mengingat Just Energy Transition Partnership (JETP) menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 34 persen pada 2030 dan sektor kelistrikan mencapai net zero emission di 2050. Kendati di sisi lain, skema perhitungan usia (life span) dan kompensasi untuk pensiun dini PLTU masih perlu dikritisi.
CEO Global IQAir, Frank Hammes, mengatakan warga lebih banyak berkontribusi dalam pemantauan kualitas udara. Lebih dari separuh data kualitas udara dunia justru disumbang oleh komunitas akar rumput.
“Kami membutuhkan pemerintah untuk memantau kualitas udara, tetapi kami tidak bisa menunggu mereka,” ujarnya.
Di sisi lain, Frank menambahkan, ini menandakan adanya pergeseran kesadaran dan upaya bersama warga untuk meningkatkan kualitas udara.
“Pemantauan kualitas udara oleh masyarakat menciptakan transparansi dan urgensi. Ini mengarah pada tindakan kolaboratif untuk meningkatkan kualitas udara,” imbuh Frank.