LIPUTAN KHUSUS:

Pemulihan Hutan Hanya Imbangi 26% Emisi Karbon dari Deforestasi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Jumlah total karbon yang terserap dalam pertumbuhan hutan di atas permukaan tanah hanya cukup untuk mengimbangi sekitar seperempat (26%) dari emisi karbon saat ini akibat deforestasi dan degradasi hutan tropis.

Hutan

Jumat, 17 Maret 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sebuah studi global menemukan bahwa deforestasi dan hutan yang hilang atau rusak akibat perubahan lingkungan dan manusia, seperti kebakaran dan penebangan, dengan cepat melampaui laju pertumbuhan kembali hutan saat ini.

Hutan tropis merupakan ekosistem yang sangat penting dalam memerangi keadaan darurat iklim dan ekologi. Penelitian yang dipublikasikan pada 15 Maret 2023 di jurnal Nature dan dipimpin oleh University of Bristol ini menyoroti potensi penyimpanan karbon dan batas-batas pertumbuhan kembali hutan saat ini untuk mengatasi krisis tersebut.

Temuan ini menunjukkan, hutan yang terdegradasi yang pulih dari gangguan manusia, dan hutan sekunder yang tumbuh kembali di daerah yang sebelumnya gundul, setiap tahunnya melepaskan setidaknya 107 juta metrik ton karbon dari atmosfer di seluruh wilayah tropis. Tim peneliti internasional telah menghitung tingkat pemulihan stok karbon di atas permukaan tanah dengan menggunakan data satelit di tiga hutan tropis terbesar di dunia.

Meskipun hasil penelitian menunjukkan nilai karbon yang penting dari konservasi hutan yang sedang pulih di seluruh wilayah tropis, jumlah total karbon yang terserap dalam pertumbuhan hutan di atas permukaan tanah hanya cukup untuk mengimbangi sekitar seperempat (26%) dari emisi karbon saat ini akibat deforestasi dan degradasi hutan tropis.

Deforestasi di Kalimantan Tengah./Foto: Ario Tanoto

Viola Heinrich, yang baru-baru ini meraih gelar Ph.D. di bidang geografi fisik di University of Bristol School of Geographical Science, mengatakan, studi yang mereka lakukan memberikan perkiraan pan-tropis pertama dari penyerapan karbon di atas permukaan tanah di hutan tropis yang pulih dari degradasi dan deforestasi.

"Meskipun melindungi hutan tropis kuno tetap menjadi prioritas, kami menunjukkan nilai dari pengelolaan kawasan hutan secara berkelanjutan yang dapat pulih dari gangguan manusia," katanya.

Para ilmuwan lingkungan di University of Bristol bekerja sama dengan para ahli dari Institut Nasional Penelitian Antariksa Brasil (INPE), yang juga berkolaborasi dengan para ilmuwan dari Inggris, Eropa dan Amerika Serikat.

Tim ini menggunakan data satelit yang dapat membedakan deforestasi dengan gangguan lain yang disebabkan oleh manusia, seperti penebangan dan kebakaran, untuk menentukan jenis hutan yang tumbuh kembali. Dikombinasikan dengan informasi mengenai karbon di atas permukaan tanah dari Badan Antariksa Eropa (ESA), dan variabel lingkungan, tim tersebut membuat model pola spasial pertumbuhan kembali hutan di Amazon, Afrika Tengah, dan Kalimantan.

Mereka menemukan jenis gangguan manusia di Kalimantan menghasilkan pengurangan karbon terbesar di hutan yang terdegradasi, terutama karena penebangan pohon yang bernilai ekonomi tinggi, dibandingkan di Amazon dan Afrika Tengah. Selain itu, iklim dan lingkungan di Kalimantan juga menyebabkan akumulasi karbon sekitar 50% lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lainnya.

"Model pemulihan karbon yang kami kembangkan dapat memberi informasi kepada para ilmuwan dan pembuat kebijakan mengenai potensi penyimpanan karbon di hutan sekunder dan hutan yang terdegradasi jika hutan-hutan tersebut dilindungi dan dibiarkan pulih kembali," ujar Viola, yang kini menjabat sebagai Research Associate di University of Exeter.

Tim juga menemukan sepertiga dari hutan yang terdegradasi akibat penebangan atau kebakaran kemudian benar-benar gundul, yang menekankan kerentanan penyerap karbon pada hutan yang sedang dalam proses pemulihan.

"Hutan tropis menyediakan banyak sumber daya langsung yang penting bagi jutaan manusia dan hewan. Dalam skala besar, kita perlu melindungi dan memulihkan hutan tropis untuk nilai karbon dan iklimnya. Dalam skala lokal, masyarakat perlu diizinkan untuk terus menggunakan hutan secara berkelanjutan," tambah Viola.

Jo House, Pembaca Ilmu dan Kebijakan Lingkungan di University of Bristol, yang telah menulis banyak kajian internasional mengenai perubahan iklim dan hutan, mengatakan, berbagai negara telah berulang kali berjanji untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan serta merestorasi area yang terdeforestasi.

"Ini adalah cara yang paling hemat biaya dan segera tersedia untuk menghilangkan karbon dari atmosfer, di samping banyak manfaat tambahan seperti keanekaragaman hayati, pengendalian banjir, dan perlindungan mata pencaharian masyarakat adat," kata Jo Hose.

"Namun, target-target tersebut berulang kali meleset karena kurangnya dukungan dan kemauan politik internasional yang terkoordinasi secara serius. Penelitian kami menunjukkan bahwa waktu semakin menipis," imbuhnya.

Pada COP27 yang diselenggarakan di Mesir, November lalu, Brasil, Indonesia, dan Kongo membentuk aliansi Selatan-Selatan untuk melindungi hutan hujan. Pada Januari 2023, presiden baru Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, telah berjanji untuk membatalkan kerusakan yang disebabkan oleh kebijakan sebelumnya dan kembali melindungi dan memulihkan Amazon.

Luiz Aragão, Kepala Divisi Pengamatan Bumi dan Geoinformatika di Institut Nasional untuk Penelitian Antariksa (INPE) di Brasil, menuturkan, berfokus pada perlindungan dan restorasi hutan tropis yang terdegradasi dan hutan tropis sekunder merupakan solusi yang efisien untuk membangun mekanisme yang kuat untuk pembangunan berkelanjutan di negara-negara tropis.

"Hal ini akan menghasilkan nilai moneter untuk jasa lingkungan lokal dan global yang disediakan oleh hutan-hutan tersebut, yang pada gilirannya akan memberikan manfaat bagi masyarakat lokal secara ekonomi dan sosial," ujarnya.

Tim ini sekarang berencana untuk mengembangkan penelitian ini, dengan meningkatkan estimasi kehilangan dan perolehan karbon dari berbagai jenis dan intensitas gangguan hutan di seluruh wilayah tropis.

PHYS