LIPUTAN KHUSUS:
Gelap Kematian Badak Jawa
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Dari sekian banyak badak yang mati di ujung barat Pulau Jawa itu, sebagian besar tak diketahui penyebabnya.
Biodiversitas
Senin, 17 April 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Gelap menyelimuti kematian sejumlah badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Sebab dari sekian banyak badak yang mati di ujung barat Pulau Jawa itu, sebagian besar tak diketahui penyebabnya. Meskipun sisa jasad badak telah dianalisis oleh para peneliti.
"Kebanyakan ditemukan berupa tulang dan kita kirimkan kepada fakultas kedokteran hewan di Bogor untuk dianalisis lebih lanjut. Belum (hasil dari analisis). Kesulitan karena tulang-tulangnya enggak lengkap tercerai berai," kata Anggodo, Kepala Balai TNUK, melalui pesan percakapan, Kamis (13/4/2023).
Awal Februari 2020 lalu, badak jawa bernama Febri (ID. 074. 2018) ditemukan sudah berupa tulang belulang. Sisa jasad badak betina itu ditemukan di Blok Cibandowoh Resort Karangranjang, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).
Sekitar satu tahun kemudian, tepatnya 17 Januari 2021, tulang belulang badak lainnya ditemukan di Blok Citengah, Resort Pulau Handeuleum, TNUK. Belulang itu kemudian teridentifikasi milik badak jawa berkelamin jantan bernama Wira (ID. 067. 2015).
Tak sampai satu bulan setelah sisa badak Wira ditemukan, pada 7 Februari 2021, tulang belulang badak lainnya juga ditemukan di Blok Citadahan, Resort Cibunar, TNUK. Belakangan belulang ini diketahui milik badak jawa betina bernama Puspa (ID. 015. 2011).
Demikian menurut dokumen tentang laporan pemantauan populasi badak yang Betahita lihat. Namun tidak ada informasi tentang penyebab kematian masing-masing badak itu dalam laporan dimaksud
"Penyebab kematian masih belum diketahui. Saat ini beberapa sampel kerangka berada di laboratorium anatomi FKH IPB University untuk dianalisis DNA," bunyi keterangan kematian badak Febri, Wira dan Puspa, seperti tertulis dalam laporan.
Kematian tiga badak beruntun ini mulanya sama sekali tidak diketahui publik secara luas. Sama sekali tidak ada kabar kematian badak yang disiarkan pihak management authority (MA) atau otoritas pengelolaan spesies di Indonesia--dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahkan kepada media massa.
Hanya KLHK dan orang-orang tertentu yang bergelut dengan dunia konservasi badak jawa saja yang tahu. Hingga akhirnya laporan berjudul Badak Jawa di Ujung Tanduk yang dipublikasikan oleh Yayasan Auriga Nusantara, Selasa (11/4/2023) kemarin, mengungkap kematian tiga badak itu.
“KLHK seolah tidak mau menerima kabar buruk, dan fokus pada berita kelahiran supaya pengelolaan terlihat baik-baik saja agar bagus citranya. Kalau kematian lebih sensitif karena menandakan adanya penurunan populasi,” kata Riszki, Peneliti Spesies Yayasan Auriga Nusantara.
Namun Anggodo punya alasannya sendiri. Anggodo bilang, tidak ada maksud untuk menyembunyikan kasus kematian tiga badak terakhir. Hanya saja pihaknya butuh waktu lama untuk mengetahui identitas badak yang mati, baik jenis kelamin maupun nama si badak. Kematian tiga badak ini juga telah dilaporkan kepada Menteri Siti Nurbaya.
"Kalau yang terakhir itu, yang tiga, itu ditemukan bentuknya tulang dan tersebar juga. Susah diidentifikasi, makanya agak lama prosesnya. Dibawa ke lab Bogor untuk mengetahui jatan atau betinanya. Kan enggak ketahuan kalau dia tulang," kata Anggodo dalam percakapan telepon, pada Rabu (12/4/2023).
"Makanya untuk namanya itu agak lambat kita. Harus hati-hati. Entar salah sebut, entar ternyata badaknya sehat walafiat. Bukan saya rahasiakan. Enggak," imbuhnya.
Betahita mencoba meminta data badak jawa yang mati yang pernah tercatat kepada Balai TNUK. Hasilnya, ada 16 badak yang mati yang dicatat Balai TNUK sejak 2000 hingga 2021. Namun data yang disampaikan pihak pengelola TNUK itu tidak disertai dengan keterangan identitas badak yang mati.
Setelah ditelusuri, dari 16 badak mati itu 11 di antaranya diketahui identitasnya, yakni Sudara (2012), Iteung (2013), Sultan (2014), Arjuna (2014), Demang (2015), Samson (2018), Sari (2018), Manggala (2019), Febri (2020), Wira (2021) dan Puspa (2021)---data identitas 11 badak yang mati ini juga disajikan Auriga Nusantara dalam laporannya.
Seperti disebutkan di awal tulisan, kematian sejumlah badak jawa di TNUK gelap, tidak jelas penyebab pastinya. Bahkan data yang diberikan Balai TNUK kepada Betahita menyebut 10 badak mati dengan penyebab kematian 'tidak diketahui'. Badak lainnya disebut mati tua, faktor alamiah (tua), dan mati. Hanya itu.
"Tapi selama ini, dari hasil identifikasi dari FKH IPB itu kebanyakan matinya menua. Kecuali si Samson dan Sultan (masalah) di ususnya di lambungnya, kayanya dari pakan," kata Anggodo.
Anggodo tidak setuju bila kematian badak jawa disebut tidak diusut tuntas. Menurut dia, tiap kali ada badak yang mati, pihaknya selalu langsung datang ke lokasi, dan melibatkan dokter hewan dari IPB Bogor untuk membantu identifikasi.
"Selalu kita tangani. Tidak kita biarkan. Kalau yang terakhir semuanya alami, mati di hutan, mungkin sudah tua. Karena yang tahu kan dokter hewan, bukan kita," ujar Anggodo.
Penyebab pasti kematian badak-badak jawa ini adalah suatu hal yang sangat penting untuk diketahui. Riszki menyebut, pengetahuan tersebut sangat berguna untuk mengantisipasi kejadian kematian badak jawa, terutama yang secara tidak wajar, pada masa yang akan datang. Juga untuk mengedukasi masyarakat luas tentang kondisi populasi badak jawa sebenarnya yang ada di Ujung Kulon.
"Karenanya, ketidaktuntasan mengusut setiap kematian badak jawa, sehingga tidak memadai memberikan rujukan bagi pengelolaan badak jawa, adalah kesalahan fatal," katanya.
Hasil Penelitian Terdahulu
Kasus-kasus kematian badak jawa ini sebetulnya sudah menjadi perhatian para peneliti sejak lama. Beberapa bahkan melakukan penelitian langsung di Ujung Kulon, dan hasilnya telah menjadi bahan rujukan penelitian-penelitian lainnya tentang badak jawa.
Seperti 2010 lalu, sejumlah peneliti menemukan adanya parasit darah Trypanosoma evansi pada lalat tabanus dalam kematian 3 badak jawa. Perlu diketahui, Trypanosomiasis atau Surra merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui gigitan lalat penghisap darah (haematophagus flies).
Trypanosoma, juga ditemukan pada 91 ternak kerbau di desa-desa sekitar TNUK, menurut pemantauan pada 2017.
Trypanosoma sendiri merupakan momok yang menghantui konservasionis badak sumatera di Malaysia, karena parasit inilah yang diduga menyebabkan kematian 5 badak sumatera dalam rentang 18 hari di captive breeding facility di Selangor, Malaysia, pada Oktober-November 2003 silam.
Mundur ke belakang, kematian badak jawa sebelumnya juga pernah tercatat terjadi pada 28 Desember 1981 hingga 18 Februari 1982 di TNUK--saat itu masih berstatus Cagar Alam Ujung Kulon. Dalam rentang waktu tak lama itu ada lima badak yang mati.
Kematian 5 badak jawa kala itu diyakini tidak wajar. Ada sejumlah spekulasi penyebab kematian 5 badak yang disampaikan beberapa ahli. Salah satunya akibat serangan penyakit, di antaranya Speticaemia Epizooticae (SE), Anthrax, dan Trypanosomiasis (Surra).
Dugaan akibat wabah penyakit tersebut muncul karena beberapa badak yang mati mengalami prolapsus ani dan mencret/diare. Apalagi di saat bersamaan terdapat 4 ekor banteng (Bos javanicus) dan 25 ekor kerbau milik warga yang juga mati dan menunjukkan tanda-tanda serangan penyakit, seperti mulut berbusa dan leher bengkak.
Penyebab lain yang keluar dari para peneliti adalah akibat keracunan dan faktor ekologi. Diketahui badak mengalami perubahan kebiasaan makan. Peneliti menduga tanaman yang baru dikenal yang kemudian dimakan badak kemungkinan mengandung racun. Tumbuhan yang digemari badak makin berkurang karena perubahan ekologi tumbuhan atau persaingan dengan satwa lain.
Sebelum 1981, kematian badak juga dilaporkan pada 1975 di Cihandeuleum 1 individu, pada 1978 di Ciujung Kulon 1 indivudu dan pada 1980 satu individu badak hilang dan diduga mati. Di periode tersebut, kematian 60 ekor kerbau dilaporkan terjadi di Kecamatan Cimanggu pada 1975 akibat SE, dan 40 ekor kerbau lainnya di Kecamatan Muncul pada 1979, Kabupaten Pandeglang.
Kabar Kematian Badak
Gelap penyebab kematian badak-badak jawa ini, segelap kabar kematiannya. Dalam laporannya, Auriga Nusantara menyebut, dari 11 badak jawa yang mati di TNUK dalam rentang waktu 2012 hingga 2021, hanya 3 badak saja yang kabar kematiannya secara resmi dipublikasikan oleh KLHK, yakni kematian badak Samson, Sari dan Manggala. Empat kematian badak lainnya terungkap begitu saja oleh media massa, dan sisanya sama sekali tidak ada kabarnya.
Dok. Auriga Nusantara
Publikasi resmi kematian badak jawa oleh KLHK terakhir kali dilakukan pada 2019 lalu. Pada tahun itu KLHK mengabarkan kematian badak bernama Manggala (ID. 070. 2017). Badak jantan ini ditemukan mati dalam kondisi utuh, di Blok Citadahan, wilayah kerja Resort Cibunar, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Pulau Handeuleum, TNUK. Menurut kesimpulan awal, badak tersebut mati diduga bukan karena penyakit infeksius.
"1 ekor tahun 2019, nama Manggala, penyebab tidak diketahui," kata Anggodo, saat ditanya ada berapa individu badak jawa yang mati dalam kondisi masih utuh dah sudah diketahui dugaan penyebab kematiannya.
Itu pernyataan Anggodo yang terbaru. Pada 2019 lalu, kepada Mongabay, Anggodo menyebut badak Manggala diduga terkena serangan badak dewasa. Pernyataannya itu merujuk pada adanya 7 luka pada bagian permukaan tubuh badak Manggala.
Dugaan serangan badak dewasa ini, katanya, berasal dari hasil pemeriksaan pascakematian (post mortem). Luka itu dikatakannya bukan karena senjata tajam.
Sejumlah sampel organ Manggala dianalisis di Fakultas Kedokteran Hewan-IPB, LIPI dan Balai Penelitian Veteriner Bogor. Namun sampai sekarang, belum ada kabar lebih lanjut tentang hasil analisis sampe organ Manggala.
Setahun sebelumnya, badak Samson (ID. 037. 2012) ditemukan mati dengan posisi mengambang di pantai Karang Ranjang, Resort Karangranjang, SPTN Wilayah II Pulau Handeuleum, TNUK. Sama seperti badak Manggala, jasad badak Samson ini juga masih utuh.
Kasus kematian badak Samson ini sedikit lebih terang ketimbang kasus-kasus lainnya. Tim dokter hewan WWF Indonesia yang ikut melakukan pemeriksaan, menyebut kematian Samson ini tidak ada sangkut pautnya dengan penyakit menular dan bukan pula karena perburuan.
”Kesimpulan awal, penyebab kematian badak ini adalah kholik atau torsio usus, yaitu usus besar dan usus kecil terpuntir (torso), mengakibatkan kerusakan pada usus besar, hingga bakteri mikroflora usus menghasilkan racun dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh badak,“ imbuh Dr. Drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet, ahli patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Sementara itu, dalam laporan Auriga Nusantara, terungkap bahwa terdapat lubang yang menembus tengkorak badak Samson. Lubang tersebut diduga kuat akibat tembakan peluru senjata api. Belum jelas, apakah luka tembus pada tengkorak badak jantan ini ada kaitan dengan penyebab kematiannya.