LIPUTAN KHUSUS:

PBB: El Nino Meningkat, Suhu Panas Bisa Menembus Rekor Baru 


Penulis : Kennial Laia

Dampak cuaca El Niño mungkin akan paling terlihat pada 2024, termasuk kekeringan parah di Indonesia, Australia, dan sebagian Asia Selatan.

Perubahan Iklim

Senin, 08 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa fenomena cuaca El Niño berpotensi meningkat beberapa bulan mendatang. Hal ini dapat memicu suhu global yang lebih tinggi dan kemungkinan rekor panas baru.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB mengatakan pada Rabu bahwa saat ini diperkirakan terdapat 60% kemungkinan El Niño akan berkembang pada akhir Juli, dan 80% kemungkinan akan terjadi pada akhir September.

“Ini akan mengubah pola cuaca dan iklim di seluruh dunia,” kata Wilfran Moufouma Okia, kepala divisi layanan prediksi iklim regional WMO, kepada wartawan di Jenewa, dikutip Guardian

El Niño, yang merupakan pola iklim alami yang biasanya dikaitkan dengan peningkatan panas di seluruh dunia, serta kekeringan di beberapa bagian dunia dan hujan lebat di tempat lain, terakhir kali terjadi pada 2018-2019.

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan bencana berulang, berdampak pada kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi. Foto: Greenpeace Indonesia

Namun sejak 2020, dunia telah dilanda La Niña yang sangat panjang – pendinginan dan kebalikan dari El Niño – yang berakhir awal tahun ini, digantikan oleh kondisi netral saat ini.

Menurut PBB, delapan tahun terakhir adalah yang terhangat yang pernah tercatat, meskipun efek pendinginan La Niña berlangsung hampir setengah dari periode itu. Tanpa fenomena cuaca itu, situasi pemanasan bisa menjadi lebih buruk.

La Niña "bertindak sebagai rem sementara pada kenaikan suhu global", kata kepala WMO, Petteri Taalas, dikutip dari pernyataan resmi. Sekarang, katanya, “dunia harus bersiap menghadapi perkembangan El Nino.”

Taalas mengatakan bahwa pola iklim hangat yang diprediksi tersebut kemungkinan besar akan menyebabkan lonjakan baru dalam pemanasan global dan meningkatkan kemungkinan memecahkan rekor suhu.

Pada tahap ini, tidak ada indikasi kekuatan atau durasi El Nino yang mengancam. Yang terakhir dianggap sangat lemah, tetapi yang sebelumnya, antara 2014 dan 2016, dianggap sebagai yang terkuat, dengan konsekuensi mengerikan.

WMO menunjukkan bahwa 2016 adalah "tahun terhangat yang pernah tercatat karena "pukulan ganda" dari peristiwa El Niño yang sangat kuat dan pemanasan akibat gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia".

Karena efek El Niño pada suhu global biasanya muncul setahun setelah muncul, dampaknya mungkin akan paling terlihat pada 2024, kata Taalas.

“Kami memperkirakan dalam dua tahun mendatang akan terjadi peningkatan suhu global yang serius,” kata Okia. 

Taalas menyoroti bahwa kedatangan El Niño dapat memiliki beberapa efek positif, yang mungkin membawa kelonggaran dari kekeringan di Tanduk Afrika dan dampak terkait La Niña lainnya.

Tapi itu “juga bisa memicu cuaca dan iklim yang lebih ekstrim,” katanya. Taalas menekankan perlunya sistem peringatan dini yang efektif “untuk menjaga orang tetap aman”.

Menurut WMO, tidak ada dua peristiwa El Niño yang sama dan pengaruhnya bergantung, sebagian, pada waktu dalam setahun. Selain itu badan meteorologi nasional akan memantau perkembangannya dengan cermat.

Pola iklim terjadi rata-rata setiap dua hingga tujuh tahun, dan biasanya berlangsung selama sembilan hingga 12 bulan. Hal ini biasanya terkait dengan pemanasan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik tropis tengah dan timur.

Curah hujan yang meningkat biasanya terlihat di bagian selatan Amerika Selatan, Amerika Serikat bagian selatan, Tanduk Afrika, dan Asia Tengah, sementara kekeringan parah dapat terjadi di Australia, Indonesia, dan sebagian Asia selatan.

Selama musim panas di belahan bumi utara, air hangat El Niño juga dapat memicu badai di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur, sekaligus menghalangi formasi badai di cekungan Atlantik, kata WMO.