LIPUTAN KHUSUS:
Sengketa Lahan Berujung Kriminalisasi Warga Kinjil
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kelompok masyarakat sipil beranggapan penangkapan Aleng Cs adalah bentuk kriminalisasi terhadap warga yang menginginkan keadilan atas tanahnya yang digarap perusahaan.
Agraria
Selasa, 16 Mei 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Rasa senang tampak dari wajah Aleng Sugianto, Maju dan Suwadi, saat kawan-kawan sekampungnya menjenguk mereka ke Polres Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah (Kalteng), Rabu, 10 Mei 2023 kemarin. Apalagi beberapa hari sebelumnya, mereka sudah mendapat kepastian pendamping hukum dari Koalisi Keadilan untuk Kinjil dan Masyarakat Sekayu Darat.
Tiga warga Desa Kinjil, Kecamatan Kotawaringin Lama (Kolam) itu sejak beberapa pekan belakangan terpaksa mendekam dalam sel tahanan Polres Kobar, karena dituduh mencuri buah sawit atas laporan PT Bumitama Gunajaya Abadi (BGB), anak perusahaan PT Bumitama Gunajaya Agro (BGA)--Harita Group.
Lima hari kemudian, tepatnya Senin, 15 Mei 2023, di luar markas polisi itu, puluhan mahasiswa menggelar aksi solidaritas untuk Aleng dan kawan-kawan. Di waktu yang hampir bersamaan, aksi serupa juga digelar ratusan warga sejumlah desa di Kolam di depan gerbang PT BGB. Dua aksi itu diisi dengan orasi tuntutan agar kasus Aleng, Maju dan Suwadi dihentikan dan ketiganya dibebaskan.
Mundur dua pekan ke belakang, tepatnya pada 27 April 2023, Aleng tiba-tiba datangi sejumlah anggota polisi saat dirinya tengah berburu tupai di kebunnya, dan kemudian dibawa ke kantor polsek setempat untuk dimintai keterangan atas tuduhan pencurian buah sawit yang disangkakan padanya.
Setelah diperiksa dan ditahan kurang dari 24 jam di polsek, pada 28 April 2023 pukul 02.00 WIB dini hari, Aleng dan keenam warga lainnya--yang juga dipanggil ke kantor polisi untuk diperiksa, yang masih memiliki hubungan keluarga, dibawa ke Kantor Polres Kobar. Singkat cerita, tiga di antaranya yaitu Aleng, Maju dan Suwadi ditetapkan sebagai tersangka.
Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun Betahita, ternyata ada permasalahan lahan antara Aleng dan PT BGB yang melatarbelakangi kasus penangkapan Aleng Cs ini. Kelompok masyarakat sipil beranggapan penangkapan Aleng Cs adalah bentuk kriminalisasi terhadap warga yang menginginkan keadilan atas tanahnya yang digarap perusahaan.
Kasus sengketa lahan ini berawal saat lahan milik Aleng seluas sekitar 8,3 hektare di Desa Kinjil, pada 2006 silam, masuk dalam kemitraan 50:50 inti-plasma yang dibuat Pemerintah Desa Kinjil dengan PT BGB. Berjalannya waktu, Aleng menemukan adanya keganjilan dalam proses kemitraan inti-plasma, yang kemudian mendorong dirinya meminta lahannya dikembalikan.
Keganjilan dimaksud adalah, luas lahan plasma yang diperoleh Aleng tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Karena luas plasma sawit yang diterima Aleng hanya seluas 0,3 hektare. Luasan plasma tersebut sangat jauh dari 8,3 hektare total luas lahan miliknya yang digarap perusahaan.
Atas keganjilan kemitraan inti-plasma PT BGB ini, Aleng kemudian meminta lahannya dikembalikan. Setelah beberapa tahun memperjuangkan lahannya, pada 2020 lalu, Pemerintah Desa Kinjil akhirnya mengeluarkan surat yang berisi kesepakatan mengembalikan lahan seluas 8,3 hektare kepada Aleng dan 11,24 hektare kepada warga lainnya, bernama Kitab, yang juga meminta pengembalian lahan.
Kesepakatan pengembalian tanah kepada Aleng ini diambil lantaran pada kesempatan pertemuan sebelumnya, perwakilan PT BGB menyatakan bahwa permasalahan sengketa antara pihak perusahaan dengan Aleng, penyelesaiannya dikembalikan kepada Pemerintah Desa Kinjil. Kemudian, sesuai keterangan pihak Tim Desa Kinjil, apabila pihak perusahaan tidak menyelesaikan permasalahan sengketa lahan, maka tanah yang digarap perusahaan dikembalikan lagi kepada Aleng sebagai pemilik lahan awal.
"Dari keempat point tersebut di atas serta keterangan tim Desa Kinjil, maka kami sepakat mengembalikan tanah tersebut kepada pihak ketiga (Aleng dan Kitab), karena tanah tersebut memang benar-benar milik pihak ketiga, serta selama lahan tersebut dibuka pihak perusahaan, pihak ketiga tidak menerima kavelingan plasma sesuai dengan yang dijanjikan oleh pihak-pihak desa yang bertanggung jawab sebelumnya," tulis Surat Kesepakatan bermaterai 6000, yang dibuat pada 20 Maret 2020 lalu.
"Maka atas nama keadilan kami ambil kesepakatan ini, dengan ini apabila adanya permasalahan pihak lain merugikan pihak perusahaan dan pihak ketiga pada masa pembukaan lahan tersebut pihak pertama (pemerintah desa) tidak ikut bertanggung jawab," imbuh surat tersebut.
Juru bicara Koalisi Masyarakat Sekayu Darat, Gusti Samudera, menerangkan, sejak Surat Kesepakatan itu dikeluarkan pemerintah desa, Aleng sudah beberapa kali berusaha mengajak pihak perusahaan untuk duduk bersama membicarakan ulang kelanjutan kerja sama kemitraan inti-plasma atas lahannya. Namun pihak perusahaan selalu abai.
"Jadi sudah ada niat baik dari Pak Aleng, tapi diabaikan perusahaan. Pak Aleng hanya minta plasma 4 hektare, 4 hektare lainnya untuk perusahaan," kata Samudera, Senin (15/5/2023).
Tidak adanya kejelasan kelanjutan kemitraan inti-plasma ini, kemudian memicu Aleng untuk melakukan pemanenan sawit yang ada di atas lahannya. Belakangan pemanenan sawit yang dilakukan Aleng dan keluarganya itu disoal perusahaan, berbuah pada pelaporan kepada pihak kepolisian oleh perusahaan.
Samudera melanjutkan, pihaknya bersama ratusan masyarakat Sekayu Darat--sebutan masyarakat adat dayak di Kecamatan Kotawaringin Lama, melakukan aksi di gerbang PT BGB meminta kasus hukum Aleng Cs dihentikan. Namun dalam pertemuan dengan perwakilan warga, manajemen PT BGB menyebut tidak berencana untuk mencabut laporan.
"Mereka bilang tetap meminta proses hukum dijalani saja. Yang hadir tadi tidak bisa memutuskan (menerima permintaan warga), karena kata mereka harus dibicarakan dengan pimpinan," ujar Samudera.
Samudera bilang, pihaknya akan melanjutkan aksi lainnya menuntut penghentian kriminalisasi Aleng Cs. Salah satunya dengan menyegel lahan milik Aleng, agar pihak perusahaan tidak melakukan pemanenan di atas lahan itu. Karena, meski kasus hukum Aleng berjalan, namun nasib tanaman sawit yang ditanam perusahaan di atas lahan Aleng belum ada pembicaraan lebih lanjut.
Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata, mengatakan upaya pembungkaman masyarakat melalui tindakan kriminalisasi kerap dilakukan untuk menghambat perjuangan dan melemahkan masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan hak-hak atas tanahnya.
Dalam kasus Aleng, lanjut Bayu, para pihak, khususnya kepolisian, seharusnya bisa lebih proporsional melihat kembali latar belakang kasus, dan tidak terburu-buru hingga terkesan sewenang-wenang melakukan upaya penangkapan penahanan bahkan melakukan penersangkaan masyarakat, hanya atas dasar informasi sepihak dari perusahaan.
"Kami berharap dan mendesak kepolisian melakukan upaya-upaya yang cenderung solutif bisa menyelesaikan permasalahan tanpa harus proses peradilan," kata Bayu, Senin (15/5/2023).
Misalnya, lanjut Bayu, mengedepankan proses komunikasi mediasi dan negosiasi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada antara perusahaan dan masyarakat. Menurut Bayu, restorative justice bisa menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan kepolisian, dengan mempertemukan para pihak menggunakan jalur peradilan.
"Itu yang kami dorong, supaya tidak lagi terulang upaya-upaya yang kami sebut kriminalisasi."
Saat ini Walhi Kalteng, bersama kelompok masyarakat sipil lainnya di Kalteng dan nasional, yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinjil dan Masyarakat Sekayu Darat, telah memberikan pendampingan di lapangan kepada masyarakat Kinjil, juga pendampingan hukum kepada Aleng, Maju dan Suwadi.
"Kita juga akan melaporkan kegiatan ilegal perusahaan ke RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) dan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan). Karena perusahaan ini beroperasi di dalam kawasan hutan," ungkap Bayu.
Bayu menegaskan, tidak ada keraguan soal status kepemilikan lahan Aleng. Bahkan hasil verifikasi yang dilakukan RSPO pada 2017 lalu jelas menyebutkan bahwa lahan Aleng tidak berada di dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT BGB. Status kepemilikan lahan Aleng ini juga ditegaskan pihak Pemerintah Desa Kinjil melalui Surat Kesepakatan, tertanggal 20 Maret 2020.
Sehingga Bayu merasa aneh bila pihak perusahaan masih merasa berhak atas lahan yang sudah disepakati oleh Pemerintah Desa Kinjil untuk dikembalikan kepada Aleng, apalagi melakukan pemanenan sawit.
Manajer Advokasi dan Kajian Walhi Kalteng, Janang Firman Palanungkai, menambahkan, Koalisi telah menyiapkan pendampingan hukum terhadap Aleng, Maju dan Suwadi, bilamana kasus hukum ketiganya tetap berlanjut hingga ke pengadilan. Pendamping hukum yang terlibat adalah dari Walhi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, dan Parlin B. Hutabarat Law Office & Partners.
"Tapi yang pastinya untuk saat ini kita mengusahakan, sesuai yang dituntut warga hari ini, untuk bagaimana restorative justice. Terutama untuk Pak Aleng untuk seterusnya dibebaskan. Dan tuntutan utama kita agar PT BGB bisa mencabut apa yang menjadi laporannya," kata Janang.
Janang berpendapat, kerugian yang ditimbulkan atas tindakan yang dilakukan Aleng bagi PT BGB, dianggap tidak sebanding dengan kerugian yang dihasilkan PT BGB terhadap masyarakat.
Sebelumnya, Humas PT Bumitama Gunajaya Agro (BGA), induk usaha PT BGB, Jauhari, mengatakan pada 27 April 2023 tim patroli PT BGB menemukan Aleng melakukan panen buah sawit di areal kebun PT BGB. Jauhari mengklaim sudah menyampaikan bahwa lahan tanaman sawit tersebut milik perusahaan dan lahan itu masuk dalam lahan yang dikerjasamakan dengan Desa Kinjil.
"Sewaktu Aleng panen sudah diingat bahwa tanaman itu milik perusahaan, namun yang bersangkutan tetap melakukan panen. Karena khawatir bentrok maka kami buat laporan ke Polres. Dan Pak Aleng ini sudah beberapa kali melakukan panen di lahan tersebut, bukan hanya sekali ini saja," kata Jauhari, 30 April 2023 lalu.
Jauhari menjelaskan, PT BGB pernah dilaporkan ke RSPO oleh 15 warga dengan pendamping Sawit Wacth, pada Februari 2017 lalu, dan dilakukan mediasi. Namun menurut Jauhari, pihak mediator yang ditunjuk, yakni Mediastra, menyebutkan masalah aduan 15 warga ini tidak ada kaitannya dengan perusahaan.
Setelah mediasi tersebut, panen dan pengelolaan lahan dilakukan secara normal oleh pihak PT BGB lakukan. Hingga pada 13 Desember 2019, Aleng kemudian melarang pihak perusahaan melakukan panen, hingga akhirnya hal tersebut dimediasi oleh Polsek setempat.
Menurut Jauhari, alasan Aleng melarang panen karena Aleng merasa hanya mendapatkan 2 kaveling dan meminta plasma 4 kaveling. Sebab Aleng mengaku lahan yang diserahkan luasnya 8 hektare. Jauhari mengatakan, pihaknya telah menyampaikan kepada Aleng bahwa pola 50:50 inti-plasma sudah pihak perusahaan penuhi. Sedangkan terkait kepemilikan kaveling, pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi.
"Semenjak itu setiap panen selalu dihalang-halangi dan terakhir dilakukan panen pada 4 Oktober 2021 juga dihalang-halangi. Sehabis itu kami belum ada melakukan panen lagi untuk meredakan situasi dan menghormati beliau," imbuh Jauhari.
Jauhari menegaskan, permintaan Aleng atas lahan yang diklaim 8 hektare itu dilakukan pembagian lagi 50:50 inti-plasma tidak mungkin perusahaan penuhi. Alasan Jauhari, karena kemitraan tersebut sudah pihaknya penuhi berdasarkan luasan potensi desa yang jadi kebun sawit PT BGB di Desa Kinjil.
Polres Kobar yang menangani kasus ini menetapkan Aleng, Maju dan Suwadi sebagai tersangka dengan mengenakan Pasal 363 ayat 1 ke-4a KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 tahun. Dalam keterangan persnya, Polres Kobar menyebut PT BGB mengalami kerugian senilai sekitar Rp2,9 juta atas pemanenan buah sawit seberat 1.290 kg yang dilakukan Aleng Cs.
"Untuk saat ini hal tersebut masih dalam proses penanganan unit kami, dan akan selalu kami pertimbangkan segala hal yang bersifat informatif demi pembuktian dari fakta-fakta dan regulasinya," kata AKP Angga Yuli Hermanto, Kasatreskrim Polres Kobar, 30 April 2023 kemarin, saat ditanya pendapatnya tentang kasus sengketa lahan Aleng dan PT BGB, menjadi pertimbangan penanganan kasus hukum Aleng.