LIPUTAN KHUSUS:

Nexus3: Pakaian dan Kemasan Mengandung Kimia PFAS di Indonesia


Penulis : Gilang Helindro

Penelitian Nexus3 Foundation dan IPEN, menemukan zat per dan polifluoroalkil (PFAS) “Forever Chemicals” dalam pakaian sintetis, kemasan makanan, dan produk konsumen lainnya yang dijual di Indonesia.

Lingkungan

Senin, 22 Mei 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kandungan PFAS dalam sebagian besar produk yang diuji melebihi batas aman PFAS dalam produk yang diusulkan Uni Eropa 12 Mei 2023, di Jakarta, Indonesia.

Penelitian Nexus3 Foundation dan IPEN, menemukan zat per dan polifluoroalkil (PFAS) “Forever Chemicals” dalam pakaian sintetis, kemasan makanan, dan produk konsumen lainnya yang dijual di Indonesia.

PFAS adalah keluarga besar bahan kimia yang diketahui bertahan di lingkungan dan terkait dengan dampak kesehatan yang serius, termasuk kanker, penyakit jantung, dan kemandulan. Studi hari ini menemukan bahwa 62 persen sampel Indonesia yang diuji memiliki tingkat PFAS yang tinggi, di atas batas keamanan yang diusulkan di UE untuk PFAS dalam produk konsumen.

Dalam laporan Nexus3-IPEN pada awal tahun 2023, tentang “Bahaya Beracun dalam Popcorn Microwave” menemukan bahwa PFAS banyak digunakan dalam microwave popcorn di AS dan Indonesia dan menarik perhatian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia, yang saat ini tidak memiliki peraturan tentang PFAS dalam kemasan makanan.

Studi ini menggambarkan lemahnya peraturan federal tentang PFAS di AS serta ketidakpedulian perusahaan dapat mengakibatkan penyebaran PFAS dalam produk makanan ke negara lain seperti Indonesia. Tidak adanya peraturan PFAS di Indonesia memperburuk masalah, membuat penduduknya rentan terhadap produk yang mengandung PFAS. Foto: Istimewa

“Kami menyambut baik diskusi kami dengan tim BPOM dan berharap dapat mendengar dari regulator lain di Indonesia untuk mengembangkan peraturan guna melindungi konsumen dari pajanan terhadap racun PFAS dalam pakaian, makanan, dan produk lainnya,” kata Yuyun Ismawati, Penasihat Senior Nexus3, Rabu, 17 Mei 2023.

“Temuan yang meresahkan dari penelitian kami hari ini menunjukkan bahwa kita butuh peraturan yang lebih kuat untuk melindungi anak-anak dan keluarga kita dari paparan bahan kimia beracun PFAS, terutama dalam berbagai produk sehari-hari,” katanya.

Menurut Yuyun, Ada 37 sampel Indonesia dari penelitian terdiri dari tiga belas sampel pakaian sintetis, 18 sampel kantong popcorn microwave, empat sampel kertas pembungkus makanan, satu sampel kertas termal, dan satu sampel remah-remah karet. Sampel dibeli dari 2019-2022 di pasar dan dari pengecer online dari empat provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat (Bekasi, Bandung), Jawa Timur (Surabaya, Malang), dan Banten (Tangerang). "Sampel diuji di laboratorium independen di Czechia," katanya.

Temuannya meliputi, 34 dari 37 atau 91 persen sampel yang dibeli di Indonesia dinyatakan positif mengandung PFAS. Dua puluh tiga dari produk ini 62 persen memiliki tingkat PFAS yang tinggi, jauh di atas batas keamanan yang diusulkan di Uni Eropa untuk PFAS dalam produk konsumen.

PFAS ditemukan dalam sebelas dari tiga-belas sampel pakaian 85 persen, yang sebagian besar diproduksi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa PFAS banyak digunakan pada pakaian dan pakaian tahan air di Indonesia.

Pada semua kantong popcorn microwave, dinyatakan positif PFAS. Semua popcorn yang dibeli di Indonesia dibuat oleh perusahaan AS dan diimpor ke Indonesia. Kandungan PFAS dalam produk Indonesia tertinggi ditemukan dalam jilbab tahan air.

Selain jilbab, pakaian yang diuji dengan PFAS untuk penelitian ini termasuk kemeja dewasa, pakaian anak-anak, dan pakaian atletik. Sebagian besar bahan tekstil sintetis (poliester, nilon, spandeks, dan lainnya) terbuat dari plastik. Bahan kimia beracun, termasuk PFAS, biasanya ditambahkan ke dalam produk plastik untuk memberi sifat tertentu dalam kasus PFAS, untuk memberikan ketahanan terhadap air dan noda. Sekitar setengah dari PFAS yang diproduksi secara global digunakan dalam tekstil.

Penelitian telah menunjukkan bahwa PFAS dapat dilepaskan saat orang mengenakan pakaian, saat mencuci, dan saat limbah tekstil sintetis bekas dibuang.

PFAS yang dilepaskan saat mencuci dapat mencemari saluran air, menyebabkan paparan PFAS dari air minum atau makanan yang terkontaminasi. Satu studi baru-baru ini menunjukkan bahwa tekstil “bisa menjadi sumber paparan PFAS langsung dan tidak langsung yang signifikan bagi manusia dan lingkungan.

Ada banyak bukti efek kesehatan yang berbahaya dari paparan PFAS. Selain kanker, penyakit jantung, dan infertilitas, penelitian terbaru telah mengaitkan satu atau lebih PFAS dengan perubahan metabolisme glukosa, peningkatan tekanan darah, berat lahir rendah, kerusakan kualitas air mani pada pria, dan kadar testosteron yang lebih rendah pada remaja pria, insufisiensi ovarium pada wanita dan panjang lahir lebih pendek pada anak perempuan, menstruasi yang tidak normal, dan penurunan fungsi paru-paru pada anak dengan asma. Satu studi menemukan bahwa orang yang tinggal di dekat pabrik kimia yang telah terpapar PFOA, bahan kimia PFAS yang dilarang secara global, memiliki tingkat kanker ginjal dan testis yang lebih tinggi.

Prof Dr Agus Haryono, Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, kehadiran PFAS dalam berondong jagung dan kemasan makanan lainnya juga menimbulkan kekhawatiran, dan bukti-bukti menunjukkan bahwa pola makan kemungkinan merupakan rute signifikan paparan PFAS.

Studi menunjukkan PFAS dalam kantong popcorn bermigrasi ke dalam makanan dan orang yang makan popcorn microwave memiliki kadar PFAS dalam darah yang lebih tinggi. PFAS telah ditemukan dalam berbagai makanan termasuk ikan, makanan laut, dan daging. PFAS juga berdampak pada satwa liar dan lingkungan: paparan PFAS menimbulkan risiko kesehatan tidak hanya bagi manusia, tetapi juga bagi satwa liar. Studi telah mendeteksi PFAS dalam biota perairan di seluruh dunia, termasuk di Kutub Utara, dengan kekhawatiran bahwa bahan kimia tersebut dapat memperburuk perubahan iklim dan krisis keanekaragaman hayati.

Menurut Agus, sebagian besar senyawa PFAS diketahui bersifat persisten dan berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Namun hingga saat ini penelitian dan pemantauan PFAS di Indonesia relatif masih sedikit dibandingkan negara lain.

“Kami mengapresiasi Nexus3 dan IPEN yang telah berhasil melakukan penelitian dan mendemonstrasikan data pemantauan PFAS. Saya berharap kedepannya laboratorium di Indonesia lebih giat melanjutkan penelitian dan pemantauan PFAS di Indonesia,” katanya.

Alternatif yang lebih aman sebagai pengganti PFAS telah tersedia, baik dalam kemasan kertas maupun produk tekstil. Pengganti PFAS berbahan dasar parafin dan silikon dapat memberi daya tolak air. Alternatif non-kimia untuk tekstil antara lain adalah kain tenun yang rapat dan bahan nabati. Untuk kemasan kertas, kertas berkepadatan tinggi dapat mencegah transmisi minyak.

Sebagai salah satu negara Pihak dari Konvensi Stockholm, Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional ini, dan telah mengadopsi larangan global terhadap tiga bahan kimia PFAS (PFOA, PFOS, dan PFHxS). Meskipun Indonesia memiliki undang-undang nasional umum tentang bahan kimia berbahaya yang sedang ditinjau, Indonesia belum memiliki peraturan nasional khusus untuk PFAS yang mencakup pemantauan di lingkungan, di rantai makanan, dalam produk maupun limbah.

“Hanya karena terdengar asing, PFAS kurang menjadi perhatian kita. Selama ini kita menganggap PFAS jauh dari kehidupan sehari-hari. Padahal, senyawa tersebut diciptakan dan diproduksi untuk meningkatkan kemudahan dan kenyamanan hidup kita, termasuk melalui berbagai produk makanan dan pakaian. Tanpa kita sadari, racun PFAS telah digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari,” katanya.

Deswandi, National Technical Adviser UNIDO Indonesia mengatakan laporan ini mengungkapkan fakta yang meningkatkan kesadaran, advokasi publik dan keterbukaan informasi, membangun kapasitas nasional untuk investigasi dan inventarisasi, serta memperkuat kebijakan manajemen adalah beberapa kunci penting untuk melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan masyarakat dari dampak buruk paparan PFAS. "Semoga laporan ini menjadi salah satu pemicunya,” katanya.

Laporan ini merekomendasikan: Pertama, untuk Pemerintah Indonesia dan Kementerian terkait, industri serta pemangku kepentingan lainnya. Kemudian, meminta pemerintah Indonesia untuk bekerja untuk perlindungan PFAS global yang lebih kuat, dan mengatur PFAS sebagai kelas bahan kimia (bukan satu per satu) sebagai Pihak Konvensi Stockholm dan Konvensi Basel.

Kedua, menghimbau BPOM RI untuk melarang PFAS dari bahan yang kontak dengan makanan.

Ketiga, ,mendesak Kementerian Perdagangan RI untuk melarang impor produk yang mengandung PFAS dan menyerukan industri tekstil dan kertas untuk menghentikan penggunaan PFAS dalam produk baru serta melabeli produk yang sudah ada yang mengandung PFAS dan keluarganya.