LIPUTAN KHUSUS:
Greenpeace: Lebih Beracun, Plastik Daur Ulang Bukan Solusi Polusi
Penulis : Kennial Laia
Plastik daur ulang sering mengandung bahan kimia tingkat tinggi seperti penghambat api beracun, benzena dan karsinogen lainnya. Berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Lingkungan
Minggu, 28 Mei 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Greenpeace mengatakan bahwa plastik daur ulang berpotensi mengandung senyawa beracun. Karena itu solusi ini tidak boleh dianggap sebagai solusi untuk krisis sampah plastik yang terjadi saat ini.
“Secara inheren plastik tidak sesuai dengan ekonomi sirkular,” kata Greenpeace dalam laporannya. Organisasi internasional tersebut turut mengkompilasi penelitian yang menunjukkan bahwa plastik daur ulang lebih beracun daripada konstituen aslinya.
Laporan tersebut, bertepatan dengan dimulainya pembicaraan baru untuk potensi perjanjian plastik global, muncul saat penelitian terpisah menemukan penguraian plastik untuk didaur ulang menyebarkan polusi mikroplastik ke lingkungan.
Perwakilan dari 173 negara tahun lalu sepakat untuk mengembangkan perjanjian yang mengikat secara hukum yang mencakup “siklus hidup penuh” plastik dari produksi hingga pembuangan, yang akan dinegosiasikan selama dua tahun ke depan.
Minggu depan negara-negara akan bertemu di Paris. Sebelumnya pertemuan ini dikritik karena mengecualikan masyarakat di negara berkembang yang dirugikan oleh pembuangan dan pembakaran sampah plastik, serta pemulung yang terpinggirkan, yang sangat penting untuk didaur ulang.
Masyarakat sipil, termasuk Greenpeace, khawatir pertemuan itu akan mengakomodir kepentingan perusahaan jika tidak melibatkan publik.
“Industri plastik – termasuk perusahaan bahan bakar fosil, petrokimia dan barang konsumen – terus mengedepankan daur ulang plastik sebagai solusi untuk krisis polusi plastik,” kata Graham Forbes, yang memimpin kampanye plastik global Greenpeace USA.
“Tapi… toksisitas plastik sebenarnya meningkat dengan daur ulang. Plastik tidak memiliki tempat dalam ekonomi sirkular dan jelas bahwa satu-satunya solusi nyata untuk mengakhiri polusi plastik adalah dengan mengurangi produksi plastik secara besar-besaran,” jelas Forbes.
Sekitar 8 miliar ton plastik telah diproduksi sejak 1950-an. Laporan Greenpeace mengkatalogkan penelitian peer-review dan studi internasional yang menunjukkan tidak hanya sebagian kecil (9%) dari plastik yang pernah didaur ulang, tetapi juga plastik yang berakhir dengan konsentrasi bahan kimia beracun yang lebih tinggi, melipatgandakan potensi bahayanya bagi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Plastik daur ulang, kata laporan itu, sering mengandung bahan kimia tingkat tinggi seperti penghambat api beracun, benzena dan karsinogen lainnya. Ini termasuk polutan lingkungan seperti dioksin terbrominasi dan terklorinasi, dan banyak pengganggu endokrin yang dapat menyebabkan perubahan pada kadar hormon alami tubuh.
Limbah plastik yang ditujukan untuk daur ulang biasanya diekspor dari negara berpenghasilan tinggi ke bagian dunia yang lebih miskin.
Dr Therese Karlsson, penasihat sains International Pollutants Elimination Network (IPEN) mengatakan, plastik dibuat dengan bahan kimia beracun. Senyawa ini tidak langsung hilang saat plastik didaur ulang.
“Ilmu pengetahuan dengan jelas menunjukkan bahwa daur ulang plastik adalah upaya beracun dengan ancaman terhadap kesehatan kita dan lingkungan di sepanjang aliran daur ulang,” kata Karlsson.
“Sederhananya, plastik meracuni ekonomi sirkular dan tubuh kita, serta mencemari udara, air, dan makanan. Kita tidak boleh mendaur ulang plastik yang mengandung bahan kimia beracun,” kata Karlsson.
“Solusi nyata untuk krisis plastik akan membutuhkan kontrol global terhadap bahan kimia dalam plastik dan pengurangan yang signifikan dalam produksi plastik,” tambahnya.
Produksi plastik diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2060. Greenpeace mengatakan setiap perjanjian plastik global harus segera mencapai pengurangan yang signifikan dalam produksi plastik, sebagai langkah pertama menuju penghapusan total pembuatan plastik murni.
Plastik yang tersisa harus digunakan kembali selama mungkin. Sementara teknologi pembuangan limbah dikembangkan yang tidak hanya membakar atau menguburnya, kata Greenpeace.