LIPUTAN KHUSUS:

Ekomarin: Enam Alasan Tolak PP 26/2023 Ekspor Pasir Laut


Penulis : Gilang Helindro

Ekonom menyebut bahwa PP 26/2023 ini eksploitasi pasir dengan kedok pelestarian dan perlindungan Lingkungan Laut.

Kelautan

Rabu, 07 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) menyatakan keberatan dan menolak terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut ditandatangani Presiden Jokowi pada 15 Mei 2023. 

Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia, menyebut bahwa PP 26/2023 ini eksploitasi pasir dengan kedok pelestarian dan perlindungan lingkungan laut. Niat asli (original intent) dari PP 26/2023 tersebut adalah untuk menambang pasir laut untuk kepentingan infrastruktur seperti reklamasi, infrastruktur dan termasuk ekspor pasir laut.  

“Khususnya terhadap ekspor pasir laut, peraturan ini mengakhiri pembatasan ekspor pasir laut yang telah berlangsung dua dekade sejak tahun 2003 pada pemerintahan Presiden Megawati,” katanya saat dihubungi Kamis, 1 Juni 2023. 

Setidaknya enam alasan keberatan dan penolakan Ekomarin, terkait peraturan ini. Pertama, peraturan ini tidak mempertimbangkan potensi kerusakan yang telah terjadi dan yang akan terjadi kepada ekosistem pesisir dan sumber daya laut. 

Kapal menambang pasir laut untuk kepentingan infrastruktur seperti reklamasi, infrastruktur dan termasuk ekspor pasir laut. Dok: Istimewa

Menurut Marthin, tambang pasir di laut sangat berpotensi menambah kehancuran habitat alami dasar laut, terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove hingga menyebabkan kekeruhan perairan. Selain itu, tambang pasir dapat menyebabkan erosi pesisir yang signifikan dimana penggalian pasir dari pesisir mengganggu proses alami pengendapan pasir yang dapat menyebabkan penurunan pantai, kerusakan infrastruktur pesisir, hingga meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan longsor pantai akibat pengurangan vegetasi dan perusakan lapisan tanah. 

“Ekosistem pesisir memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan menyediakan sumber daya hayati. Dengan mengabaikan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pengelolaan sedimentasi, PP ini dapat memperburuk kerusakan ekosistem pesisir yang sudah rapuh,” katanya. 

Kedua, peraturan akan berdampak buruk pada sektor perikanan, khususnya pelaku subsektor perikanan skala kecil karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan budaya maritim Indonesia. 

Menurutnya, peraturan ini berpotensi menghilangkan sumber penghidupan nelayan, karena rusak dan hilangnya habitat dan penurunan populasi ikan akibat aktivitas tambang dan pembatasan akses mereka terhadap sumber daya perikanan. 

Ekomarin tidak melihat keberlanjutan ekosistem dan sumber daya laut dipertimbangkan dengan benar dan mengutamakan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir dalam dasar terbitnya PP 26/2023 tersebut. Upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut hanyalah kedok karena tidak mempertimbangkan hak- hak tenurial perikanan nelayan skala kecil yang seharusnya menjadi mandat dalam UU 7/2016 tentang Perlindungan Nelayan. 

Ketiga, memperburuk tekanan terhadap berbagai wilayah pesisir dan pulau kecil Indonesia. Saat ini, katanya, pulau kecil di Indonesia menghadapi ancaman akibat perubahan iklim. Peraturan ini tidak memberikan mitigasi yang memadai terhadap perubahan iklim dan dapat memperparah krisis yang sedang terjadi. Kehadiran peraturan sangat berpotensi meningkatkan risiko terancamnya pulau-pulau kecil serta mengabaikan tanggung jawab pemerintah dalam menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang. 

“Jelas PP 26/2023 adalah kepentingan infrastruktur seperti reklamasi pesisir dan pulau buatan dan juga untuk ekspor pasir yang menjadi kebutuhan terdekat seperti Singapura. Data UNEP menunjukkan adanya kebutuhan pasir dunia mencapai 40 miliar ton/tahun menjadi ini ancaman eksploitasi pasir laut termasuk di Indonesia,” katanya. 

Hal kelima, peraturan tidak mempertimbangkan keanekaragaman hayati di Indonesia. Marthin menjelaskan, Indonesia merupakan rumah dari mega biodiversity atau megadiversity PP 26/2023 menjadi ancaman baru terhadap keanekaragaman hayati di laut Indonesia. Kedok pelestarian laut yang sebenarnya untuk eksploitasi pasir laut akan berdampak terhadap upaya Indonesia menjaga keanekaragaman hayati. Dengan adanya Pasal 3 ayat (1) huruf PP 26/2023 yang memberikan peluang untuk mengelola sedimentasi di dalam kawasan konservasi dengan alasan kepentingan pengelolaan kawasan konservasi membuka pintu pengerukan keanekaraman yang ada di dalam laut kawasan konservasi. 

Keenam, celah korupsi baru dengan adanya kerancuan peraturan ini, yang berada dibawah rezim UU 32/2014 tentang Kelautan tidak dalam rezim UU Pertambangan Mineral Batubara bermaksud memberikan lapak baru bagi Menteri Kelautan dan Perikanan. 

Marthin menegaskan, Inti pokok dari PP 26/2023 adalah mengatur pemanfaatan hasil Sedimentasi di Laut dengan adanya Izin Pemanfaatan Pasir Laut dengan kewenangan Menteri Kelautan Perikanan. Kerancuan kewenangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai regulator yang juga sebagai pemberi izin dan pengawas. Hal ini berpotensi menjadi celah baru untuk ajang korupsi bagi pemerintah dalam pemberian Izin Pemanfaatan Pasir Laut. 

“Atas berbagai alasan tersebut, Ekomarin mendesak pemerintah untuk mencabut peraturan tersebut dan evaluasi kebijakan ekstraktif yang hanya menguntungkan sekelompok elit dan oligarki namun tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan dan berkelanjutan bagi nelayan kecil dan masyarakat pesisir,” tutupnya.