LIPUTAN KHUSUS:

30 Smelter Nikel Tak Sesuai Standar Hilirisasi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Dari 34 smelter nikel yang ada saat ini, hanya 4 smelter saja yang sesuai dengan standar kategori pemurnian untuk menghasilkan bahan baku baterai.

Tambang

Selasa, 13 Juni 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sejak pemerintah menyetop ekspor nikel mentah, pabrik pemurnian atau smelter menjamur di Indonesia. Tetapi, dari 34 smelter nikel yang ada saat ini, hanya 4 smelter saja yang sesuai dengan standar kategori pemurnian untuk menghasilkan bahan baku baterai.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE), Kementerian Perindustrian, Taufik Bawazier, mengatakan hilirisasi nikel seharusnya mengubah bijih nikel menjadi nikel hidrometalurgi, yang merupakan bahan baku utama baterai.

"Saat ini yang memang benar-benar masuk ke hilirisasi baru empat dari 34 smelter yang tercatat beroperasi di Indonesia," kata Taufik, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM, Kamis (8/6/2023) pekan lalu, dikutip dari Republika.

Taufik menjelaskan, saat ini industri smelter nikel yang ada di Indonesia sebagian besar masih memproduksi nikel pirometalurgi, yang merupakan bahan baku setengah jadi dari produk nikel yang sesungguhnya dibutuhkan untuk industri kendaraan listrik.

Ilustrasi bijih nikel.

"Kita perlu membalikkan situasi dengan masuk ke industri yang lebih hilir," ujar Taufik.

Taufik menjelaskan, untuk dapat menghasilkan nikel metalurgi diperlukan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Sementara itu, saat ini smelter yang mempunyai teknologi ini baru empat perusahaan. Tiga di antaranya sudah beroperasi yakni PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Material, dan PT Halmahera Persada Lygend. Sedangkan satu smelter lainnya masih pada tahap feasibility study adalah PT Kolaka Nickel Indonesia.

"Saat ini belum ada lagi smelter spesifikasi ini yang konstruksi. Baru ada satu yang sedang melakukan (feasibility study)," imbuh Taufik.

Untuk industri nikel berbasis hidrometalurgi sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik (electrical vehicle-EV), lanjut Taufik, baru mencapai produksi MHP dengan kapasitas produksi 915 ribu ton per tahun.

"Ini bisa dimanfaatkan paling tidak setelah pabrik baterai kita cukup kuat, kita bisa supply bahan baku nasional ke dalam ekosistem EV di dalam negeri," kata Taufik.

Berdasarkan hitungan Kementerian Perindustrian, kebutuhan nikel untuk baterai kendaraan listrik di 2025 dibutuhkan 25.133 ton, kemudian di 2030 sebesar 37.699 ton, dan di 2035 sebanyak 59.506 ton.