LIPUTAN KHUSUS:

Tambang Nikel Cemari Sungai Oko-Oko di Sultra


Penulis : Aryo Bhawono

Sungai Oko Oko di Sultra tercemar bahan kimia jenis ‘heksavalen atau kromium total’ akibat aktivitas tambang nikel.

Tambang

Kamis, 06 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Air di persawahan Desa Lamedai, Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, berwarna merah. Air itu berasal dari Sungai Oko Oko yang mengalir sejauh lima kilometer dan biasa dipakai untuk irigasi. 

Warna merah itu diduga merupakan pencemaran akibat aktivitas tambang nikel di wilayah konsesi milik PT Vale Indonesia.  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, merilis hasil temuan dugaan pencemaran lingkungan, terutama ekosistem sawah, sungai, dan pesisir laut di kawasan blok pertambangan dan pemurnian bijih nikel di Kecamatan Pomalaa yang dilalui sungai itu. 

Hasil uji sampel menunjukkan Sungai Oko-oko mengandung bahan kimia jenis heksavalen atau kromium total yang diduga melebihi baku mutu di atas (0,021-0,124 mg/L). Beberapa sungai lain juga mengalami pencemaran yang sama. Mirisnya sungai-sungai tersebut dipakai sebagai sumber air minum masyarakat, juga sebagai sumber utama irigasi sawah di Desa Lamedai, Kecamatan Tanggetada, Kolaka (berdekatan dengan Kecamatan Pomalaa).

“Kami ambil sampel sejak 2022 lalu, ini merupakan rilis dari hasil uji yang kami lakukan. Jadi ada dugaan kontaminasi atas pertambangan nikel yang beroperasi di wilayah konsesi milik PT Vale Indonesia,” ucap Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sultra, Andi Rahman, kepada redaksi.

Sungai Oko-Oko di Sultra Tercemar Akibat Tambang Nikel. Sumber Foto: Walhi Sultra

Ia menyebutkan data yang dimilikinya menyebutkan kawasan itu merupakan bagian dari konsesi PT Vale (eks Inco), seluas 20.286 hektar. Selama ini aktivitas tambang dilakukan oleh PT Putra Mekongga Sejahtera dan satu perusahaan daerah. 

“Kami masih menelusuri aktivitas dan perusahaan tambang ini. Karena dugaan kami di sinilah penyebab pencemaran itu,” tambahnya.   

Tambang ini dapat menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai daerah resapan air. Bahkan berpotensi mengakibatkan banjir dan merusak pertanian dengan limbah di sungai. 

Menurut catatannya, sungai tersebut kerap meluap saat musim penghujan. Pertanian di Lamedai mengalami bencana banjir yang menggenangi sekitar 750 hektare, termasuk 450 hektare sawah produktif, yang akhirnya menyebabkan gagal panen.

Ia pun mendesak perusahaan dan pemerintah untuk melakukan penanggulangan kerusakan dan pencemaran akibat tambang ini. Jika tidak mereka akan melakukan gugatan hukum.