LIPUTAN KHUSUS:
Penimbunan Perairan Laut Pulau Tengah Rusak Lingkungan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Penimbunan yang dilakukan di perairan laut Pulau Tengah dianggap merusak lingkungan dan merugikan nelayan.
Lingkungan
Selasa, 01 Agustus 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Praktik penimbunan perairan yang biasa disebut reklamasi, kini terus terjadi di Pulau Tengah, gugusan Pulau Pari. Gugusan Kepulauan Pari merupakan salah satu gugusan kepulauan yang berada di Kelurahan Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Praktik penimbunan perairan tersebut dilakukan oleh pengembang yang memprivatisasi Pulau Tengah.
“Penimbunan pantai dan penimbunan perairan merupakan tindakan yang merusak ekosistem perairan pesisir dan tentu saja akan merugikan nelayan, pembudidaya ikan maupun rumput laut yang seharusnya hak-haknya dihormati dan dilindungi. Praktik penimbunan pantai dan perairan juga merupakan kegiatan yang dilarang sesuai dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007,” terang Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/7/2023).
Susan mengatakan, Kiara meminta pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera menghentikan praktik-praktik penimbunan pantai dan peraiaran yang ternyata selama ini telah dilakukan oleh pengembang atau investor Pulau Tengah. Hal tersebut, menurutnya, sangat merugikan nelayan yang memanfaatkan gugusan perairan Pulau Pari sebagai ruang yang difungsikan neyalan untuk berbagai aktivitas yang berkelanjutan.
"Jika dilihat dan diidentifikasi secara spasial, ternyata penimbunan pantai dan perairan yang terjadi di Pulau Tengah dimulai sejak 2011 dengan luasan awal sekitar 9 hektare," ungkap Susan.
Hingga saat ini, luasan Pulau Tengah diidentifikasi telah bertambah secara signifikan. Nelayan Pulau Pari dan Kiara kuat menduga bahan dan material yang digunakan untuk menimbun pantai dan perairan Pulau Tengah merupakan substrat dan terumbu karang yang berasal dari perairan Pulau Tengah.
"Aktivitas yang dilarang tersebut telah dilakukan secara perlahan-lahan, hingga diduga menyebabkan kerusakan ekosistem perairan yang terdapat di perairan Pulau Tengah. Dugaan tersebut diperkuat dengan temuan warga yang mendokumentasikan terumbu karang yang telah mati dan diduga digunakan sebagai pondasi penimbunan tersebut,” jelas Susan.
Kiara melihat aktivitas pengembang Pulau Tengah merupakan miniatur dari proyeksi implementasi PP No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut. Eksploitasi pasir laut sebagai substrat alami di perairan akan secara masif terjadi, hal tersebut dengan dalih melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Tetapi kenyataannya akan terjadi seperti yang di Pulau Tengah, karena akan digunakan untuk menimbun pantai dan perairan, dan pada akhirnya akan terjadinya perusakan ekosistem pesisir secara masif dan legal.
Merusak Ekosistem Perairan dan Merugikan Nelayan
Kiara mencatat, nelayan Pulau Pari juga telah mengeluhkan kerugian yang dialami akibat aktivitas yang dilakukan oleh pengembang Pulau Tengah, baik karena aktivitas penimbunan pantai dan perairan maupun privatisasi dan pembatasan nelayan untuk mengakses perairan Pulau Tengah.
Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), yang juga nelayan tradisional, Bobbi, mengatakan, privatisasi yang dilakukan telah menyebabkan hilangnya hak-hak konstitusional nelayan yang mengakses seluruh gugus perairan yang ada di Pulau Pari. Bobbi bilang, nelayan mengeluhkan pengusiran yang dialami jika mendekat ke Pulau Tengah.
Bahkan aktivitas budidaya ikan dan rumput laut yang dilakukan oleh nelayan sering mengalami kerusakan sehingga gagal panen. Ironinya lagi, lanjut Bobbi, kondisi per Juli ini, jalur nelayan untuk melintasi perairan dangkal di Pulau Tengah telah ditutup dengan menggunakan material pasir, batu dan terumbu karang mati oleh pengembang.
"Lokasi pengerukan dan penimbunan perairan yang saat ini tengah dilakukan merupakan lokasi yang sebelumnya sehari-hari kami sebagai nelayan kecil manfaatkan. Lokasi itu nelayan kecil manfaatkan sebagai tempat pasang jaring, sero, dan bubu," ujar Bobbi.
Bahkan perempuan nelayan, imbuh Bobbi, juga memanfaatkan lokasi itu sebagai tempat mencari kerang serta ikan lainnya seperti ikan lainnya udang, dan juga teripang. Lokasi itu telah nelayan manfaatkan secara berkelanjutan dengan alat tangkap ramah lingkungan sejak tujuh generasi sebelumnya. Tetapi saat ini akses kami telah diputus untuk ke lokasi tersebut.
Bobbi berpendapat, seharusnya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah segera bertindak tegas untuk menindak, memberikan sanksi tegas kepada perusahaan pengembang dan menghentikan segala aktivitas penimbunan di Pulau Tengah.
Susan menambahkan, pelaku kejahatan lingkungan tidak hanya diberikan sanksi administratif, tetapi sanksi pidana sesuai Undang-Undang 27 Tahun 2007 tentang Perusakan Perairan Pesisir, harus diterapkan oleh KKP, yang berwenang mengurus pesisir dan pulau-pulau kecil beserta perairannya.
KKP telah abai menjaga kelestarian pesisir dan pulau-pulau di Indonesia dengan terus membiarkan penimbunan dan perusakan terumbu karang terus terjadi selama 10 tahun terakhir. KKP tidak pernah serius melakukan pengawasan dan pemantauan atas kerusakan yang terjadi di pesisir dan pulau-pulau kecil karena perusakan Pulau Tengah dibiarkan terjadi di wilayah yang paling dekat dengan kantor KKP itu sendiri.
Penimbunan pantai dan perairannya serta privatisasi pulau yang secara sadar telah dilakukan, hemat Susan, telah terbukti melanggar UU No. 27 Tahun 2007 serta hak-hak nelayan tradisional untuk melintas, mengakses laut dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih serta sehat sebagaimana telah diakui melalui Putusan MK No. 3 Tahun 2010.
"Sudah seharusnya KKP menunjukkan wibawanya dan perannya kepada nelayan dan masyarakat pesisir pulau-pulau kecil dengan cara menindak tegas pengembang Pulau Tengah. Buktikan ketegakan KKP kepada Nelayan Pulau Pari, bukan tunduk kepada Investor,” ucap Susan.