LIPUTAN KHUSUS:

B35 Berlaku Penuh, Ada Potensi Kompetisi CPO Tuk Pangan vs Energi


Penulis : Kennial Laia

Program biodiesel B35 dikhawatirkan akan mengurangi pasokan DMO untuk industri pangan. Organisasi masyarakat sipil ingatkan pemerintah agar tidak mengulang polemik kelangkaan minyak goreng.

Sawit

Kamis, 03 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Program biodiesel B35 berlaku penuh mulai 1 Agustus 2023. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Transisi Bersih mengkhawatirkan bahan bakar campuran minyak sawit dan solar ini terus meningkat dan berpengaruh pada bahan baku industri pangan. 

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, mengatakan dalam jangka panjang, pasokan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) bakal semakin banyak tersedot untuk program biodiesel. Hal ini dikhawatirkan memicu kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng subsidi seperti tahun lalu. 

“Jika bauran terus-menerus meningkat, maka kebutuhan CPO untuk biodiesel juga akan meningkat dan ini akan membuat kompetisi antara sawit untuk pangan dan energi semakin tajam,” kata Andi, Rabu, 2 Agustus 2023. 

“Implikasinya, kondisi tersebut dapat mempengaruhi ketersediaan dan harga sejumlah bahan pangan, terutama minyak goreng–yang berarti juga mengancam kedaulatan pangan kita,” tambahnya. 

Ilustrasi Sawit Plasma. Foto: Yudi/Auriga

Menurut Koalisi, saat ini penggunaan CPO untuk pangan lebih besar ketimbang biodiesel. Data GAPKI menunjukkan, total konsumsi CPO domestik pada 2022 sebanyak 20,97 juta ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 9,94 juta ton digunakan untuk kebutuhan pangan, 2,18 juta ton untuk oleokimia, dan 8,84 juta ton untuk biodiesel.

Di satu sisi tren kebutuhan CPO untuk biodiesel terus meningkat secara konsisten. Pada 2017, misalnya, angkanya berada di 2.219 ton. Kemudian naik menjadi 3.824 ton (2018), 5.831 ton (2019), 7.226 ton (2020), 7.342 ton (2021), dan 8.842 ton (2022). 

Menurut Koalisi, angka ini akan terus bertambah seiring dengan kenaikan bauran CPO untuk biodiesel. Kebutuhannya juga akan semakin besar dengan program B100 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. 

Andi mengatakan, belajar dari kasus minyak goreng, kelangkaan disebabkan dari ketidakpatuhan para korporasi dalam melaksanakan domestic market obligation (DMO) dalam proses memperoleh perizinan kuota ekspor CPO.

Menurut Andi, hal ini terlihat dalam putusan perkara korupsi izin ekspor CPO yang melibatkan korporasi raksasa sawit di Indonesia. Terdapat angka selisih yang sangat besar antara kewajiban DMO dengan realisasinya, misalnya, Wilmar Group 234.722.699 liter, Permata Hijau Group 17.247.496 liter; dan Musim Mas Group 78.969.718 liter. 

Andi mengatakan aliran distribusi CPO perlu ditilik lebih jauh karena alasan ekonomi. Selain itu, para pengusaha dinilai lebih tertarik memasok CPO untuk biodiesel. Salah satu alasannya, adanya insentif dari pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). 

“Sehingga ke depan, pasokan CPO ditengarai akan lebih banyak bergeser untuk kebutuhan biodiesel dan mengalahkan kebutuhan industri pangan,” ujar Andi.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyebut belum adanya pengaturan yang jelas antara CPO untuk kebutuhan pangan dan energi semakin meniscayakan adanya kompetisi antara keduanya. "Kalau begini, maka kita akan selalu terjebak pada dua pilihan, CPO untuk pangan atau disetor untuk biofuel. Hal ini yang membuat kondisi kita semakin rentan ke depan," kata Achmad.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan, ancaman paling nyata dari program biodiesel adalah ekspansi lahan untuk memenuhi kebutuhan energi baru tersebut. 

Menurutnya, pengembangan biodiesel memiliki risiko yang justru kontradiktif dengan upaya penurunan emisi dan berdampak buruk pada lingkungan. Sebanyak 80-90 persen emisi dihasilkan pada tahap perkebunan dari alih fungsi lahan, apalagi jika dibuka di lahan gambut. 

"Seyogianya, transisi energi bukan hanya sekedar substitusi energi, namun juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan dari hulu hingga hilir," kata Uli.

Berdasarkan studi berjudul Biofuels Development and Indirect Deforestation (2023), peningkatan permintaan biodiesel berbasis CPO diikuti dengan peningkatan luasan kebun kelapa sawit. Misalnya, terjadi peningkatan 4,25 juta hektare lahan sawit antara 2014 dan 2020. Laju peningkatan terbesar terjadi setelah 2016, tepat setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif atau subsidi untuk sawit lewat BPDPKS. Kondisi ini menunjukkan program biodiesel berpotensi menyebabkan deforestasi secara tidak langsung, kata Uli.

Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas menekankan bahwa kebijakan energi semestinya bertujuan mengurangi dampak dari krisis iklim. “Maka kebijakan B35 seharusnya menutup ruang untuk menambah lahan baru yang akan berkontribusi terhadap deforestasi, bukan malah sebaliknya,” tuturnya.

Koalisi mengingatkan pemerintah untuk tidak terus-menerus meningkatkan campuran CPO dan solar tanpa pengaturan yang jelas. Pemerintah juga tidak bisa hanya mengandalkan biodiesel berbasis komoditas sawit. Diperlukan pengembangan diversifikasi bahan baku selain CPO atau pengembangan bahan bakar nabati dari sumber bahan non-pangan, di antaranya dengan pemanfaatan minyak jelantah.

Selain itu terdapat risiko dampak ekonomi dan sosial seperti konflik tenurial dari pengembangan biodiesel berbasis sawit. Mengingat kondisi tersebut, maka penetapan standar keberlanjutan bagi biodiesel menjadi penting, termasuk aspek sosial ekonomi.

Koalisi Transisi Bersih adalah koalisi lembaga non-pemerintah beranggotakan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang terbentuk pada awal 2023. Koalisi berfokus pada optimalisasi sawit rakyat bebas deforestasi, menjaga kedaulatan pangan dan gerakan percepatan transisi ke energi bersih, untuk mencapai pembangunan rendah emisi dan berkeadilan iklim di Indonesia pada 2030.