LIPUTAN KHUSUS:

Tak Rela Tambang di Bukit Sanggul


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono dan Hari Siswoyo

Penurunan status fungsi HL Bukit Sanggul ini bukan untuk masyarakat sekitar, melainkan motivasinya demi peningkatan iklim investasi.

Tambang

Jumat, 18 Agustus 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Raut wajah Wontro langsung berubah masam mendengar rencana operasi tambang emas di Bukit Sanggul yang berjarak tak sampai lima kilometer dari kampungnya, Desa Muara Dua, Kecamatan Semidang Alas Maras, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. 

“Habis sudah kalau begitu,” katanya sembari meniup asap rokok kreteknya, saat ditemui di kampungnya beberapa waktu lalu. Tetua kampung yang belum lama pensiun dari jabatannya sebagai kepala dusun itu seolah bisa membayangkan daya rusak yang dihasilkan oleh aktivitas pertambangan bagi Bukit Sanggul.

Perubahan fungsi Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul menjadi Hutan Produksi (HP) seluas 19.223,73 hektare, melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SK.533/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023 dalam rangka review Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu itu, agak kontroversial bagi masyarakat sipil. Sebab, penurunan status fungsi HL Bukit Sanggul ini bukan untuk masyarakat sekitar, motivasinya demi peningkatan iklim investasi.

Iklim investasi dimaksud merujuk pada dua izin usaha pertambangan (IUP) emas, yang berdasarkan analisis, lokasinya berada di dalam areal HL Bukit Sanggul yang diubah fungsinya menjadi HP. Bila aktivitas tambang itu beroperasi, apa yang dikatakan Wontro itu mungkin bisa jadi nyata.

Tampak dari ketinggian tutupan hutan alam di kawasan HL Bukit Sanggul./Foto: Genesis Bengkulu

Ada tiga sungai yang mengalir menjadi satu ke kampung Wontro ini, yakni Sungai Alas Kanan, Alas Tengah dan Kiri. Aliran air yang berhulu di Bukit Sanggul inilah yang kemudian dikenal dengan nama Sungai Alas dan menjadi batas antara Kabupaten Seluma dan Bengkulu Selatan.

Ulu Alas berair jernih, ikan-ikan putih sebesar paha masih bisa ditombak di kampung ini. Sesekali harimau, rusa dan beruang kerap bermain di tepi sungainya untuk mencari ikan atau sekadar meminum air. 

Perubahan status HL Bukit Sanggul ini agaknya senyap. Dedi Sudianto, Kepala Desa Muara Dua mengaku tak mengetahui soal rencana perubahan status hutan yang ada di atas kampungnya. Tak secuil pun informasi pernah sampai ke desanya. 

Padahal, kata dia, jika memang kelak ada tambang di atas bukit, bisa dipastikan kampung mereka akan menerima dampak langsung. Musababnya, sungai-sungai yang mengalir hampir semuanya bermuara ke desanya. Sungai-sungai itulah yang mengairi sawah, menjadi sumber air resapan bagi sumur warga dan tempat mencari kehidupan bagi para pemburu ikan. 

“Kami pasti menentang kalau sungai-sungai ini terkena limbahnya,” kata Dedi di kediamannya.

Bukit Sanggul sejak lama disebut memiliki cadangan emas yang besar, bahkan ada mitos harta karun emas Sukarno yang berkembang di masyarakat. Tak sedikit orang yang sudah mencoba mencarinya.

"Dari dulu sudah sering orang cari harta karun Sukarno di Bukit Sanggul. Mereka naik heli. Pernah juga ada yang menginap di desa, mereka bawa penerjemah. Matanya sipit-sipit kayak orang Cina lah," kata Ujang mengulang ceritanya beberapa tahun lalu.

Menurut Ujang, hampir seluruh orang di kampungnya sudah tahu soal desas-desus adanya emas sejak 13 tahun lalu. Itu terjadi usai sebuah pesawat capung besi terbang hilir mudik di atas kampung mereka dan bermalam di imbo (hutan) lebih dari dua pekan.

"Di atas itu, sudah ada lebih dari tujuh lubang berukuran 4x4 meter dengan dalam lebih dari 1,5 meter. Terus, hutan seluas satu hektare habis dibabat. Kayaknya biar heli mudah mendarat," katanya.

Cerita soal harta karun Sukarno itu jugalah yang kemudian membuat Ujang nekat memasuki lubang-lubang di atas Bukit Sanggul. Mana tahu ada sisa harta karun tertinggal. 

"Sudah kami cangkul lagi sampai dalam. Tapi isinya cuma tanah kayak lumpur. Kaki, tangan sampai baju kami jadi kekuningan dan mengkilap," kata lelaki ceking berkumis lebat dan berbadan liat ini.

Kepala Desa Giri Nanto, Zalmanto, mengatakan, sepekan usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang ke Bengkulu, ia mendapat kabar akan dibangunkan jalan mulus ke kampungnya. Jalan mulus memang bak mimpi bagi orang di Ulu Talo. Maklum sudah berpuluh tahun, entah itu orang, motor atau mobil terbiasa dipaksa merangkak untuk sekadar keluar desa.

Meski begitu, kini di balik kabar baik jalan mulus itu, Zalmanto, mengaku khawatir. Apalagi, mulai berembus kabar soal rencana tambang emas di atas Bukit Sanggul di belakang kampung. 

“Jangan-jangan jalan kami yang akan dipakai buat tambang. Kami tidak sudi,” keluhnya.

Diakuinya, sejak ditunjuk jadi kepala desa, ia belum pernah mendapat informasi secuil pun soal rencana perubahan status hutan di belakang kampungnya. Begitu pula soal tambang emas, paling cuma kabar lalu saja.

Hal serupa dituturkan Nusia. Perempuan asli Suku Serawai yang kini menghabiskan harinya mengelola sawah di tepi Sungai Ulu Talo itu, ikut merasa takut jika memang ada tambang emas di atas hutan mereka.

“Pasti rusak semua sumber air di hulu. Sungai bakal teracuni, sawah mati, banjir dan entah apalagi,” katanya sembari memandang barisan karung padi di rumahnya.

Selama ini saja, kata Nusia, sejak di lereng-lereng Sanggul sudah mulai ditanami kopi. Dampak pembukaan hutan mulai terasa. Salah satunya adalah meluapnya Sungai Ulu Talo Ketika musim penghujan. 

“Bandangnya bisa sampai ke sawah. Yang parah itu di desa yang agak hilir. Pernah rumah orang hanyut pada tahun 2019 kemarin,” katanya.

Dampak Tambang

Direktur Genesis Bengkulu, Egi Ade Saputra, menyebut, rencana pembukaan tambang emas di Bukit Sanggul adalah ancaman besar yang akan menghantam lebih dari 80 desa di wilayah Seluma. Tak kurang dari 4.000 hektare sawah tradisional warga akan terancam kekeringan, keracunan besi, dan lainnya.

Belum lagi soal ancaman potensi longsor dan pergerakan tanah. Lereng-lereng curam yang menjadi khas Bukit Sanggul bukan tak mungkin akan menjadi musibah bagi orang-orang kampung. 

“Bukit Sanggul adalah rumah mata sungai dari 10 sungai besar yang membentuk 7 Daerah Aliran Sungai (DAS) diantaranya DAS Kungkai, DAS Seluma, DAS Talo, DAS Alas, DAS Maras, DAS Selali dan DAS Pino. Merusak kawasan ini, itu artinya sama saja kita sedang menambang bencana,” kata Egi.

Diakui Egi, praktik culas perubahan hutan itu mengumbar sejak sebelum 2019 lalu. Sejumlah organisasi sipil di Bengkulu sudah melakukan kampanye dan upaya protes. Namun sialnya, pandemi Covid-19, membuat beberapa akses informasi soal keberlanjutan rencana itu ikut terkunci.

Hingga kemudian muncul lagi di 2022, dan usulan yang awalnya cuma berapa ribu hektare, rupanya sudah membengkak menjadi ratusan ribu hektare. Salah satunya usulan soal penurunan fungsi HL Bukit Sanggul. 

“Kami baru dapat informasi lagi setelah dua tahun. Dan angkanya mengejutkan. Di lain sisi, karena sempat terhenti beraktivitas, banyak lembaga juga sudah tak berkolaborasi lagi. Jadi kesannya memang seperti kejebolan, padahal tidak,” kata Egi.

Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu Deftri Hardianto, ikut merasa kecewa dengan rencana negara untuk merangsek masuk ke Bukit Sanggul. Musababnya, kata dia, saat ini di Seluma, AMAN sudah mendorong lahirnya Perda Nomor 3 Tahun 2022 tentang Prosedur dan Mekanisme Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kabupaten Seluma.

Acuan inilah yang kini hendak melindungi komunitas-komunitas adat yang ada di Tanah Serawai. Utamanya terkait wilayah-wilayah adat yang mungkin saja bersentuhan dengan lokasi tambang emas yang kini sudah diketuk kementerian lewat perubahan status hutan.

Ia pun mencontohkan komunitas adat di Lubuk Resam yang kini secara administratif terletak di Kecamatan Seluma Utara. Kampung ini juga berdampingan dengan Bukit Sanggul. Sejauh ini, lantaran belum ada perda yang memayungi mereka, maka wilayah adat juga masih belum diakui negara. 

“Jadi, kami khawatir. Kebijakan negara kali ini, malah menjadi kontra-produktif dengan perjuangan masyarakat adat,” kata Deftri di Bengkulu.

Awal Mula RTRW Bengkulu

Mulanya pada 2019 lalu, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, memang telah meneruskan usulan dari sejumlah kabupaten dan kota di Bengkulu untuk melakukan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Hingga awal 2022 atau masa akhir usulan provinsi, total ada lebih dari 123 ribu hektare hutan dengan pembagian 33 persen untuk investasi di kawasan hutan dan 67 persen lagi untuk kebutuhan masyarakat yang diusulkan perubahan.

Dari jumlah itu, sebanyak 62,7 ribu hektare diusulkan untuk pelepasan atau perubahan peruntukan dan sisanya 60,8 ribu hektare akan berubah fungsi kawasan hutannya. Kesemua ini tercantum dalam dokumen review Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu 2012-2023.

"Usulan ini untuk kepentingan permukiman. Beberapa desa di Bengkulu banyak yang masuk dalam kawasan hutan," kata Rohidin di Bengkulu, Sabtu, 4 Februari 2023 lalu.

Ia tak menampik jika usulan itu juga bisa saja mengakomodir kepentingan bisnis ekstraktif seperti batu bara atau mineral lainnya. Hanya saja, klaimnya, tetap dengan prasyarat dan kajian yang lebih ketat. 

"Jika memenuhi syarat dan memberikan dampak ekonomi lebih besar daripada kerusakan lingkungan," katanya.

Dari seluruh usulan itu, Kabupaten Seluma lah yang paling mencolok. Musababnya, selain jumlah usulannya paling luas, rupanya besaran itu melonjak hanya dalam waktu tak sampai tiga tahun.

Kala itu Pemerintah Kabupaten Seluma awalnya hanya mengusulkan perubahan kawasan hutan seluas 4.644 hektare (2019), karena ada kebutuhan utama seluas 3.375 hektare untuk menghubungkan empat desa enclave, yakni Sinar Pagi, Sekalak, Talang Empat, dan Lubuk Resam di Kecamatan Seluma Utara. Namun, menjelang akhir waktu usulan (2021). Kabupaten ini secara mengejutkan mengubah usulan mereka berkali lipat. 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Seluma, Sudarman, mengakui terjadinya perubahan luasan usulan itu memang terkait rencana investasi tambang emas di kawasan hutan Bukit Sanggul. 

"Total rencana investasi sebesar Rp11 triliun," katanya. Namun ia enggan berkomentar banyak soal itu lebih lanjut.

Hanya saja ia memastikan sejauh ini berdasar izin eksplorasi yang telah diterbitkan Bupati Seluma pada 2010, memang ada PT Energi Swa Dinamika Muda yang sudah intens berkomunikasi. Sudarman mengaku mengenal nama PT Perisai Prima Utama, namun menurutnya karena perusahaan itu memiliki izin eksplorasi di luar Bengkulu, maka mereka tak memiliki kewenangan.

“Kalau PT ESDM sudah presentasi mereka. Terakhir, tahun 2022. Cuma kapan geraknya (beroperasi) masih lama. Bisa jadi tahun 2025-an, mungkin,” kata Sudarman dalam sambungan telepon, Minggu, 13 Agustus 2023.

Sejauh ini, lanjut Sudarman, pihaknya masih menunggu ketuk palu dari Gubernur Bengkulu terkait Perda RTRW terbaru. Dengan itu, maka baru bisa melanjutkan proses lain. 

“Masih panjang sekali lah prosesnya. Nanti mau dipaskan lagi koordinatnya, titik eksploitasi dimana, dan lain-lain. Cuma yang jelas kini, status hutan kan sudah berubah, artinya langkah pertama sudah,” katanya.

Rencana pembangunan tambang emas di Bukit Sanggul, diyakini Sudarman, akan memberi efek positif bagi kesejahteraan ekonomi. Salah satunya adalah penggunaan tenaga kerja lokal ketika perusahaan sudah berjalan.

Apalagi, kata dia, kabar dari PT ESDM seluruh pengolahan emas kelak akan digelar di lokasi atau tidak dikirim ke provinsi lain, seperti Sumatera Selatan. Namun demikian, sayangnya Sudarman, enggan menjawab secara tegas bagaimana dampak ekologis ketika produksi sudah berjalan. 

“Yah pokoknya kita pikirkan nanti bagaimana cara jalan keluar soal dampaknya. Itu tadi, prosesnya kan masih lama sekali,” jawabnya.

Jika merujuk SK MenLHK Nomor: 533/MenLHK/Setjen/PLA.2/5/2023, secara keseluruhan, rencana usulan Provinsi Bengkulu yang telah dikirimkan ke KLHK, sepertinya hanya disetujui sekitar 19 persen dari 123 ribu hektare lebih hutan yang diusulkan.

Analisis peta tumpang susun izin di Bukit Sanggul, Kabupaten Seluma, Bengkulu. Sumber data: Auriga Nusantara

Untuk Dua Konsesi Tambang Emas

Seperti disinggung di awal, Egi menyebut ada dua perusahaan pemegang konsesi tambang yang diuntungkan dari penurunan status HL Bukit Sanggul ini, yakni PT Energi Swa Dinamika Muda (ESDM) dan PT Perisai Prima Utama (PPU). Nama dua perusahaan itu muncul saat dilakukan tumpang susun antara peta perubahan fungsi HL Bukit Sanggul, dengan peta sebaran IUP.

“Berdasarkan analisis spasial, seluas 11.992 hektare konsesi PT ESDM, dan 2.818 hektare konsesi PT PPU, masuk dalam areal HL yang diubah menjadi HP itu,” kata Egi.

Hasil pantauan citra satelit periode Juli 2023, lanjut Egi, seluas sekitar 19.223,73 hektare atau setara 96 persen area penurunan fungsi kawasan HL Bukit Sanggul masih bertutupan hutan lahan kering primer.

Betahita mencoba menelusuri profil dua perusahaan tersebut, via Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM. PT ESDM diketahui memegang IUP Operasi Produksi Nomor I.302.ESDM Tahun 2017 seluas 30.010 hektare. Izin operasi produksi tersebut tercatat berlaku mulai 15 Agustus 2017 dan berakhir pada 6 Maret 2023.

Sementara itu tak ada data yang disajikan MODI Kementerian ESDM untuk PT PPU. Setelah ditelusuri lebih lanjut, IUP PT PPU ternyata masuk dalam daftar IUP yang dicabut oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. 

Dicabut IUP-nya, PT PPU kemudian melakukan perlawanan dengan menggugat Menteri Investasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara 16/G/2023/PTUN.JKT. Hasilnya, pada 10 April 2023 lalu, gugatan PT PPU itu dikabulkan oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta. 

Tak sudi kalah, Menteri Investasi kemudian mengajukan upaya banding. Pada 10 Agustus 2023 kemarin, melalui putusan nomor 165/B/2023/PT.TUN.JKT, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta memutuskan menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 16/G/2023/PTUN.JKT tanggal 10 April 2023 yang dimohonkan banding. Dengan lain perkataan, upaya banding Menteri Investasi itu tidak dikabulkan.

Kini para perusahaan itu sudah tak perlu lagi berhadap-hadapan dengan orang kampung. Di atas meja, di Jakarta dan obrolan, semua bisa berubah. Desa Giri Nanto, Muara Dua, hutan-hutan raksasa dan segala isinya yang hidup beratus tahun di Bukit Sanggul bakal hilang ataupun rusak. 

“Anak atau cucu kami kelak yang akan mendulang bencananya. Tak pernah ada ceritanya tambang itu memberi berkah. Yang ada cuma bencana,” kata Wontro.

Matanya menerawang menembus seng butut rumahnya menuju Bukit Sanggul. “Lah buktinya, kalau memang mau buat sejahtera, kenapa dikasih ke perusahaan bukan ke kami,” kata Wontro heran.