LIPUTAN KHUSUS:
Atraksi Kepentingan Revisi Serentak RTRW Provinsi
Penulis : Fauziah - Peneliti Direktorat Penegakan Hukum, Auriga Nusantara
Penataan ruang wilayah (RTRW) menjadi hal yang semakin kompleks dan sarat akan atraksi kepentingan. Terutama setelah UU CK yang lahir dari semangat menumbuhkan iklim investasi, mengubah aturan ketentuannya.
OPINI
Selasa, 22 Agustus 2023
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Penataan ruang wilayah di Indonesia menjadi hal yang semakin kompleks dan sarat akan atraksi kepentingan. Terutama setelah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (CK) yang lahir dengan semangat menumbuhkan iklim investasi, mengubah aturan ketentuannya.
Hingga saat ini, 8 provinsi sudah menetapkan revisi Peraturan Daerah (Perda) tentang Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayahnya (RTRW), dan akan segera disusul oleh provinsi lainnya. Revisi RTRW provinsi berjamaah ini dilatarbelakangi oleh adanya amanat untuk mengintegrasikan rencana tata ruang wilayah darat dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), yang sebelum diatur dalam perda terpisah.
Revisi RTRW provinsi seluruh Indonesia, ditarget selesai dalam jangka waktu 18 bulan sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang. Selain untuk menyatukan perencanaan tata ruang darat, laut, udara dan dalam bumi dalam satu kesatuan perencanaan. RTRW provinsi diharapkan juga dapat menyelesaikan permasalahan ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin dan hak atas tanah.
Di sisi lain, penyelenggaraan tata ruang pasca-UU CK lebih beraroma sentralistik. Sebab kewenangan pemerintah pusat cukup dominan, mulai dari perencanaan hingga pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal penetapan rencana detail tata ruang (RDTR) kabupaten/kota misalnya, pemerintah pusat dapat mengambil alih penetapannya.
Apabila dalam jangka waktu 2 bulan rencana detail tersebut belum ditetapkan oleh kepala daerah, sejak mendapatkan Persetujuan Substansi dari Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Selain itu, aroma sentralistik juga tercium dari ditetapkannya norma, standar, prosedur dan kriteria dalam penyelenggaraan penataan ruang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Partisipasi Publik
Secara normatif, keterlibatan masyarakat sudah menjadi syarat mutlak dalam setiap pengambilan kebijakan. Begitu juga dengan penyelenggaraan tata ruang. Dalam PP 21 Tahun 2021, konsultasi publik menjadi salah satu prosedur yang harus dijalankan dalam perencanaan tata ruang baik nasional maupun daerah.
Tapi, ruang konsultasi publik yang diberikan dalam penyelenggaraan tata ruang ini tidak dijabarkan secara lebih detail. Ketiadaan standar yang dapat mengukur partisipasi publik secara baik atau tidak, memungkinkan partisipasi publik hanya dilakukan untuk memenuhi formalitas saja.
Dalam proses revisi RTRW Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) misalnya, keterlibatan masyarakat masih belum optimal. Sebagaimana diungkapkan oleh Saiduan Nyuk, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kaltim. Saidun mengakui masyarakat memang dilibatkan dalam konsultasi publik penyusunan Perda RTRW, tapi waktu yang diberikan tidak memadai, pun soal kelengkapan dokumennya.
Bahkan masyarakat sesungguhnya memiliki hak atas informasi mengenai penyelenggaraan tata ruang. Namun, pada implementasinya saat ini masyarakat masih terbatas haknya untuk mengetahui proses revisi perencanaan RTRW provinsi saat ini. Buktinya Frans Maru, Sekretaris Camat Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, mengaku belum pernah mendengar rencana perubahan fungsi kawasan hutan lindung di Desa Nyaribungan.
Pembahasan perencanaan penataan ruang seharusnya dilakukan secara optimal. Dikarenakan penataan ruang bukan hanya bicara untuk apa tata ruang dimanfaatkan, tapi juga bicara masyarakat di dalamnya. Seharusnya dalam perencanaan tata ruang, masyarakat terdampak diikut-sertakan agar menimilasir konflik-konflik yang terjadi ke depannya.
Karpet Merah Investasi
Sebagaimana salah satu cita Presiden Joko Widodo (Jokowi), UU CK hadir untuk meningkatkan ekosistem investasi. Hal ini kemudian diejawantahkan dalam PP 21 Tahun 2021. Dibandingkan dengan PP 15 Tahun 2010--yang sebelumnya mengatur penyelenggaraan tata ruang, PP 21 Tahun 2021 menghadirkan muatan yang memberikan kemudahan berusaha maupun berinvestasi
PP 21 Tahun 2021 secara substansi lebih mencirikan kemanfaatan ruang dari pada pola ruang. Tergambar dari banyaknya aturan yang komprehensif mengenai kemanfaatan ruang. Melihat dari aturan yang ada saat ini, setiap orang ataupun korporasi dapat dengan mudah mendapatkan dokumen kesesuaian pemanfaatan ruang.
Kemudahan mendapatkan ruang berkegiatan usaha juga tampak jomplang dengan penetapan hutan adat. Pemanfaatan tata ruang untuk kegiatan usaha cenderung lebih mudah didapatkan oleh setiap orang maupun korporasi.
Sementara untuk memperoleh penetapan hutan adat, suatu komunitas masyarakat adat harus menjalani proses rumit nan sukar, dan belum tentu pula usulannya ditetapkan, meski kemanfaatannya untuk komunal.
Menurut catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), hutan adat yang sudah mendapatkan penetapan baru sebanyak 123 unit, dengan luasan sekitar 221.648 hektare. Angka luasan itu begitu rendah, mengingat potensinya yang besar. Sejauh ini wilayah adat yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah angkanya mencapai 3,73 juta hektare, dan yang belum mendapatkan pengakuan seluas 23,17 juta hektare.
Revisi RTRW provinsi serentak di tahun politik juga rentan akan ragam kepentingan. Dalam proses RTRW provinsi yang sudah berjalan saat ini, ditemukan adanya penunggangan kepentingan korporat di samping mengintegrasikan tata ruang yang ada.
Dalam kasus RTRW Provinsi Bengkulu misalnya, Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor SK.533/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2023, yang terbit dalam rangka review RTRW, mengakomodasi perubahan fungsi hutan lindung Bukit Sanggul menjadi hutan produksi seluas 19.223,73 hektare. Motivasi penurunan fungsi hutan lindung ini tertulis untuk peningkatan iklim investasi.
Penurunan fungsi hutan lindung untuk kepentingan korporasi juga terendus terjadi di Kaltim. Penurunan fungsi hutan lindung di Kabupaten Mahakam Ulu, dicurigai bakal diamini, agar sejumlah korporasi leluasa mengeruk perut bumi.
Tentu saja, perubahan fungsi kawasan hutan berbau korporasi seperti di Kaltim dan Bengkulu itu, memungkinkan terjadi pula dalam proses revisi RTRW di 30 provinsi lainnya. Dalam hal ini, kepekaan publik akan kembali diuji.
Dengan tenggang waktu yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menyelesaikan revisi RTRW Provinsi saat ini, penulis kemudian bertanya-tanya. Apakah seluruh provinsi akan dapat menyelesaikannya sesuai target sebagaimana amanat PP 21 Tahun 2021? Bilapun target tersebut tercapai, apakah ada jaminan perencanaan tata ruang tersebut tidak menyisakan permasalahan di kemudian hari?