LIPUTAN KHUSUS:

Warga Labuan Bajo ke Jakarta Tagih Ganti Rugi PSN Golo Mori NTT


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

"Demi ayah langit dan ibu bumi dan leluhur yang telah wariskan tanah untuk kehidupan, kami akan terus perjuangkan hak-hak kami," ujar Doni Parera, pendamping warga Golo Mori.

Agraria

Senin, 25 September 2023

Editor :

BETAHITA.ID - Sejumlah warga korban penggusuran Proyek Strategis Nasional (PSN) di Golo Mori, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), datang ke Jakarta untuk menggelar aksi pada puncak perayaan KTT ASEAN ke-43 di Jakarta, Kamis (7/9/2023) lalu. Aksi serupa sebelumnya pernah dilakukan warga di daerahnya, namun menurut warga, yang didapat hanya janji-janji tak kunjung terealisasi.

Warga menempuh perjalanan laut tiga hari dari Labuan Bajo ke Surabaya, dilanjutkan dengan perjalanan kereta 12 jam perjalanan ke Jakarta, untuk menyuarakan hak-hak mereka pada petinggi negeri ini di hadapan tamu-tamu negara yang hadir dalam KTT ASEAN.

“Negara telah merampas hidup kami. Kami terpaksa menempuh perjalanan jauh ke Jakarta, dengan biaya sendiri, untuk memastikan hak-hak kami yang telah dirampas dipertanggungjawabkan pemerintah,” ujar Victor Frumentius, warga Desa Warloka yang menjadi korban penggusuran.

Selama di Jakarta, warga didampingi sejumlah organisasi masyarakat sipil, di antaranya LSM Ilmu, Serikat Pemuda NTT, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Solidaritas Perempuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Sejumlah warga Labuan Bajo menggelar aksi menuntut ganti rugi PSN Jalan KEK Golo Mori-Labuan Bajo di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (7/9/2023). Foto: Istimewa.

“Demi ayah langit dan ibu bumi dan leluhur yang telah wariskan tanah untuk kehidupan, kami akan terus perjuangkan hak-hak kami yang dirampas negara, meski intimidasi dan kriminalsiasi terus membayangi kami,” ujar Doni Parera dari Manggarai Raya yang ikut bersama warga.

Doni mengatakan, kedatangan warga ke Jakarta sebetulnya adalah memanfaatkan momen KTT ASEAN untuk menyuarakan penindasan dan manipulasi oleh negara kepada delegasi ASEAN yang datang KTT ke-43 di Jakarta. Namun, aksi warga di wilayah Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis kemarin dihadang aparat kepolisian.

"Aparat penegak hukum yang mestinya melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, ikutan dengan kemunafikan pemerintah untuk sembunyikan semua persoalan di bawah karpet merah para delegasi yang datang. Semua soal mesti disembunyikan," kata Doni.

Warga menuntut pemerintah untuk segera bertanggung jawab atas hak-hak mereka yang telah dirampas pemerintah secara sepihak, mulai dari penggusuran rumah dan pekarangan, hingga lahan persawahan tanpa ganti rugi. Penggusuran itu berdampak langsung pada 51 keluarga dari Kampung Cumbi, Nalis, dan Kenari yang mayoritas petani dan guru honorer.

Jumlah aset warga yang menjadi korban penggusuran antara lain, 2 rumah permanen 2 lantai, 5 rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 meter persegi pekarangan, 1.790 meter persegi sawah, dan 1.080 meter persegi ladang.

Penggusuran itu dilakukan untuk membuka akses jalan sepanjang 25 kilometer dengan lebar 23 meter untuk menghubungkan Labuan Bajo dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Golo Mori. Infrastruktur jalan tersebut dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui perusahaan konstruksi BUMN Wijaya Karya (PT WIKA), dengan anggaran Rp407,04 miliar.

Pada 14 Maret 2023 lalu, Presiden Jokowi telah meresmikan jalan tersebut, lalu KEK Golo Mori bahkan menjadi salah satu titik penyelenggaraan pertemuan KTT ASEAN ke-42 pada 9-11 Mei lalu.

Pada peringatan KTT ASEAN di Labuan Bajo lalu, warga korban penggusuran telah menuntut keadilan kepada pemerintah, namun alih-alih didengar, warga justru dilarang melakukan aksi, diintimidiasi, dan empat orang di antaranya (dua orang warga, dan dua pendamping) justru dikriminalisasi, dituduh melakukan penghasutan.

Janji-janji pemerintah terhadap warga untuk memberikan ganti kerugian atas rumah, pekarangan, dan persawahan pada KTT ASEAN di Labuan Bajo tersebut, terus digantung tanpa kejelasan, hingga membuat warga terpaksa ke Jakarta untuk kembali menuntut keadilan dalam momentum KTT ASEAN ke-43.

"Berharap agar pihak-pihak petinggi negara di Jakarta dengan serius melayani dan menerima aspirasi kami. Agar kami bisa terima ganti rugi kami. Agar kami bisa membangun rumah kami kembali, atau membeli lahan baru," imbuh Victor.

Doni Parera mengatakan, di Jakarta warga mendatangi sejumlah kementerian dan lembaga, seperti Kantor Staf Presiden, Kementerian PUPR dan Komnas HAM. Dalam pertemuan dengan pihak Kementerian PUPR, Jumat (8/9/2023), pejabat pada Direktorat Pembangunan, Direktorat Jenderal Bina Marga, menyebut akan melakukan pertemuan dengan Bupati Manggarai Barat dan warga, membahas ganti rugi lahan yang dituntut warga.

Menurut Doni, hasil pertemuan dengan pihak Kementerian PUPR ini sebenarnya masih mengecewakan. Karena persoalan ini seperti dikembalikan ke pihak Pemda, yang menurut warga manipulatif dalam masalah ganti rugi ini.

"Namun kami tetap menaruh harap bahwa keadilan tetap bisa kami dapatkan. Kami akan terus upayakan semua kemungkinan yang bisa. Termasuk bila harus datangi kedutaan asing, Lembaga-lembaga internasional untuk sampaikan bahwa masih ada pelanggaran HAM yang dilakukan dan ditutupi oleh Pemerintah Indonesia," kata Doni.

Kronologi Masalah

Pembangunan akses jalan dari Labuan Bajo menuju KEK Tanah Mori di Desa Golo Mori, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, itu telah selesai dikerjakan. Namun meninggalkan sejumlah masalah, terutama mengenai pemenuhan hak-hak masyarakat setempat. Hal tersebut diuraikan warga dalam sebuah dokumen yang dilampirkan dalam surat permohonan penyelesaian ganti rugi yang warga sampaikan kepada Bupati Manggarai Barat, Direktur Bina Marga Kementerian PUPR, dan Kepala ATR/BPN Kabupaten Manggarai Barat.

Ruas jalan yang menelan Rp407,04 miliar untuk pembangunannya itu melintasi beberapa desa, yakni Desa Gorontalo, Desa Macang Tangar (Kampung Nanga Nae, Mbreta dan Nalis), Desa Warloka (Kampung Cumbi dan Warloka), dan Desa Golo Mori.

Ruas jalan baru itu membelah kampung, menggusur tanah serta rumah-rumah beberapa kelompok warga. Meski konon ada anggaran ganti kerugian, tapi masih ada beberapa kelompok warga yang tidak mendapatkan bagian.

Di Kampung Mberata dan Nalis, di Desa Macang Tanggar, dan Kampung Cumbi, Desa Warloka, hampir semua masyarakat tidak mendapat ganti rugi. Di Kampung Cumbi dan Nalis, total ada sekitar 43 keluarga yang terdampak dari proses pembanginan ini, tanah mereka digusur tanpa ganti rugi. Bahkan, sekitar 16-18 kepala keluarga kehilangan rumah, tanah dan lahan pertaniannya.

Menurut riwayatnya, pertama kali warga mendapat sosialisasi pembangunan jalan itu pada 2018 lalu. Kala itu warga diinformasikan bahwa jalan itu akan dibangun selebar sekitar 20 meter, sehingga pasti berdampak pada rumah dan lahan warga yang berada di pinggir jalan.

Dalam sosialisasi itu, pemerintah juga menegaskan tidak ada ganti rugi untuk itu. Warga sendiri tidak menolak hal tersebut karena merindukan akses jalan bagus yang selama ini tidak ada di kampunya.

Untuk diketahui, meski berada tidak jauh dari Labuan Bajo, kota pariwisata super-premium, selama ini akses dari dan ke kampungnya hanyalah berupa jalan setapak yang hanya bisa dilalui kendaraan sepeda motor saat musim kering. Terkadang, akses dari Labuan Bajo ke kampung mereka terpaksa harus ditempuh melalui jalur laut.

Menurut warga, pembongkaran rumah tanpa ganti rugi itu karena mereka telah membuat pernyataan tertulis dengan pemerintah daerah. Penyataan tertulis bermaterai itu, dibuat oleh pemerintah yang kemudian ditandatangani saja oleh warga. Warga menurut saja, karena ada upaya pemerintah untuk memindahkan jalan baru tersebut melalui bagian belakang Kampung Cumbi.

Warga beranggapan, pembangunan jalan itu akan memberikan banyak manfaat kepada mereka, warga setuju membongkar mandiri rumah-rumah mereka. Camat setempat juga memberikan ultimatum, isinya bila tidak segera membongkar rumah masing-masing tanpa ganti rugi, maka jalan akan dipindahkan ke belakang kampung.

Victor Frumentus, bahkan tak hanya membongkar rumahnya sendiri, ia juga harus mendirikan tenda darurat untuk menetap sementara. Terhitung sejak Februari 2022 hingga Agustus 2022 ia tinggal di tenda itu. Karena merasa tidak lagi nyaman tinggal di tenda itu, Victor kemudian mendirikan rumah baru, tak jauh dari lokasi rumah yang sudah dibongkar dengan biaya sendiri berjumlah sekitar 30 juta.

Meski awalnya senang dan mendukung pembangunan jalan itu di tengah kampungnya, tapi Victor belakangan menyesal. Sebab tidak mengira jalan tersebut akan berbentuk seperti sekarang, yang mengeruk kampung mereka hingga kedalaman hampir 10 meter. Membuat sebagian rumah warga tampak berada di ketinggian. Sebab pihak kontraktor jalan, tidak pernah mensosialisasikan seperti apa bentuk jalan itu nantinya.

Berbeda dengan Kampung Cumbi, Nalis dan Mberata, di Kampung Nanga Nae, Desa Macang Tanggar, sebagian warga tetap mendapat ganti rugi atas tanah dan rumah yang terkena dampak atas pembangunan jalan tersebut. Besaran ganti rugi yang didapat warga variatif, puluhan hingga ratusan juta rupiah. Meski begitu, tetap ada warga yang tidak puas dengan ganti rugi yang mereka terima, karena tidak sebanding dengan nilai tanah dan rumah mereka.

Di sepanjang jalan itu, terdapat pula lahan-lahan pertanian (sawah) warga yang terancam gagal panen. Soalnya, saluran irigasi yang sebelumnya berfungsi mengalirkan air ke sawah-sawah mereka sudah rusak, karena pembangunan jalan itu. Meski ada upaya perbaikan oleh pemerintah, tetapi tidak membuat saluran irigasi itu berfungsi maksimal seperti sedia kala.

Berbagai upaya sudah coba ditempuh warga, namun sampai saat ini belum juga berhasil. Beberapa kali warga membuat pengaduan atas masalah ini. Misalnya, mereka pernah dua kali berupaya bertemu Bupati Manggarai Barat, tetapi si Bupati selalu berhalangan, dan hanya bisa puas bertemu dengan bawahan si Bupati.

Di lain kesempatan, warga juga pernah membuat pengaduan saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Labuan Bajo pada Juli 2022 lalu. Sayangnya, upaya warga itu juga buntu, bahkan sebagian warga sempat ditahan oleh aparat keamanan, karena berupaya membentangkan spanduk, menyampaikan persoalan tersebut kepada Presiden Joko Widodo.