LIPUTAN KHUSUS:

Pembela Lingkungan dan HAM Masih Tidak Aman di Indonesia


Penulis : Kennial Laia

Tingkat keselamatan pembela lingkungan dan HAM di Indonesia masih rendah. Terancam kriminalisasi, penganiayaan, hingga pembunuhan.

Pejuang Lingkungan

Jumat, 15 September 2023

Editor :

BETAHITA.ID -  Keselamatan pembela lingkungan di Indonesia terus terancam, bahkan dapat berujung kematian. Pada 2022, sebanyak tiga orang dibunuh karena memperjuangkan lingkungan hidup, menurut data terbaru dari organisasi Global Witness yang dirilis pekan ini. 

Global Witness mencatat 177 kasus pembunuhan terhadap pembela lingkungan tahun lalu di seluruh dunia. Dari total tersebut, 16 kasus terjadi di Asia. Filipina mencatat kasus terbanyak, yakni 11 kasus, disusul Indonesia dan India dengan tiga kasus. Global Witness mengakui bahwa angka ini terlalu rendah, karena minimnya pelaporan, terutama di wilayah Asia dan Afrika. 

Menanggapi laporan tersebut, Direktur Hukum Auriga Nusantara Rony Saputra mengatakan, pembela lingkungan memang belum aman di Indonesia. Banyak faktor, mulai dari minimnya perlindungan, penegakan hukum yang tidak berpihak, hingga kriminalisasi menggunakan pasal-pasal umum untuk membatasi gerak-gerik pembela lingkungan. 

“Rata-rata pembela lingkungan dijerat dengan tuduhan menggunakan KUHP, termasuk pencurian, memasuki pekarangan secara tidak sah, atau menghalangi perusahaan melakukan panen atau usaha pertambangannya,” kata Rony, Kamis, 14 September 2023. 

Aktivis membentangkan spanduk yang menuntut pembebasan Heri Budiawan alias Budi Pego, warga desa Sumber Agung, Banyuwangi. Budi dituduh menyebarkan ajaran komunisme dan marxisme dalam aksi penolakan keberadaan pertambangan emas oleh PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI) di Tumpang Pitu, Banyuwangi. Dok YLBHI

“Pasal-pasal umum ini kemudian ditetapkan untuk menjerat pembela lingkungan, meskipun mereka tidak pernah melakukannya. Penggunaan pasal ini menggunakan tangan penegakan hukum, dan ini diproses,” kata Rony. 

Pada 2022, Auriga mencatat 26 kasus terkait perundungan terhadap pembela lingkungan, termasuk tiga kasus yang berujung maut. Sementara itu untuk tahun 2023, terdapat 14 kasus yang tercatat hingga September. 

Salah satu kasus yang sedang disorot adalah masyarakat dari 16 kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Rempang, yang memperjuangkan ruang hidup dan lingkungannya. Mereka terancam relokasi demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City. Pada 7 September, penolakan masyarakat dibalas dengan penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian, hingga ke sekolah-sekolah. 

“Dari kasus Rempang ini, kami memperkirakan bahwa jumlah korban pembela lingkungan tahun ini lebih banyak dari tahun 2022,” tutur Rony. 

“Mendekati tahun politik, kami menemukan pola yang relatif hampir sama dengan tahun lalu. Bahkan, tindakan kekerasa aparat penegak hukum relatif meningkat. Tidak hanya kasus demokrasi, tetapi juga kasus pembela lingkungan hidup,” ungkap Rony. 

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, mengatakan bahwa pembela hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, khususnya di bidang pelestarian lingkungan hidup rentan diserang dan dikriminalisasi. Ini terjadi ketika aktor negara dan bisnis besar menganggap aktivitas mereka mengganggu skema ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam berskala besar. 

Sepanjang Januari 2019 hingga Mei 2022, Amnesty Internasional mencatat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan digital terhadap pembela HAM, dengan 834 korban di Indonesia. Jumlah ini termasuk aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. 

Amnesty International Indonesia juga mencatat dari periode Januari 2019 hingga Mei 2022, setidaknya terdapat 37 kasus penyerangan terhadap pembela lingkungan hidup dan hak atas tanah, yang menimbulkan sedikitnya 172 korban. Selama periode itu, jumlah korban paling banyak terjadi pada 2020 sebanyak 79 orang.

Pada Maret tahun ini, Amnesty Internasional mencatat penangkapan aktivis pembela hak asasi manusia dan lingkungan hidup di Banyuwangi, Heri Budiawan alias Budi Pego. Dia dikriminalisasi dengan tuduhan tindak “kejahatan terhadap keamanan negara” setelah terlibat dalam aksi protes damai menolak aktivitas pertambangan emas di Gunung Salakan, Banyuwangi, Jawa Timur, pada April 2017 lalu.

“Tuduhan yang dilayangkan kepada Budi Pego merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan untuk menghambat dia memperjuangkan hak-hak masyarakat atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan,” kata Usman. 

Pada Agustus, Amnesty mencatat adanya sikap represif aparat keamanan terhadap protes damai warga Nagari Air Bangis di Padang. Sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis selama enam hari melakukan aksi damai menolak rencana pembangunan proyek strategis nasional di wilayah mereka di depan Kantor Gubernur Sumatera Barat, Padang. Mereka beralasan, proyek itu mengancam mata pencaharian dan hak-hak mereka atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Sebagai respons, aparat keamanan memulangkan warga secara paksa dan menangkap 18 orang, yang terdiri dari tokoh masyarakat, mahasiswa, dan advokat ataupun pendamping masyarakat. 

“Kasus-kasus ini, termasuk laporan dari Global Witness tersebut, bisa memunculkan efek gentar bagi siapa saja yang memiliki pendapat berbeda dari kebijakan yang didukung negara, terutama pembela HAM, aktivis lingkungan dan masyarakat lokal yang berjuang menyelamatkan dan melindungi lingkungan dari kerusakan,” kata Usman.