LIPUTAN KHUSUS:

Hari Badak Sedunia: Turun 7 Harkat Kebijakan Penyelamatan Badak


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Bila sebelumnya para pakar badak dan pemerintah duduk bersama membahas dan memformulasikan berbagai upaya konservasi badak di Indonesia, hingga melahirkan dokumen Indonesian Rhino Strategy and Action Plan, kini hanya dituntun oleh 3-4 lembar surat edaran Dirjen KLHK.

Badak

Jumat, 22 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

JIKA menemukan sebatang jarum di tumpukan jerami merupakan tugas sulit, cobalah menemukan badak di habitatnya. 

Susahnya menemukan badak itu diceritakan Prof. Hadi S. Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan Wakil Ketua Dewan Pembina YABI (Yayasan Badak Indonesia), pada Senin, 18 September 2023. Alkisah, tim survei Taman Nasional Way Kambas, Lampung, yang mencoba menemukan badak pada akhir 2022 lalu di bagian tengah taman gagal total. Padahal, untuk misi itu dikerahkan 120 surveyor yang bekerja selama dua pekan. Namun jangankan bersiborok dengan hewan pemalu tersebut, menemukan jejaknya pun tidak.

"Kotoran enggak ada, jejak pun nggak. Tidak ada tanda-tanda di pohon, seperti bekas gesekan badak,” ujar Alikodra.

Demikianlah. Karena itu, tak berlebihan bila badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan badak jawa (Rhinoceros sondaicus) disebut dua satwa superlangka. Bahkan saking langkanya, jumlah pasti populasinya, yang masing-masingnya tak sampai 100 individu, tak ada yang tahu.  Yang ada sejauh ini angka perkiraan. Itupun lain sumber, lain angkanya.

Badak jawa Manggala, yang ditemukan mati di TNUK pada 21 Maret 2019. (Dok.TNUK)

Buku Statistik Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) 2019 misalnya menyebutkan populasi badak jawa sebanyak 72 individu, sedangkan badak sumatra 21 individu. Laporan yang lebih baru, yang dikeluarkan TRAFFIC dan Asian Rhino Specialist Group IUCN tahun 2020 memperkirakan jumlah badak sumatera tersisa 34-37 individu.

Selain merupakan spesies superlangka, badak jawa dan sumatra adalah penyandang status flagship species, satwa payung (umbrella species), satwa kunci (key species), hingga satwa terancam punah (endangered species). Jumlahnya yang hanya beberapa, dan "Sejumlah predikat ini membuat upaya konservasi terhadap keduanya harusnya menjadi prioritas dan harus serius dilakukan," ujar Riszki Is Hardianto, Peneliti Auriga Nusantara, Senin (18/9/2023). Tapi yang terjadi justru sebaliknya. "Pedoman arahan kebijakan pengelolaan konservasi terhadap badak sumatera dan badak jawa yang diterbitkan pemerintah, malah terkesan turun gengsi dan derajatnya," dia menambahkan.

"Bila lebih dari 30 tahun lalu para pakar badak dan pemerintah duduk bersama membahas dan memformulasikan berbagai upaya konservasi badak di Indonesia, hingga berbuah dokumen Indonesian Rhino Strategy and Action Plan, kini pengelolaan konservasi badak hanya dituntun oleh surat edaran Dirjen (Direktur Jenderal) KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saja," kata Riszki.

Dulu, Pemerintah Indonesia pernah cukup serius meramu kebijakan, yang menjadi pedoman pengelolaan dan pelaksanaan konservasi badak. Pada Mei 1993, Direktorat Jenderal (Dirjen) Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementerian Kehutanan, bersama lembaga konservasi dan pakar badak menerbitkan Indonesian Rhino Conservation Strategy atau Strategi Konservasi Badak Indonesia. Kemudian pada Juni di tahun yang sama Dirjen PHKA juga menerbitkan Indonesian Rhinoceros Conservation Action Plan Priorities atau Prioritas Rencana Aksi Konservasi Badak Indonesia.

Dalam dua dokumen itu--masing-masing tebalnya 70 halaman dan 35 halaman--rencana pelaksanaan konservasi badak di Indonesia dirancang sedemikian detail. Pihak mana saja yang dilibatkan, pembagian peran masing-masing pihak, berapa besar kebutuhan anggarannya, dan pihak mana saja yang menanggung pembiayaan kegiatannya, dituliskan secara jelas.

Strategi dan rencana aksi konservasi badak Indonesia kemudian dilanjutkan pada 2007, saat Dirjen PHKA menerbitkan Strategy and Action Plan for The Conservation of Rhinos in Indonesia 2007-2017 atau Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Badak di Indonesia 2007-2017, yang terdiri dari 68 halaman. Sama seperti sebelumnya, dokumen itu mendetailkan segala rencana kegiatan, pihak-pihak yang terlibat dan pendanaan konservasi badak di Indonesia.

Namun, SRAK Badak Indonesia berakhir 2017 lalu. Sebagai gantinya, KLHK melalui Ditjen KSDAE --sebelumnya disebut Ditjen PHKA--di era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang pertama menerbitkan Rencana Aksi Darurat (RAD) Penyelamatan Populasi Badak Sumatra 2018-2021.

Pada intinya, RAD Badak Sumatra setebal 32 halaman ini merupakan kerangka kerja terhadap berbagai program dan kegiatan konservasi badak sumatra yang telah disahkan. RAD ini memuat strategi dan rencana aksi prioritas yang akan dievaluasi setiap tahun. Aksi darurat yang akan dilakukan terhadap badak sumatra, sesuai dokumen tersebut, ada dua. Terhadap populasi kurang dari 15 individu akan dilakukan penyelamatan individu ke suaka badak. Sedangkan terhadap populasi lebih dari 15 individu akan dilakukan peningkatan intensitas proteksi.

Namun RAD tidak berjalan lancar, setelah pada 10 Januari 2020, KLHK memutus hubungan kerja samanya dengan World Wildlife Fund (WWF). Pemutusan hubungan kerja sama dengan WWF ini berdampak cukup signifikan terhadap RAD, khususnya yang dilakukan di Kalimantan. Sebab, WWF merupakan penanggung jawab pelaksanaan aksi darurat terhadap badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis harrisoni) yang ada di Kalimantan.

"Dampak teknis dari pemutusan kerja sama ini adalah proyek-proyek kita terhenti, termasuk badak sumatra di Kalimantan Timur. Hal ini dengan sedih dan terpaksa kita tinggalkan," kata Kuntoro Mangkusubroto, Ketua Badan Pembina Yayasan WWF Indonesia, dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Jakarta, Selasa, 28 Januari 2020 silam.

Dalam konferensi pers itu, Kuntoro juga menyebut, pemutusan hubungan kerja sama KLHK-WWF Indonesia ini, juga mengakibatkan terhentinya pencarian empat individu badak sumatra yang pernah teridentifikasi keberadaannya di Kalimantan Timur.

Kebijakan untuk melindungi badak jawa bahkan lebih buruk dari badak sumatera pada masa-masa ini. Berbeda dengan badak sumatera yang dibuatkan RAD Penyelamatan Populasi, arah rencana konservasi badak jawa pasca-SRAK tidak ada panduannya. Tidak ada rencana aksi atau petunjuk yang diterbitkan untuk menggantikan atau mengisi kekosongan kebijakan strategis konservasi dari pemerintah untuk badak jawa.

Barulah, pada 21 Maret 2023 dan 28 Maret 2023 lalu, Dirjen KSDAE mengeluarkan dua surat edaran, yakni Nomor: SE.3/KSDAE/KKHSG/KSA.2/3/2023 tentang Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Badak Jawa, dan Nomor: SE.4/KSDAE/KKHSG/KSDA.2/3/2023 tentang Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Badak Sumatra. Dua surat edaran Dirjen KSDAE--yang kala diterbitkan ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) KLHK Bambang Hendroyono yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen KSDAE-- inilah yang kemudian menjadi panduan teranyar bagi pengelolaan di tingkat tapak dalam melaksanakan kegiatan prioritas pengelolaan badak jawa dan badak sumatera.

Panduan pelaksanaan konservasi badak jawa dan badak sumatra berupa surat edaran Dirjen KSDAE ini susah diperbandingkan dengan RAD atau SRAK. Dua surat edaran itu terdiri dari 3-4 halaman, sedangkan RAD dan SRAK masing-masing 32 dan 68 halaman. Isi surat edaran masing-masing 3 arahan strategis disertai poin-poinnya kegiatannya.

Surat edaran ini tak menjabarkan secara detail siapa saja pihak yang dilibatkan, apa saja tugas dan peran masing-masing pihak. Selain itu, tak ada pula rincian anggaran dana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kegiatan dan sumber pendanaannya.

Riszki menganggap wajar bila surat edaran konservasi badak sumatera dan badak jawa tidak dilengkapi detail rincian para pihak yang dilibatkan, anggaran dana yang dibutuhkan dan sumber pendanaannya. Sebab, berbeda dengan SRAK dan RAD, surat edaran ini tidak dibuat secara kolaboratif melibatkan lembaga-lembaga konservasi badak.

"Jadi hanya sekedar memberi arahan saja sifatnya, dan kurang partisipasi dan kolaborasi dengan stakeholder terkait. Dan ini juga yang menjadi kelemahannya. Tidak ada pembagian tugas dan peran. Siapa yang melakukan apa, siapa yang mendanai kegiatan apa, dan lain-lain. Sehingga implementasinya sulit dipertanggungjawabkan, terutama dalam hal monev (monitoring dan evaluasi) capaian kegiatan yang sudah dilakukan," tutur Riszki.

Namun, menurut Dirjen KSDAE, Satyawan Pudyatmoko, dokumen panduan atau arahan konservasi badak di Indonesia bisa dalam bentuk apa saja. Bisa bentuknya strategi rencana aksi, rencana aksi strategi, maupun surat edaran. Sebab,  katanya, semua isinya adalah sama, yaitu arahan strategi untuk melakukan tindakan konservasi badak Indonesia.  

"Surat edaran dipandang lebih efektif karena bersifat instruksi langsung kepada para pengelola dan mitra untuk melaksanakan kegiatan yang dapat mencapai sasaran sesuai kebutuhan di lapangan," kata Satyawan, Selasa (19/9/2023).

Buah Pahit Lemahnya Kebijakan Pengelolaan Badak

Lemahnya kebijakan pengelolaan badak di Indonesia, termasuk penegakan hukum perburuan satwa dilindungi, diduga telah berbuah pahit. Beberapa bulan lalu satu individu badak jawa ditemukan tinggal tulang belulang di habitat terakhirnya di Taman Nasional (TN) Ujung Kulon. Badak yang belum diketahui identitas tersebut ditemukan tanpa cula. Temuan ini diungkap tim operasi gabungan Polda Banten dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK.

Dilihat dari hilangnya cula tersebut, besar kemungkinan badak malang tersebut mati karena perburuan. Dugaan perburuan itu pula yang kemudian melatarbelakangi penangkapan 6 warga sekitar TNUK, dan penyitaan 345 bedil locok beserta amunisinya Agustus lalu.

Sebelum tulang belulang badak tanpa cula di TNUK itu terungkap, Auriga Nusantara juga sudah membunyikan alarm indikasi peningkatan perburuan badak di Ujung Kulon. Dalam laporan Badak Jawa di Ujung Tanduk yang dirilis pada 11 April 2023 lalu, Auriga Nusantara membeberkan indikasi-indikasi telah terjadinya perburuan badak.

"Karena indikasi perburuan sudah jelas," ujar Riszki. "Tapi kita kaget ada temuan terbaru badak mati tanpa cula,” dia menambahkan.

Masalahnya, untuk melawan pemburu diperlukan patroli yang intensif. Patroli yang intensif memerlukan anggaran tidak sedikit.

Minim Anggaran Konservasi Badak

Dilihat dari sisi anggaran, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2023 menunjukkan alokasi dana untuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) nilainya Rp1,67 triliun. Angka itu  digunakan untuk membiayai pengelolaan 568 unit kawasan konservasi dengan luas total sekitar 26,9 juta hektare, yakni 214 cagar alam, 80 suaka margasatwa, 11 taman buru, 54 taman nasional, 130 taman wisata alam, 39 taman hutan raya, dan 40 kawasan suaka alam/kawasan pelestarian alam.

Indra Eksploitasia, salah satu Staf Ahli Menteri KLHK, mengakui salah satu kendala mengelola konservasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)--satu-satunya habitat tersisa badak jawa--adalah anggaran. Hal tersebut disampaikan mantan Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetika (KKHSG) tersebut dalam kunjungan Komisi IV DPR RI ke Kantor Balai TNUK, Jumat (15/9/2023).

Mengenai anggaran konservasi di TNUK yang tidak terlalu banyak, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Anggia Erma Rini mengatakan memang harus ada skema lain yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini. Di antaranya dengan bekerja sama dengan berbagai pihak.

Dulu, saran Anggia sudah dilakukan. Dengan WWF misalnya. Untuk diketahui WWF Indonesia memulai kerja pelestarian badak jawa di Ujung Kulon sejak 1962. Tak diketahui jumlah total dana konservasi badak jawa yang sudah didukung WWF Indonesia, namun dalam periode 2016-2019, WWF Indonesia memberikan dukungan senilai Rp15 miliar untuk proteksi badak jawa di Ujung Kulon.

Sebelumnya, pihak Balai TNUK menyebut anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk Balai TNUK per tahunnya berkisar antara Rp17 miliar hingga Rp18 miliar. Sebagian besar atau sekitar 70 persen dari anggaran itu dialokasikan untuk gaji pegawai dan honor tenaga tidak tetap, seperti tenaga pengamanan hutan lainnya (TPHL) dan masyarakat mitra polhut (MMP).

"Kalau anggaran semua taman nasional sama masalahnya. Kurang semua. Ya dicukup-cukupkanlah. Artinya kita, dari pemerintah dengan APBN menurut saya sudah memadai, adapun ya kurang-kurangnya ada mitra kita bisa membantu. Kalau misalnya dia (anggaran) sudah ada ya mitra membantu yang lain. Dan kita tidak tergantung dari mitra juga. Saya siapkan anggarannya kok," kata Anggodo, saat masih menjabat sebagai Kepala Balai TNUK, Rabu (12/4/2023) lalu.

Dalam kesempatan yang sama, Anggodo mengungkapkan, anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan teknis konservasi badak pada 2023, nilainya sekitar Rp800 juta. Salah satu kegiatan teknis yang dibiayai dengan dana tersebut adalah pemantauan badak jawa.

"Untuk kegiatan rutin monitoring badak dan satwa lain, patroli dianggarkan terpisah. Khusus badak, monitoring dianggarkan Rp800 juta, satwa lainnya banteng, macan, owa dianggarkan Rp200 juta. Mitra membantu kita hanya untuk mengisi kesenjangan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) kita," kata Anggodo.

Lebih lanjut Anggodo menerangkan, anggaran untuk konservasi satwa, termasuk untuk badak jawa, rutin dianggarkan setiap tahunnya, kecuali pada 2020. Karena pandemi Covid 19, alokasi anggaran untuk Balai TNUK pada 2020 terkena penghematan dan berimbas pada anggaran untuk konservasi satwa.

“Tahun 2020 ada Covid jadi anggaran kena penghematan. Kita dibantu mitra YABI untuk kegiatan monitor badak. Tahun 2021 sudah bisa dianggarkan kembali Rp860 juta untuk kegiatan monitor badak. Tahun 2022 dianggarkan kembali Rp800 juta untuk badak dan Rp100 juta untuk banteng dan owa,” kata Anggodo.

Soal anggaran ini juga menjadi masalah dalam konservasi badak di Sumatera dan Kalimantan. Sebelumnya, kegiatannya  masih mendapat bantuan Program Tropical Forest Conservation Act (TFCA), menggunakan debt-for-nature swap atau pengalihan hutang yang digunakan untuk membiayai program konservasi keanekaragaman hayati dan hutan tropis.

Program debt-for-nature swap adalah program Pemerintah Amerika Serikat yang mengalihkan hutang negara-negara yang memiliki hutan tropis untuk tujuan konservasi. Dimulai pada 2009 lalu, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat bersepakat mengalihkan USD30 juta utang Indonesia kepada Amerika Serikat untuk kegiatan konservasi bentang alam di Sumatera. Kemudian pada 2011, Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat kembali menandatangani kesepakatan debt-for-nature swap dalam kerangka TFCA 2 senilai USD28,5 juta yang dipergunakan untuk membantu upaya pelestarian hutan dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia khususnya di Kalimantan.

Selanjutnya, pada 2014, TFCA Sumatera mendapat tambahan mandat untuk mengelola USD12,58 juta, khusus untuk mendukung kegiatan konservasi satwa karismatik Sumatera yang terancam punah, yaitu badak, harimau, gajah, dan orangutan sumatera.

Direktur TFCA Sumatera, Samedi, menyebut dana TFCA yang disalurkan untuk mendanai berbagai kegiatan konservasi di Sumatera, sejak 2011 hingga 2021, nilainya lebih dari Rp300 miliar. Khusus untuk pembiayaan kegiatan penyelamatan badak sumatra, besarnya lebih dari Rp100 miliar.

Samedi mengatakan, dana tersebut di antaranya digunakan untuk mendukung pelaksanaan Emergency Action Plan Badak yang diterbitkan pada 2018, dan mendukung pelaksanaan kegiatan penyelamatan badak dua sub populasi, yaitu di TN Way Kambas dan TN Gunung Leuser dan sekitarnya.

Namun begitu, menurut Samedi, mengandalkan dana TFCA saja tidaklah cukup untuk mendukung kegiatan konservasi badak sumatra. Saat ini, katanya, ada dua hal yang diperlukan, yakni perlindungan penuh populasi-populasi yang dianggap masih viable, dan penyelamatan populasi yang tidak viable untuk dikembangbiakkan di dalam fasilitas pengembangbiakan, seperti Sumatran Rhino Sanctuary (SRS).

"Perlindungan penuh (full protection) itu sendiri memerlukan biaya yang sangat besar dan berkelanjutan karena tekanan dari perburuan masih tinggi di Sumatera," kata Samedi, 

Sementara itu, lanjut Samedi, program pengembangbiakan di fasilitas breeding saat ini merupakan sebuah keniscayaan, karena tingkah laku perkembangbiakan badak di alam yang tidak menjanjikan dan mengancam kelestarian populasi yang masih ada. Penggunaan teknologi untuk membantu perkembangbiakan (assisted reproductive technology-ART) dengan lebih cepat, juga sudah merupakan keniscayaan saat ini.

"Karena perkembangbiakan di dalam SRS secara alami dirasakan lambat, terlepas dari keberhasilan breeding yang terjadi di SRS TN Way Kambas. Intinya diperlukan biaya yang jauh lebih besar untuk menyelamatkan badak," terang Samedi.

Samedi mengakui masih ada dana TFCA yang tersisa, tapi bila dibandingkan dengan kebutuhan tindakan konservasi, sudah tidak banyak lagi yang tersisa. Walau begitu masih cukup untuk membantu memperkuat keberlanjutan program di lapangan, terutama untuk mendukung peningkatan sosial ekonomi masyarakat yang berdampak nyata pada konservasi, termasuk badak, di lapangan.

Ia berharap rekan-rekan lembaga di tingkat lokal, dapat lebih kreatif lagi mencari pendanaan untuk mendukung konservasi secara berkelanjutan, di samping adanya alokasi pendanaan pemerintah, terutama untuk kegiatan yang sifatnya rutin, seperti patroli dan perlindungan habitat dan populasi. 

"Ke depan mungkin perlu dibentuk dan dibangun sebuah mekanisme pendanaan yang berkelanjutan untuk menyelamatkan badak Indonesia. Badak sumatra merupakan satu-satunya genus (Dicerorhinus) dan sedang terancam kelestariannya," Samedi berharap.

Tapi dana TFCA tersebut sudah tak lagi dapat digunakan untuk membantu kegiatan pelestarian hutan, termasuk membantu membiayai konservasi badak. Sayangnya, Samedi enggan membeberkan permasalahannya. Namun, menurut informasi yang didapatkan Betahita, hal tersebut dilatari tidak adanya kesepakatan yang tercapai terkait penggunaan dana TFCA itu, antar-anggota komite pengawas (oversight committee).

"Pada prinsipnya tidak ada larangan dalam pemakaian dana hibah (TFCA). Hanya perlu diperhatikan terkait tata kelola efektivitas alokasi dan penggunaan anggaran tersebut agar semua dana hibah bisa tepat sasaran," ujar Satyawan, saat ditanya tentang permasalahan penggunaan dana TFCA.

Satyawan tidak memberi penjelasan, saat ditanya tentang besaran anggaran yang dialokasi negara untuk konservasi spesies penting di Indonesia, juga soal kecukupannya. Satyawan hanya bilang, kecukupan anggaran sifatnya relatif.

“Yang penting adalah efektivitas penggunaan anggaran dalam pencapaian target yang diinginkan,” ucapnya.

Konservasi Badak Butuh Iklim Kolaborasi yang Baik

Satyawan menerangkan, konservasi badak di Indonesia dimulai dengan tahapan penetapan badak sebagai satwa dilindungi sesuai PermenLHK No. P.106/MenLHK/Setjen/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, dan masuk ke dalam 25 spesies prioritas, berdasarkan Keputusan Dirjen KSDAE No. 180/IV-KKH/2015 yang memandatkan untuk peningkatan populasi badak di Indonesia.

"Konservasi di alam juga disebut sebagai konservasi in-situ. Selain itu juga dilakukan konservasi semi in-situ dengan membangun fasilitas pengembangbiakan terkontrol. Kelahiran-kelahiran badak-badak baru akan mengisi populasi di alam," katanya.

Targetnya, kata Satyawan, adalah peningkatan populasi, perbaikan habitat yang diiringi dengan peningkatan daya dukung habitat yang memadai, peningkatan mutu genetik, peningkatan keamanan habitat badak.

"Dan peningkatan sistem manajemen SRS dan JRSCA (Javan Rhino Study and Conservation Area), serta peningkatan peran aktif lintas sektoral dalam mendukung konservasi badak," ucapnya.

Yang terakhir disampaikan Satyawan dibenarkan Riszki. Dia berpendapat, apapun strateginya penyelamatan badak sumatera dan badak jawa membutuhkan kepemimpinan dari pemerintah untuk menciptakan iklim kolaborasi yang baik. Terutama perihal pelibatan masyarakat dan lembaga masyarakat sipil dalam upaya konservasi.

"Agar semua dapat bersinergi, agar semua upaya pelestarian populasi badak di Indonesia dapat bergerak lebih cepat dan tepat sasaran melalui kolaborasi yang baik," kata Riszki.

Selain itu, Riszki juga menganggap penting dukungan publik dalam upaya konservasi badak. Sehingga butuh adanya keterbukaan informasi, termasuk tentang kondisi populasi, habitat, keterancamannya, dan upaya yang sudah dilakukan.

Riszki punya beberapa masukan mengenai pengelolaan konservasi badak di Indonesia. Untuk badak sumatera, menurutnya, perlu adanya kepastian kondisi populasi yang tersisa, terutama di TN Bukit Barisan Selatan, TN Way Kambas, dan Kawasan Ekosistem Leuser Timur. Agar strategi pengelolaan yang akan dilakukan menjadi tepat guna karena berdasarkan pendekatan ilmiah.

Kemudian, lanjut Riszki, segera melaksanakan rencana manajemen populasi pada bentang alam yang populasinya sudah tidak viable, menerapkan program perkembangbiakan semi-alami, terutama untuk badak di kalimantan serta untuk individu terisolir dengan pendekatan teknologi reproduksi berbantu (ART).

"Perlu ada perbaikan secara menyeluruh proteksi badak yang ada di masing-masing bentang alam, dan perlu adanya unit khusus yang mengurusi badak sumatera secara intensif," ujar Riszki.

Adapun untuk badak jawa, menurut Rizki, butuh perbaikan secara menyeluruh mengenai proteksi badak. Selain itu Balai TN Ujung Kulon perlu direstrukturisasi, sehingga terdapat unit yang dikhususkan mengurusi spesies yang sekaligus sebagai bagian dari insentif karirv dan kesejahteraan.

Riszki menekankan agar pihak pengelola memastikan penganggaran yang bertumpu pada, dan memprioritaskan, konservasi badak jawa dan flagship species lainnya. "Juga perlu melaksanakan secara sungguh-sungguh program penambahan habitat (second population atau second habitat) badak jawa dan mendorong serta membuka ruang terhadap riset-riset badak jawa, seperti penelitian potensi penyakit dan investigasi forensik terhadap setiap kematian tak wajar badak jawa," kata dia.