LIPUTAN KHUSUS:
Relokasi Masyarakat Adat dari Rempang Bakal Hilangkan Identitas
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Rencana relokasi masyarakat adat dari Rempang Eco-CIty akan mengakibatkan identitas masyarakat adat tempatan menjadi hilang.
Masyarakat Adat
Jumat, 22 September 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana relokasi masyarakat adat dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City, di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, berpotensi mengakibatkan identitas masyarakat adat tempatan menjadi hilang. Masyarakat sipil menilai, pelaksanaan PSN, terutama yang memicu konflik, harus dievaluasi.
Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Divisi Wilayah Kelola Rakyat (WKR), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Ferry Widodo, menyatakan masyarakat adat tempatan yang terdampak PSN Rempang akan mengalami kerugian besar, seperti kehilangan sejarah kehidupan, ikatan sosial sesama warga, ikatan ekonomi termasuk hilangnya mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan peladang yang telah berlangsung secara turun temurun.
“Saya melihat fenomena kejahatan kemanusiaan terjadi kepada masyarakat adat dengan adanya tindak kekerasan dan pemaksaan untuk direlokasi. Hal ini berpotensi menghilangkan identitas masyarakat adat tempatan itu sendiri. Sudah pasti relokasi tersebut tidak cocok," kata Ferry, dalam keterangan tertulis, Rabu (20/9/2023).
Ferry membeberkan, konflik Rempang telah mengakibatkan luka yang sangat besar bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat tempatan yang sudah tinggal di sana sejak 1834. Tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat juga menimbulkan trauma mendalam pada anak-anak.
"Kami menyoroti tindakan pemerintah tanggal 12 September, di mana aparat merelokasi secara paksa empat kampung di Pulau Rempang yaitu Kampung Sembulang, Tanjung Banun, Dapur Enam, dan Pasir Panjang. Sedikitnya, relokasi tahap pertama tersebut akan memindahkan 700 keluarga yang bermukim di empat kampung yang luasnya 2.000 hektare,” ujarnya.
PSN Rempang Eco-City, lanjut Ferry, seolah mengabaikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat adat tempatan dengan tidak adanya pengakuan atas keberadaan mereka yang sudah lama mendiami wilayah tersebut. Sebagai masyarakat adat yang sudah mendirikan kampung di Pulau Rempang, penghidupan dan hak mereka seharusnya sudah dijamin dalam SK Walikota Batam Nomor: KPTS 105/HK/III/2004 dan dalam Perda Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Batam pada pasal 21 ayat 4.
Menurut Ferry, pemerintah terlalu memaksakan bila tetap memindahkan masyarakat Rempang dari habitat alaminya di sekitar pesisir ke rusun-rusun lingkup perkotaan. Karena itu, saat ini muncul solidaritas dari Suku Melayu lainnya dari Riau, Sumatera, dan Kalimantan untuk membela hak masyarakat adat tempatan. Dukungan dari masyarakat adat lainnya ini sudah seharusnya menjadi pertimbangan dari pemerintah terhadap keberlanjutan proyek Eco-City.
Lebih lanjut Ferry mengatakan, masyarakat adat tempatan memiliki nilai sejarah yang kaya, sistem sosial yang menjaga alam tetap lestari, serta sudah sejak dulu berkontribusi dalam menjaga ekosistem pantai.
“PSN malah melegalkan upaya perusakan lingkungan melalui pembangunan industri kaca yang akan merusak ekosistem kelautan,” ucap Ferry.
Berdasarkan catatan Walhi, ada kekeliruan prosedur dalam kasus Rempang sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Badan Pengusahaan (BP) Batam. Karena sampai saat ini Pulau Rempang masih menjadi kawasan konservasi pada SK.179/IV-KKBHL/2013 tanggal 21 Juli 2013.
Selain itu SK ini kemudian diperkuat oleh Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam SK.76/IV-KKBLH/2015 tentang Nomor Register Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru, yang menyatakan bahwa Pulau Rempang masih teregister sebagai kawasan Taman Buru oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kemudian, Dokumen Gubernur Kepulauan Riau, Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Riau No. 1 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2017-2037 pada Pasal 41 huruf g, menyatakan Rempang merupakan Hutan Lindung. Lalu, secara tiba-tiba terbitlah HPL atas wilayah tersebut kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) Juli 2023.
"Masih menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah memberikan HPL atas kawasan hutan? Artinya, pemerintah telah menyalahi kebijakan yang mereka atur sendiri,” tegas Ferry
Masalah Besar di Balik PSN
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Proyek Strategis Nasional adalah proyek dan/atau program yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
Pemerintah seolah sedang mengebut dalam menyelesaikan rangkaian PSN di berbagai wilayah. Tercatat hingga September 2023, sudah ada sebanyak 161 PSN yang sudah terealisasi.
Namun, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyoroti pelaksanaan PSN yang cacat secara prosedur dan proyek dilaksanakan secara terburu-buru. Banyak permasalahan besar yang muncul, seperti tidak adanya persetujuan sejak awal penetapan lokasi PSN, proses musyawarah yang dilakukan tidak dengan itikad baik, hingga intimidasi terhadap masyarakat sekitar proyek, yang seringkali berakhir dengan kriminalisasi.
Mirisnya, upaya kriminalisasi tersebut justru menimpa orang-orang yang berusaha untuk mempertahankan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup yang baik bagi generasi penerus bangsa ini.
“Seperti konflik di Rempang yang sedang terjadi saat ini. Pemerintah menyangkal bahwa masyarakat yang tinggal di Rempang bukanlah masyarakat adat, serta belum memiliki legalitas hukum," ujar Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM) PB AMAN.
Arman menuturkan, bila 16 Kampung Tua mengklaim eksistensi mereka sebagai masyarakat adat melalui hukum adat, maka hal itu harus dihormati. Ketiadaan pengakuan dari negara tidak berarti keberadaan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya termasuk hak atas wilayah adatnya yang telah ditempati secara turun-temurun menjadi hilang.
Sementara itu, AMAN mencatatkan selama 5 tahun terakhir (2018-2022) setidaknya terdapat 301 kasus yang merampas 8,5 juta hektare wilayah masyarakat adat. AMAN mencatat beberapa konflik lainnya yang sudah terjadi akibat PSN seperti proyek food estate di Papua Barat dan Kalimantan Tengah, pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, NTT, proyek geothermal di Manggarai, NTT, hingga proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.
“Semua konflik itu kami dokumentasikan dalam Catatan Akhir Tahun AMAN. Di IKN sendiri, setidaknya terdapat 21 komunitas Masyarakat Adat yang mendiami wilayah pembangunan IKN. AMAN memperkirakan sedikitnya terdapat 20,000 jiwa Masyarakat Adat yang akan terampas haknya akibat proyek ambisius IKN di Kalimantan Timur itu,” tambah Arman.
Arman mengatakan, untuk kesekian kalinya tidak terlihat peran dari pemerintah pusat dan daerah dalam mencegah terjadinya tindakan represif terhadap masyarakat Adat.
“Pemerintah/penyelenggara negara gagal menjalankan mandatnya untuk melindungi hak-hak warga termasuk dalam hal ini masyarakat adat, bahkan cenderung lebih pro terhadap kepentingan investasi-korporasi,” jelasnya.
Potensi konflik justru dipicu oleh kehadiran aparat dalam jumlah besar. Ada ketimpangan dalam adu kekuatan antara aparat dengan masyarakat terdampak, terutama masyarakat adat. Pola serupa terjadi di semua PSN yang saat ini sedang dikebut oleh pemerintah seiring dengan hampir berakhirnya periode pemerintahan Presiden Jokowi di 2024 mendatang.
“Saya tegaskan, kita tidak bisa ‘membeli’ sejarah. Negara telah gagal mempertahankan identitas warganya dan menghilangkan ruang hidup dan penghidupan mereka, terutama pada anak-anak muda sebagai pemilik masa depan bangsa ini," ujar Arman.
Sepuluh Hak Masyarakat yang Terampas akibat PSN
Herlambang P Wiratraman, Dosen Jurusan Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) mencatat setidaknya ada 10 hak masyarakat adat yang terampas dalam proses pelaksanaan PSN di berbagai wilayah di Indonesia. Yang pertama, negara telah berdosa karena gagal menjamin hak hidup. Kedua, negara membiarkan kekerasan terjadi kepada anak-anak.
Kemudian yang ketiga, terjadinya pelumpuhan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga. Keempat, tidak adanya jaminan atas hak kolektif dalam mempertahankan wilayahnya. Kelima, tidak adanya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang dijamin dalam sistem hukum yang adil, terjadinya berbagai serangan siber.
Selanjutnya, ketujuh, adanya kekerasan oleh aparat dan premanisme. Kedelapan, hilangnya hak hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kesembilan, hak milik pribadi dan hak lainnya yang diambil alih secara paksa. dan kesepuluh negara gagal menjalankan mandat konstitusional, yakni perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.
Kesepuluh pelanggaran hak ini, kata Herlambang, tidak hanya terjadi di Rempang, melainkan di wilayah lainnya seperti kasus PSN Bendungan Bener, di Wadas. Hal ini sangat disayangkan, karena seluruh hak yang diatur dalam konstitusional negara justru dilanggar oleh pemerintahnya sendiri.
"Ditambah lagi, produk hukum seolah diatur menyesuaikan untuk bisa mengakomodir PSN. Bahkan di lapangan seringkali terjadi manipulasi fakta yang sudah beyond-the-law," tambah Herlambang.
Selain HAM, ada hak lain yang juga dilanggar pemerintah terhadap masyarakat adat dalam konteks free, prior, inform, and consent (FPIC). Pemerintah, menurut Herlambang, seharusnya berkomunikasi dan melakukan sosialisasi atas sebuah proyek pembangunan.
“Dalam melakukan FPIC ini pemerintah harus mengakui hak masyarakat adat untuk mengambil keputusan yang tepat terkait hal-hal yang mempengaruhi tradisi tradisi dan cara hidup mereka,” terangnya.
Herlambang menilai PSN lebih mengutamakan kepentingan investasi ketimbang kesejahteraan sosial masyarakat sekitarnya. Sampai saat ini, Herlambang mengaku masih mempertanyakan ukuran strategis dalam mengukur program tersebut.
"Karena setiap proyeknya didominasi oleh politik investasi bukan untuk kesejahteraan sosial. PSN ini sangat kental dengan capital-driven-investment. Jadi, strategis di sini itu strategis untuk siapa?” ujar Herlambang.
Dalam kasus Rempang, Ferry berpendapat, yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan pengakuan terhadap masyarakat yang ada di Pulau Rempang. Pengakuan ini harus dibuktikan dengan tidak dipaksanya masyarakat adat keluar dari kampung Melayu Tua. Kemudian, PSN ini harus dihentikan karena sudah mencederai dan menjauhkan masyarakat dari sumber penghidupannya.
“Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan yang seolah melegalkan kejahatan kemanusiaan. Salah satunya melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang tidak mewajibkan adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal)," katanya.
Tak hanya itu, menurut Ferry, perlu dilakukan pengecekan terhadap dokumen yang sudah dikeluarkan pemerintah, seperti HPL, kepada PT MEG yang akan mengembangkan Rempang Eco City. Dirinya menegaskan, HPL bukan pengakuan hak atas tanah, melainkan hak pengelolaan yang bisa diberikan kepada badan usaha/pemerintah.
"Tetapi, jika ada masyarakat di atasnya wajib direlokasi diganti rugi dengan syarat musyawarah,” ujar Ferry.
Agar tidak memakan banyak korban, berbagai konflik yang terjadi akibat PSN perlu penyelesaian secara cepat, efektif, dan mengakomodir hak masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat. Organisasi masyarakat yang diwakili oleh Walhi dan AMAN menyerukan untuk menghentikan PSN yang berpotensi memicu konflik.
Konflik ini dipicu oleh eksekusi Rencana Proyek Rempang Eco-City sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ditetapkan melalui Permenko Bidang Perekonomian RI No. 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator RI No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Masyarakat sipil juga menilai peristiwa kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rempang harus dinyatakan sebagai pelanggaran HAM sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Data laporan Global Witness (2023) mencatat, terhitung dari 2012 hingga 2022, terdapat setidaknya 1.910 pejuang lingkungan dan keadilan iklim yang terbunuh karena berusaha mempertahankan wilayahnya dari alih fungsi lahan untuk keperluan industri di seluruh dunia. Selama 2022, setidaknya terjadi ada 16 kasus pembunuhan terjadi di kawasan Asia dan 3 di antaranya berasal dari Indonesia.