LIPUTAN KHUSUS:

Bursa Karbon di BEI Dinilai Tidak Mengatasi Emisi Karbon


Penulis : Gilang Helindro

Bukan mengatasi krisis iklim, bursa karbon justru memperburuk krisis tersebut dan memperpanjang konflik serta pelanggaran Hak Asasi Manusia, kata Walhi.

Lingkungan

Rabu, 27 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional menilai, langkah Pemerintah Indonesia meluncurkan bursa karbon di Bursa Efek Indonesia sebagai sebuah perdagangan yang tidak membantu mengatasi masalah emisi karbon.

Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional menyebut, perdagangan karbon sebenarnya melibatkan pemberian izin oleh negara kepada perusahaan dan negara industri untuk terus melepaskan emisi karbon dengan melakukan penyeimbangan karbon atau carbon offset.

Penyeimbangan karbon dapat terjadi dalam sektor yang sama, seperti sektor energi, atau antara sektor yang berbeda, seperti antara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan proyek restorasi ekosistem atau konservasi lainnya. Contohnya, jika satu PLTU melebihi kuota emisi, mereka dapat membeli kuota berlebih dari PLTU lain atau membeli kuota dari proyek konservasi di tempat lain. “Namun, emisi tetap dilepaskan dalam jumlah besar,” katanya Selasa, 26 September 2023.

Uli mengungkapkan, perusahaan dapat terus merusak lingkungan di satu tempat dan mengkompensasinya dengan menjalankan proyek konservasi di tempat lain. "Sederhananya, yang dieksploitasi di Morowali, seperti pengambilan nikel, dibayarkan untuk dikonservasi di Papua. Ini berpotensi mengusir masyarakat adat dari wilayah adat mereka karena wilayah tersebut diberikan kepada korporasi dalam bentuk konsesi karbon,” katanya.


Kabut polusi membayangi gedung-gedung di Jakarta, yang sebagian besar berasal dari gas emisi buang kendaraan bermotor dan pembangkit listrik di sekitar ibu kota. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Ada 16 izin konsesi restorasi ekosistem dengan total luas 624.012 hektare yang telah mengusir masyarakat adat dan komunitas lokal dari wilayah adat.


Bukan mengatasi krisis iklim, perdagangan karbon justru memperburuk masalah ini dan memperpanjang konflik serta pelanggaran Hak Asasi Manusia. Hingga saat ini, sudah ada 16 izin konsesi restorasi ekosistem dengan total luas 624.012 hektare yang telah mengusir masyarakat adat dan komunitas lokal dari wilayah adat mereka. Situasi ini akan semakin parah dengan rezim izin multiusaha kehutanan, di mana korporasi hanya perlu mengurus satu jenis izin kehutanan untuk melakukan beberapa jenis aktivitas eksploitasi secara bersamaan.

Solusi sejati untuk mengatasi krisis iklim adalah mengurangi emisi secara drastis, baik dari penambangan fosil bawah tanah dan deforestasi hutan, maupun dari pembakaran fosil melalui pembangkit listrik. Selain itu, pengakuan dan perlindungan wilayah Kelola Rakyat atau wilayah adat harus diperluas. Uli menekankan, "Hutan-hutan yang masih ada saat ini tetap lestari berkat perlindungan dari masyarakat adat dan komunitas lokal. Negara harus mengakui kegagalan dalam melindungi hutan dan wilayah Kelola Rakyat," katanya.

Para pemangku kepentingan yang bertemu di peluncuran bursa karbon hari ini seharusnya memahami peran karbon sejati. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (PP Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup) menyebutkan bahwa fungsi layanan alam adalah aliran input alam dari lingkungan ke ekonomi dan aliran limbah dari ekonomi ke lingkungan.

Meskipun istilah jasa digunakan dalam peraturan ini, setiap orang yang menjaga fungsi layanan alam akan diberikan kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup. Dalam konteks Walhi, kompensasi/imbal jasa lingkungan ini mencakup pengakuan serta perlindungan wilayah Kelola Rakyat, ekosistem hutan dan biodiversitas, serta penguatan ekonomi Nusantara. 

Rilisnya bursa karbon yang dilaksanakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), diklaim sebagai  salah satu cara Otoritas Jasa keuangan (OJK) untuk mendukung komitmen penurunan emisi karbon. Setidaknya ini jadi satu poin di antara 5 poin yang dijalankan OJK.

Awalnya, sejak tahun 2015 OJK telah menerbitkan peta jalan pembiayaan berkelanjutan yang bertujuan untuk membangun kesadaran mengenai keuangan berkelanjutan dan diperluas untuk membangun ekosistem pembiayaan berkelanjutan.

Ini juga digunakan untuk memperluas pasokan dan permintaan dana ramah lingkungan serta meningkatkan penerapan keuangan berkelanjutan di sektor keuangan dan industri jasa.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menegaskan urgensi hadirnya sarana perdagangan karbon ini. "Langkah ini jadi upaya yang dilakukan OJK untuk mendukung target penurunan emisi karbon pemerintah. Sebelum bursa karbon, OJK telah merilis aturan perdagangan karbon pada bulan lalu," katanya dalam OJK International Research Forum 2023.