LIPUTAN KHUSUS:

Perhimpunan Masyarakat Sipil Serukan Boikot Perdagangan Karbon


Penulis : Aryo Bhawono

Jaringan masyarakat sipil menganggap perdagangan karbon solusi palsu dan akan mengancam masyarakat adat.

Perubahan Iklim

Kamis, 28 September 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintah resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) pada Selasa lalu (26/9/2023). Izin usaha Penyelenggara Bursa Karbon telah diberikan kepada BEI oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Keputusan nomor KEP-77/D.04/2023 pada 18 September 2023 lalu. Presiden Joko Widodo mengungkapkan peluncuran Bursa Karbon Indonesia ini diharapkan bisa berkontribusi untuk melawan krisis iklim. "Hasil dari perdagangan ini akan direinvestasikan kembali pada upaya menjaga lingkungan khususnya melalui pengurangan emisi karbon," katanya di Gedung Bursa Efek

Menanggapi peresmian Bursa Karbon Indonesia ini, jaringan perhimpunan masyarakat sipil menganggap perdagangan karbon merupakan solusi sesat menangani iklim. Mereka menyerukan boikot perdagangan karbon melalui surat yang berjudul ‘Boikot Perdagangan Karbon, Hentikan Pelepasan dan Pembongkaran Emisi, dan Percepat Pengakuan Wilayah Adat serta Wilayah Kelola Rakyat!’. 

Jaringan ini terdiri dari WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), PIKUL, PUSAKA, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan School of Democratic Economics (SDE).

Menurut mereka, pemerintah melakukan perdagangan krisis, sebab hakikat dari perdagangan karbon adalah pemberian izin oleh negara kepada korporasi maupun negara-negara industri untuk terus melepas emisi dengan melakukan penyeimbangan karbon atau carbon offset.   

Presiden Joko Widodo memberikan pidato peluncuran perdagangan karbon di Bursa Efek Indonesia pada Selasa (26/9/2023). Sumber Foto: Bursa Efik Indonesia (IDX)

“Perdagangan karbon dipilih hanya untuk menjaga agar korporasi dan negara-negara industri dapat terus mengekstraksi alam, baik melalui pembongkaran fosil bawah tanah, pembakaran fosil, deforestasi, ataupun proyek-proyek konservasi yang akan semakin memperpanjang rantai konflik serta krisis iklim”, kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian.

Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman, beranggapan politik dagang karbon yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia akan mengancam masyarakat adat. Praktik perdagangan karbon dilakukan tanpa pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak Masyarakat Adat. Hal ini, kata dia, sama saja dengan praktik kolonialisme.  

“Berbagai instrumen hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam menjembatani perdagangan karbon dengan berorientasi hanya pada kepentingan investasi, merupakan wujud nyata “cuci tangan” pemerintah terhadap praktik-praktik industri ekstraktif yang merupakan hulu emisi,” ujarnya.

Arie Rompas, dari Greenpeace Indonesia menyampaikan skema carbon offset dan trading adalah narasi kebohongan berbahaya. Penyeimbangan karbon adalah izin untuk terus melakukan polusi, dan mengalihkan perhatian kita dari upaya nyata untuk mengurangi emisi. Para pencemar dan pemerintah berusaha memenuhi target pengurangan karbon sambil tetap mengeluarkan karbon adalah ancaman serius bagi masa depan bumi, rumah kita satu- satunya.  

“Peluncuran bursa karbon di Indonesia  yang baru saja diresmikan oleh Presiden Jokowi di BEI adalah ‘tombol pemicu”  yang berbahaya yang akan menjadi solusi palsu untuk menghentikan krisis iklim,” ucap dia. 

Mereka pun mendesak penghentian operasional perdagangan Karbon, mempercepat dan memperluas pengakuan wilayah kelola rakyat dan wilayah adat, penurunan emisi secara konkrit, serta pemulihan ekologis.