LIPUTAN KHUSUS:
KNPA Sebut Jokowi Gagal Jalankan Reforma Agraria
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Menurut Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), negara lebih condong pada investasi kelas kakap berbasis agraria, dibandingkan masyarakat kecil, seperti petani.
Agraria
Senin, 02 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menyebut, negara gagal dalam menjalankan reforma agraria sejati. Situasi ini, menurut KNPA, disebabkan karena negara lebih condong pada investasi kelas kakap berbasis agraria, dibandingkan masyarakat kecil, seperti petani.
Juru Bicara KNPA, Dewi Kartika, mengatakan letusan konflik agraria struktural yang berujung pada penggusuran dan penangkapan para pejuang hak atas tanah pada 7 September 2023 lalu di Rempang, Batam, adalah cermin wajah buruk agraria di Indonesia.
Sebelumnya kasus proyek strategis nasional (PSN) seluas lebih dari 30 ribu hektare juga meletus di Nagari Air Bangis, Sumatera Barat. Di tempat itu pemerintah hendak membangun kawasan kilang minyak, yang ditolak masyarakat karena mengancam tanah mereka.
"Penggusuran petani di Desa Gurila, Kota Pematang Siantar oleh PTPN III juga menyisakan masalah tanpa jaminan kepastian hak atas tanah bagi petani," kata Dewi, dalam keterangan tertulis, Selasa (26/9/2023) kemarin.
Kemudian, ada pula Desa Batulawang, Cianjur yang b,erkonflik dengan eks-HGU swasta PT Maskapai Perkebunan Moelia (MPM). Konflik ini terjadi karena eks-HGU itu secara tiba-tiba dipatok oleh Badan Bank Tanah yang sudah bersepakat dengan PT MPM mengakuisisi tanah masyarakat.
"Ada kepentingan Densus 88 di dalam pematokan tanah warga oleh Bank Tanah ini," ujarnya.
Begitu pun di Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Dewi melanjutkan, Kostrad masuk ke desa dan tanah pertanian untuk mengembangkan program ketahanan pangan lewat kesepakatannya dengan pihak PTPN VIII. Perkebunan plat merah ini, kata Dewi, seperti mencari celah menggusur petani dengan cara menghadap-hadapkan petani dengan tentara.
Dewi mengungkapkan, dalam berbagai proses pengadaan tanah, pembebasan lahan, dan penetapan ganti kerugian demi investasi, banyak yang dilakukan dengan cara-cara menggusur dan merampas tanah masyarakat, represif, dan intimidatif disertai mobilisasi aparat, kriminalisasi dan stigmatisasi terhadap masyarakat terdampak dan terhadap warga yang menolak. "Penuh manipulasi tentang partisipasi dan konsultasi masyarakat, minus transparansi proses dan akuntabiltas publik," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini.
Letusan konflik agraria di masa Presiden Joko Widodo
Selama dua periode Pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015-2022), Dewi melanjutkan, KPA mencatat setidaknya terjadi 2.701 letusan konflik agraria yang terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Letusan konflik tersebut disertai dengan kasus kekerasan dan kriminalisasi, akibatnya 69 tewas, 38 tertembak, 842 dianiaya dan 1.615 orang dikriminalisasi hingga divonis, karena mempertahankan tanahnya dan sumber kehidupannya.
"Pada periode yang sama, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mencatat telah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat," ucap Dewi.
Dewi menerangkan, tingginya letusan dan korban konflik serta kekerasan agraria merupakan bukti tidak bekerjanya operasi Reforma Agraria yang dijanjikan di wilayah-wilayah konflik agraria untuk melindungi dan menjamin pemenuhan hak atas tanah dan hak hidup warga berbasis agraria. Letusan konflik agraria itu, ujar Dewi, mencerminkan terjadinya perampasan tanah oleh negara.
"Sebuah legacy buruk agraria mengingat sejak masa pencalonan pada 2014 hingga kepemimpinannya sekarang, Jokowi telah menjanjikan kepada rakyat Indonesia akan menjalankan reforma agraria seluas 9 juta hektare kepada petani dan rakyat kecil," kata Dewi.
Sejauh ini, Dewi melanjutkan, 9 juta hektare tanah untuk rakyat yang dijanjikan pemerintah itu tidak kunjung terealisasi, sebab tidak diarahkan untuk mengurai ketimpangan, konflik agraia dan kemiskinan. Sebaliknya, justru 5,8 juta hektare tanah petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan di pedesaan dirampas dan diserahkan penguasaannya kepada kelompok pengusaha.
Kondisi serupa juga terjadi pada lingkungan, krisis ekologis semakin parah. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat operasional bisnis ekstraktif dan ambisi pemerintah dalam pembangunan telah menyebabkan bencana ekologis sebanyak 27.660 kejadian pada 2015-2022.
Salah satu bencana ekologis banjir terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat pada 2021-2022. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 24.379 rumah terendam banjir, kurang lebih 112 ribu warga mengungsi, dan 15 orang meninggal dunia. Bencana tersebut, kata Dewi, terjadi sebagai hasil akumulasi dari berbagai pembukaan lahan yang dilakukan secara besar-besaran oleh kelompok korporasi dari tahun-tahun sebelumnya.
Pemerintah masih prioritaskan investasi
Dewi malanjutkan, Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi pada Sidang Tahunan MPR RI, 16 Agustus 2023 lalu, menunjukkan tidak bergesernya paradigma pembangunan nasional. Pada intinya tetap mempertegas bahwa satu dekade rezim ini hanya memprioritaskan agenda investasi dan pembangunan, tanpa sedikitpun memperhatikan agenda kerakyatan.
Dalam pidatonya Presiden Jokowi juga meminta rakyat untuk mengedepankan moralitas, sementara persekongkolan jahat antara pemerintah, partai politik, dan swasta yang amoral seperti perampasan tanah dan sumber agraria lain, korupsi agraria, persekonkolan mafia tanah, mafia pangan, mafia tambang dan mafia pengadilan demi kepentingan investasi oligarki dibiarkan berjalan.
"Selama hampir satu dekade pemerintahan Jokowi, dari target 9 juta hektare pemerintah hanya melegalisasi dan mendistribusikan tanah seluas 1,67 juta hektare," ungkap Dewi.
Redistribusi tanah yang dilakukan pemerintah, ujar Dewi, jauh lebih rendah dari capaian legalisasi aset yang merupakan proses sertifikasi tanah biasa. Legalisasi dan distribusi tanah yang dilakukan pun berada di area-area non-konflik agraria, bukan pula ditujukan untuk mengkoreksi ketimpangan penguasaan tanah.
Lebih fatal lagi, Dewi melanjutkan, Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan tidak berani dan gagal membebaskan desa-desa, tanah pertanian, perkampungan serta wilayah adat dari klaim-klaim Negara oleh PT Perkebunan Nusantara, Perhutani, aset pemda, hutan tanaman industri, dan tanah register.
Koreksi terhadap klaim negara atas hutan yang salah kaprah untuk diredistribusikan kepada rakyat yang berhak juga gagal total. Dari janji 4,1 juta hektare reforma agraria yang berasal dari klaim hutan negara, hanya terealisasi 351.367 hektare atau hanya 8,57 %.
"Itu pun hanya berupa pemukiman saja, sementara kebun-kebun dan tanah pertanian masyarakat tidak kunjung dimerdekaan dari klaim Negara," kata Dewi.
Dewi menuturkan, capaian yang terlampau minimalis tersebut seharusnya tidak terjadi, jika saja usulan-usulan objek dan subjek reforma agraria yang diusulkan rakyat dari bawah (bottom-up process) dan telah diperjuangkan selama berpuluh tahun, seperti Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA), betul-betul dikerjakan oleh pemerintah.
"Tuntutan LPRA seluas 1,7 juta hektare dari KPA bersama anggota organisasi rakyat sejak 2016 tidak mendapat perhatian serius Presiden Jokowi dari sisi eksekusinya," tutur Dewi.
Dewi berpendapat, dua periode berkuasa, tidak ada usaha Presiden untuk memimpin operasi reforma agraria secara nasional, menangani sumbatan birokrasi dan ego-sektoral, hambatan hukum, termasuk memastikan para menteri dan kepala lembaga kabinetnya melaporkan dan menjalankan reforma agraria secara tuntas.
Misalnya, dari 780 LPRA yang diusulkan petani dan masyarakat adat anggota KPA, baru 20 LPRA yang bisa dituntaskan konfliknya dan diredistribusikan kepada petani. Itu pun harus terus-menerus didesakkan rakyat dengan berbagai cara.
Dari 20 LPRA tersebut, Dewi melanjutkan, hanya konsesi perkebunan swasta kedaluwarsa yang diselesaikan, terlalu kecil redistribusi dari klaim aset pemerintah daerah dan konsesi hutan tanaman industri.
"Sementara untuk LPRA terkait PTPN, Perhutani, mayoritas HTI atau klaim kawasan hutan dan konservasi capaiannya nol hektare, alias mendapat rapor merah," ucap Dewi.
Dewi menerangkan, petunjuk kegagalan reforma agraria dapat dilihat pula dari semakin luasnya konsesi dan pengadaan tanah untuk investasi dan badan usaha besar. Sektor sawit contohnya.
Dalam dua periode Jokowi kebun sawit meluas hingga 6,05 juta hektare. Merujuk pada data Kementerian Pertanian, Dewi menerangkan, pada 2014 sawit luasnya 10,75 juta hektare, namun pada 2022 luas kebun sawit menjadi 16,38 juta hektare.
"Kemudian sektor lainnya seperti tambang dan hutan seluas 3,1 juta hektare yang beroperasi secara ilegal justru dilegalkan," ucap Dewi.
Akibat ekspansi bisnis lapar tanah ini, Dewi mengatakan, jumlah petani gurem bertambah 1,56 juta keluarga selama sembilan tahun terakhir. Hal ini diperparah dengan cepatnya konversi sawah yang mencapai 1 juta hektare atau sekitar 108.333 hektare sawah per tahunnya.
Dewi menyebut, selain jumlah petani gurem yang semakin banyak akibat gagalnya reforma agraria, saat ini ada 3,4 juta pemuda desa tidak memiliki pekerjaan. Padahal, katanya bertriliun-triliun anggaran pendapatan belanja negara (APBN) digelontorkan untuk ratusan program pertanian di desa-desa.
Di tengah masalah agraria ini, kata Dewi, kondisi ekonomi petani kian memburuk sebab pemerintah enggan menyerap hasil produksi mereka, dan memilih untuk membanjiri pasar nasional dengan komoditas pangan impor seperti impor gula mencapai 30,6 juta ton, garam 16,1 juta ton, bahkan untuk beras saja yang ditanam oleh mayoritas petani kita, pemerintah tetap mengimpor sebanyak 7,53 juta ton sejak Presiden Jokowi menjabat.
"Tidak berhenti sampai di situ, kegagalan Presiden menuntaskan konflik agraria berdampak langsung pada kelompok perempuan di pedesaan. KPA mencatat sedikitnya sebanyak 97 perempuan dianiaya, 51 perempuan dikriminalisasi, 1 perempuan tertembak, dan 2 perempuan tewas dalam mempertahankan tanah dan sumber ekonominya," ujar Dewi.
Dampak kegagalan reforma agraria
Dewi menyampaikan, selain menjadi korban konflik, akibat tidak adanya redistribusi tanah pertanian banyak perempuan mengadu nasib menjadi buruh migran. Dalam sembilan tahun terakhir sedikitnya 1,4 juta perempuan menjadi buruh di luar negeri, karena tidak ada tanah yang dapat mereka manfaatkan demi menghidupi keluarganya.
"Artinya pembangunan pertanian gagal menyerap surplus kependudukan dan tenaga kerja produktif di pedesaan," ucap Dewi.
Masih kata Dewi, bukti nyata kegagalan Presiden Jokowi juga dapat terlihat jelas dari korupsi agraria yang semakin parah. Selama pemerintahannya, telah membiarkan bisnis sawit ilegal seluas 14,7 juta hektare tetap beroperasi tanpa memiliki hak guna usaha (HGU).
Tidak hanya membiarkan bisnis ilegal, kata Dewi, tapi pemerintah juga hendak mengampuni korupsi agraria para taipan sawit, tambang dan hutan seluas 3,37 juta hektare di seluruh Indonesia.
Selain membuktikan pro terhadap korupsi agraria, tindakan politik Presiden juga menandakan pemerintah benar-benar tidak memiliki kontrol atas kebijakan agraria nasional, sekaligus menutup rapat-rapat informasi dan data HGU bermasalah.
"Dari ranah kebijakan, petunjuk kegagalan reforma agraria dapat dilihat pula dari produk-produk undang-undang dan regulasi turunannya yang begitu liberal dan lebih berorientasi kepada kepentingan pemilik modal," ujarnya.
Dewi menilai, dalam kurun waktu 2014-2023, begitu banyak kebijakan yang bersifat anti-reforma agraria telah diterbitkan, menyebabkan krisis agraria yang semakin mendalam dan parah di berbagai sektor. Mulai dari sektor perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, bisnis properti, pertambangan, proyek pesisir-pulau kecil, fasilitas militer, sampai sektor agribisnis/pertanian korporasi menyebabkan ribuan konflik agraria dan penggusuran masyarakat di pedesaan dan perkotaan.
Mempercepat kebijakan agraria ultraliberal
Menjelang akhir masa pemerintahan pertamanya, Dewi menambahkan, Jokowi mempercepat pengesahan kebijakan agraria yang ultraliberal seperti UU Sumber Daya Air, UU Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Lebih lanjut pada periode pemerintahan kedua, Presiden Jokowi menggunakan alasan krisis pandemi dan ancaman krisis ekonomi, pangan, dan berbagai krisis lainnya pemerintah mengesahkan revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja (CK) dan UU Ibu Kota Negara (IKN).
Undang-Undang Cipta Kerja, kata Dewi, adalah wujud nyata dan terbaru penyelewengan penyelenggara negara secara kolektif, baik legislatif, eksekutif dan yudikatif terhadap konstitusionalisme agraria, yang telah susah payah dibangun para pendiri-pemikir bangsa. UU Cipta Kerja mendorong satu tatanan ekonomi dan politik neoliberal yang berorientasi kuat memfasilitasi para pemilik modal, menghasilkan kemudahan-kemudahan berbisnis melalui cara-cara perampasan tanah rakyat atas nama proyek-proyek pembangunan dan investasi.
"UU Cipta Kerja ini menempatkan rakyat utamanya kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan di pedesaan dan masyarakat miskin di perkotaan sebatas obyek pembangunan. Tidak ada posisi dan peran strategis rakyat di dalam proses-proses pengambilan keputusan seperti perumusan undang-undang dan persetujuan rencana serta model pembangunan," tutur Dewi.
Melalui UU Cipta Kerja dan ragam regulasi turunannya, Dewi melanjutkan, perampasan tanah dengan dalih percepatan pembangunan infrastruktur, PSN, pengadaan tanah untuk IKN, kemudahan penerbitan izin tambang, hutan, perkebunan, impor pangan, pengadaan tanah sebagai aset Bank Tanah, upah murah, rendahnya pengawasan dan sanksi terhadap tindak pidana korporasi oleh pemerintah semakin menjadi-jadi.
Konflik agraria Rempang dan kasus-kasus lainnya, menurut Dewi, adalah akibat kebijakan kejahatan investasi. Model pembangunan melalui kebijakan PSN yang bersifat lapar tanah dan telah diperkuat UU Cipta Kerja adalah warisan buruk agraria di HTN.
"Selain kasus Rempang, KPA mencatat sepanjang 2020-2023 telah terjadi 73 letusan konflik akibat PSN yang terjadi di sektor infrastruktur, properti, pertanian pesisir dan tambang," ujarnya.
Dari rekam jejaknya, PSN merupakan biang penyebab konflik agraria dan penggusuran wilayah masyarakat. Seperti PSN Tol Padang-Pekanbaru, proyek KEK di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang, Penambangan Wadas untuk PSN Bendungan Bener, Movieland MNC di Lido Sukabumi, food estate di Humbang Hasundutan, Bendungan Lolak di Bolang Mongondow, Sulut, dan Proyek Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat.
Selanjutnya, Waduk Lambo di NTT, Tol Serang-Panimbang, PLTU Muna, proyek cetak sawah baru di Pulang Pisau, Kalimantan, Waduk Sepaku Semoi, infrastruktur pendukung IKN di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis, Sumatera Barat, Proyek Tambang Pasir Royal Boskalis di Makasar, serta penggusuran hutan Bowosie oleh Badan Otorita Labuan Bajo untuk pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang KSPN Komodo.
"Bukan itu saja, UU lainnya seperti UU KPK, UU KUHP, dan lain-lain yang justru mengancam keberlangsungan hidup bangsa terus dikeluarkan," kata Dewi.
Sebaliknya, aturan dan kebijakan yang fundamental bagi perlindungan masyarakat dan telah lama didesakkan seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Pertanahan versi masyarakat/RUU Reforma Agraria, RUU Keadilan Iklim, dan Revisi Perpres Reforma Agraria, sama sekali tidak diperhatikan Pemerintah dan DPR.
Dewi mengatakan, selain kebijakan yang dikontrol pemodal, fenomena pengabaian hukum oleh Presiden dan jajaran menteri kian kental. Bukti nyatanya adalah Pemerintah yang enggan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi 91/2021. Presiden, katanya, tidak merasa dirinya perlu tunduk pada hukum, justru memperlihatkan hukum adalah Presiden itu sendiri.
Lebih lanjut penghianatan UU Cipta Kerja terhadap Konstitusi dan UU Pembaruan Agraria adalah pembentukan badan baru bernama Badan Bank Tanah (BT), yang dibangun dengan kewenangan yang begitu luas dan ultra-liberal.
"Padahal, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil mengklaim BT hanya bertugas sebagai land-manager. Kenyataannya, kewenangannya mencakup perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan hingga praktik transaksional atas tanah dengan pihak ketiga (investor)," ucap Dewi.
Melengkapi kewenangan BT, rumusan Hak Pengelolaan (HPL) oleh UU Cipta Kerja menjadi pintu masuk badan untuk mengklaim sepihak, mengumpulkan, menguasai, mengalihkan hak dan mengontrol tanah sebagai sumber kekayaannya untuk kelompok-kelompok investor.
Dewi menyebut, rumusan HPL dalam UU Cipta Kerja menghidupkan lagi penyimpangan hak menguasai dari negara (HMN), seolah Negara pemilik tanah. Parahnya UU Cipta Kerja melalui BT telah menyelewengkan pelaksanaan reforma agraria menjadi proses pengadaan tanah, sama halnya dengan pengadaan tanah bagi bagi kelompok investor dan badan usaha raksasa.
Kebijakan agraria Pemerintahan Presiden Jokowi bermuara pada kebijakan yang mengancam kedaulatan rakyat atas agraria dan kekayaan alam. Kebijakan hilirisasi yang menjadi ambisi pemerintah tidak ubahnya merupakan bentuk dukungan penuh terhadap industrialisasi oleh segelintir elit, di saat rakyat Indonesia harus menghadapi ketimpangan/ketidakadilan, konflik agraria, kemiskinan dan krisis pangan.
"Terjadinya krisis pangan merupakan alarm kegagalan pelaksanaan reforma agraria, sebab mewujudkan bangsa kita untuk berdaulat pangan adalah tujuan reforma agraria. Selama kurun waktu 2015-2023 terdapat 93 orang di Papua yang meninggal karena kelaparan," ujar Dewi.
Terakhir, kata Dewi, di tengah krisis agraria struktural dan ekonomi yang berlangsung, pemerintah melalui proyek ambisius ratusan triliun plus dana-dana utangan terus melakukan percepatan pengadaan tanah untuk pembangunan IKN di Kalimantan Timur.
Pemerintah, imbuhnya, membentuk Badan Otorita IKN yang diberikan kewenangan begitu luas dan kuat untuk menjalankan penyelenggaraan pemerintahan, hingga melakukan pengadaan, penguasaan, pemberian hak dan kewenangan transaksi sewa-menyewa dan jual-beli tanah di bawah otoritas mereka.
"Tanah seluas 250 ribu hektare lebih dan wilayah perairan seluas 125 ribu hektare dan bisnis-bisnis pengembangannya menjadi teritorial kewenangannya. Otorita IKN tak ubahnya semacam Kolonial Belanda dengan sistem tanah partikelirnya," kata Dewi.
Di ujung waktu kekuasaan, Dewi mengungkapkan, Pemerintah Presiden Jokowi bersama-sama DPR diam-diam kembali mendorong Revisi UU IKN untuk memastikan proses-proses pengadaan tanah dan pemberian hak atas tanah (HGU/HGB) kepada investor dengan jaminan dua siklus penguasaan tanah selama 190 tahun HGU dan 180 tahun HGB.
"Kebijakan ini lagi-lagi mengkhianati Konstitusi dan UU Pembaruan Agraria, lebih jahat dari UU Agraria Kolonial 1870," ucapnya.