LIPUTAN KHUSUS:
Mentawai Terancam Pembangkit Listrik Biomassa
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Pembangunan PLTBM dianggap mengancam budaya masyarakat adat dan hutan alam Mentawai.
Energi
Rabu, 04 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), hutan alam seluas 11 ribu hektare terancam dibabat untuk dijadikan hutan tanaman energi (HTE) untuk pasokan bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm). Pembangunan pembangkit listrik itu dianggap mengancam budaya masyarakat adat dan hutan alam Mentawai.
Hal tersebut jadi topik pembahasan dalam Diskusi Riung Mentawai: Cerita tentang Energi dan Budaya Mentawai yang digelar Trend Asia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Sabtu (30/9/2023), di Jakarta.
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza, menguraikan, Indonesia berencana mengurangi emisi di sektor energi dan memiliki target Net Zero Emission pada 2060. Salah satu strategi energi terbarukan yang digodok oleh Pemerintah Indonesia adalah memanfaatkan biomassa kayu untuk dibakar menjadi energi.
Padahal, kata Amalya, untuk melawan perubahan iklim, pemanfaatan biomassa tidak murni netral karbon karena dalam prosesnya menghasilkan hutang karbon dari deforestasi. Biomassa kayu dari hutan primer sudah tidak lagi dianggap sebagai energi terbarukan di beberapa negara maju, seperti di Belanda dan Australia.
Namun pembalakan hutan primer nampaknya tidak akan terhindarkan dari rencana pemanfaatan energi biomassa kayu di Indonesia. Pengembangan energi ini akan diintegrasikan dengan ekspansi HTE, atau perkebunan kayu.
Menurut kajian, pemanfaatan biomassa pelet kayu dalam program co-firing (oplosan) di 52 PLTU saja akan membutuhkan lahan hingga 2,3 juta hektare. Perluasan HTE akan berpotensi merampas lahan-lahan produktif warga, pemukiman, sekaligus memperuncing ketimpangan akses atas lahan. Ancaman ini tengah terjadi di Mentawai, Sumbar.
Amalya menerangkan, PLTBm bambu telah dibangun di Kepulauan Mentawai pada 2019. Pembangunan ini didanai oleh Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia, senilai USD12,4 juta dengan pengembang PT Charta Putra Indonesia (CPI). Peresmian PLTBm itu dihadiri oleh Bambang Brodjonegoro yang saat itu menjabat sebagai Menteri Bappenas.
Namun, tiga unit PLTBm tersebut hanya beroperasi selama sekitar 6 bulan saja, dengan menggunakan sebagian besar biomassa kayu yang berasal dari hutan adat masyarakat, sebelum terkendala oleh kekurangan pasokan dan rusaknya mesin. Proyek tersebut mangkrak, padahal dorongan menanam bambu sudah mengganggu aktivitas dan pola tanam masyarakat.
Di tahun yang sama, lanjut Amalya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memberikan konsesi lahan 19.876,59 hektare di Pulau Siberut kepada PT Biomass Andalan Energy (BAE), dengan perkiraan nilai investasi lebih dari Rp1 triliun. Dari luasan konsesi perkebunan kayu itu, 11 ribu hektare di antaranya merupakan tutupan hutan. PT BAE juga akan akan membangun PLTBm mereka sendiri, yang biomassanya akan disuplai oleh kayu dari lahan konsesi.
"PLTBm adalah gimmick greenwashing yang hanya menguntungkan oligarki kehutanan. Dan ketika bersikeras membakar kayu untuk menghasilkan listrik, kita tidak hanya bicara soal emisi, tapi juga perampasan ruang, penyingkiran masyarakat adat, dan deforestasi yang akan menghilangkan fungsi-fungsi hutan," ujar Amalya.
PLTBm dan pembangunan HTE ini, menurut Amalya, hanya siasat untuk mengeksploitasi hutan alam tersisa di pulau-pulau kecil di Mentawai. Siasat ini juga yang akan menghancurkan kehidupan komunitas masyarakat adat Mentawai yang telah terjaga selama ini.
Keresahan serupa juga disampaikan Rifai, Ketua Pengurus Yayasan Citra Mandiri Mentawai, yang menganggap proyek pembangunan energi itu semakin mengancam lingkungan hidup dan adat istiadat masyarakat Mentawai. Apalagi sejak 1971 pemerintah telah mengkapling hutan masyarakat adat Mentawai untuk industri perkayuan.
Meski masyarakat terus melawan, kata Rifai, eksploitasi hutan Mentawai telah berujung pada bencana lingkungan. Berbagai daerah di Siberut dengan hulu lahan konsesi perhutanan, misalnya, saat ini menjadi zona langganan banjir.
Walau disebut melawan perubahan iklim, pemanfaatan biomassa kayu mengancam hutan primer Mentawai yang berperan kunci sebagai penyerap karbon. Tak hanya itu, pembangunan HTE juga akan mengancam keanekaragaman hayati Kepulauan Mentawai yang merupakan rumah dari rumah bagi 4 jenis mamalia endemik, 5 burung endemik, 7 reptil, dan 3 jenis pohon berstatus dilindungi.
Eksploitasi ini juga semakin memojokkan kebudayaan Mentawai, yang telah dimarjinalisasi selama beberapa dekade. Padahal fungsi hutan bagi adat Mentawai tak hanya sebagai sumber pangan, tapi juga memegang peran sakral.
“Hutan tanaman energi mereduksi kesadaran, seolah-olah energi utama untuk hidup adalah listrik. Sehingga atas nama listrik, hak masyarakat adat terus diingkari dan dilanggar, serta ekosistem hutan alam dirusak," ujar Rifai.
Rifai berpendapat, energi yang dibutuhkan oleh masyarakat adat Mentawai adalah yang berkelanjutan dengan tetap menjaga adat, budaya, pengetahuan, teknologi, kesehatan, ekonomi, ekologi, dan spiritualitas. Bagi masyarakat, sumber energi yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang adalah hutan.
"Mengambil dan mengubah hutan mereka hanya untuk menghasilkan listrik sama dengan merenggut sumber energi kehidupan, melumpuhkan ketangguhan dan keberlanjutan eksistensi mereka,” katanya.
Indira Suryani, Direktur Eksekutif LBH Padang, menambahkan, dalam misi transisi energi dan melawan perubahan iklim, proyek pembangunan pembangkit listrik tak cukup dengan label “bersih”. Namun harus akuntabel, transparan dan partisipatif, menghormati dan melindungi hak asasi manusia, adil secara ekologis, memenuhi keadilan ekonomi terutama bagi masyarakat, serta transformatif yaitu diikuti oleh reformasi tata kelola energi.
“Adat Mentawai selalu menjadi korban stigma dan stereotipe dari sasareu (orang asing/orang luar Mentawai). Kita terlalu naif untuk mengklaim kemajuan hanya berdasar elektrifikasi," ucap Indira.
Indira mengatakan, sudah saatnya seluruh pihak berpikir ulang soal energi yang selalu dibicarakan, karena berkelindan dengan penjajahan, eksplorasi, proyek pembangkit dan kerakusan atas uang. Mestinya, lanjut Indira, yang diperjuangkan adalah energi tanpa penindasan dan tidak dipersempit menjadi energi listrik saja.
Menurut Indira, sudah saatnya publik mengenal kearifan Mentawai dalam memanfaatkan energi secara berkeadilan dan berkelanjutan yang tak menghamba pada eksploitasi dan kerakusan. Hutan, air dan tanah Mentawai wajib dijaga dari privatisasi oleh oligarki energi.
"Menolak oligarki energi masuk Mentawai atas nama apapun baik itu biomassa, hutan tanaman energi dan lain-lain wajib dilakukan agar bumi tidak punah akibat krisis iklim," katanya.