LIPUTAN KHUSUS:

Pemprov Jatim Didesak Bela Warga dalam Konflik Agraria


Penulis : Gilang Helindro

Wali Lingkungan di Jatim desak pemerintah hadir dalam membela masyarakat yang dirundung konflik agraria.

Agraria

Rabu, 04 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kasus konflik agraria di Jawa Timur (Jatim) terus terjadi. Wali Lingkungan di Jatim desak pemerintah hadir dalam membela masyarakat terundung konflik agraria.

Direktur WALHI Jatim, Wahyu Eka menyebut, konflik agraria terus terjadi hingga saat ini, karena tidak adanya kehendak politis dari pemerintah untuk menjalankan mandat Undang-Undang Pokok Agraria, yang kini telah berusia 63 tahun dan lahir dengan semangat untuk mengusir kolonialisme serta mensejahterakan rakyat Indonesia.

Kemudian, kata Wahyu, konflik tersebut kerap diikuti jatuhnya korban akibat terjadinya intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi yang menyertai. Munculnya Perpres No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, belum bisa menghasilkan jalan keluar. Ketimpangan penguasaan penguasaan lahan, penggusuran bahkan kekerasan dan kriminalisasi masih menjadi momok yang harus dihadapi oleh para petani.

“Alih-alih bertindak adil, negara seakan-akan menjadi dalang atas semakin dalam jatuhnya para petani dan warga sipil ke dalam jurang ketimpangan,” katanya dalam keterangan resminya, Selasa 3 Oktober 2023.

Warga Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, memberikan dukungan tiga warga, Mulyadi, Suwarno, dan Untung, yang didakwa atas dugaan menyebarkan berita bohong. Sumber foto: walhi

Wahyu mengatakan, hampir di semua tempat yang mengalami konflik agraria selalu terjadi tindak kekerasan hingga intimidasi oleh pihak aparat, preman, hingga antarwarga itu sendiri.

WALHI mencatat ada sekitar 50 kasus konflik agraria mulai dari kasus perkebunan, hutan, peternakan, tambang, hingga Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terjadi di berbagai daerah di Jatim saat ini. Hampir separuh dari kasus tersebut, menurut Wahyu, mengakibatkan jatuhnya 30 korban kriminalisasi, intimidasi, hingga kekerasan.

“Apa artinya kemerdekaan jika kami tinggal di kampung kami secara tidak tenang dan penuh keresahan,” kata Yanto Subandio, Ketua Papanjati.

Sementara Jauhar Kurniawan, anggota LBH Surabaya, menyoroti sisi historis masyarakat atau petani yang telah lama tinggal di suatu lahan namun kemudian tergusur oleh narasi legal formal pemerintah.

“Sering kali pemerintah menggunakan narasi legal formal dengan tujuan melegitimasi kepemilikan lahan hanya untuk melindungi hak-hak dari formasi tertentu sehingga masyarakat yang tidak memiliki akses terkait dokumen pertanahan bernasib dikesampingkan dan berakibat penggusuran,” tutur Jauhar.

Mereka melihat bahwa munculnya Undang-Undang Cipta Kerja malah mempersuram konflik agraria. UU tersebut dianggap membuka pola baru perampasan tanah dengan dalih investasi, seperti yang terjadi di Banyuwangi.

Saat ini di kabupaten tersebut terjadi dua kasus besar terkait lahan. Pertama, konflik akibat Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan di Desa Pakel, Kecamatan Licin. Kedua, warga Desa Alasbuluh dan Desa Wongsorejo di Kecamatan Wongsorejo yang hak atas tanahnya tidak kunjung diakui pasca-matinya HGU. Pada lahan tersebut rencananya akan dibangun kawasan industri.