LIPUTAN KHUSUS:

Tolak Uji Formil UU CK, MK Permanenkan Ketidakpastian Hukum


Penulis : Gilang Helindro

Komite Pembela Hak Konstitusional menilai Mahkamah Konstitusi telah permanenkan ketidakpastian dan kedaruratan hukum.

Hukum

Rabu, 04 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menolak permohonan uji formil UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) sebagai pemohon dalam perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 menilai, keputusan MK itu membuat lembaga tersebut telah mempermanenkan ketidakpastian dan kedaruratan hukum.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU secara formil (pembentukannya) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena Perpu yang merupakan kewenangan subjektif Presiden dengan menggabungkan perbaikan UU Cipta Kerja (UU CK) dan hal ihwal kegentingan yang memaksa, telah diobjektifkan dengan oleh DPR lewat persetujuan dalam jangka waktu yang sesuai. 

Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) menjelaskan, putusan tersebut telah melanggar putusan MK itu sendiri terkait perbaikan UU Cipta Kerja dan prasyarat hal ihwal kegentingan yang memaksa. Di sisi lain pendapat MK dalam putusan tersebut juga saling bertentangan.

“Di satu sisi bahwa jangka waktu persetujuan DPR atas Perppu Cipta Kerja dipandang MK dalam jangka waktu yang dapat diterima, akan tetapi MK juga merekomendasikan perlu diatur jangka waktu pemberian persetujuan DPR,” katanya Selasa 3 Oktober 2023.

Gedung Mahkamah Konstitusi Foto: Pushep

Putusan ini kata Gunawan, bisa menjadi preseden di kemudian hari, bahwa Presiden dan DPR di kemudian hari untuk menghindari persyaratan pembentukan perundang-undangan yang baik, untuk tidak menjalankan putusan MK, dan untuk menghindari partisipasi publik secara lebih bermakna, maka dipergunakanlah Perppu. “Di sisi lain dengan longgarnya Perppu, maka akan terjadi kedaruratan yang dimudahkan dan dipermanenkan,” ungkap Gunawan.

Janses E. Sihaloho, Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law menambahkan, seharusnya permohonan pengujian formil UU Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi UU diterima oleh MK. Hal ini ditunjukan dengan adanya dissenting opinion dari empat Hakim Konstitusi.

“Ini menunjukan bahwa jangka waktu persetujuan DPR melewati batasan waktu yang telah diatur secara konstitusional dan secara yuridis, dan pembentukan Perppu Cipta Kerja melanggar putusan MK dalam perkara pengujian formil UU Cipta Kerja,” kata Janses.

Hal yang sama diungkapkan Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch, menurutnya putusan MK 54/PUU-XXI/2023 berbalik 180 derajat dari Putusan No 91/PUU-XVIII/2021, dengan materi yang tidak jauh berbeda, tetapi satu disyaratkan adanya konsultasi bermakna, satu lagi tidak perlu konsultasi bermakna, benar-benar jauh dari rasa keadilan.

Surambo menambahkan, putusan MK atas Pengujian Formil Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang sudah dapat terprediksi pasca DPR mengganti salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi Bapak Aswanto, dimana alasan DPR bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut kerap menganulir undang-undang hasil dari DPR. 

“Kalau kita bandingkan hakim-hakim MK yang dissenting opinion dalam Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2021 dengan Putusan MK 54/PUU-XXI/2023, komposisi-nya tidak berubah, dimana pasca penggantian Hakim MK, terdapat 5 Hakim MK yang setuju dengan UU Cipta Kerja,” kata Surambo.