LIPUTAN KHUSUS:

Tim Advokasi Beberkan 6 Temuan Awal Kasus Bangkal


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Temuan investigasi awal kasus Bangkal tersebut mulai dari pengerahan aparat yang diduga berlebihan hingga pernyataan aparat yang keliru dan menyesatkan.

Agraria

Rabu, 18 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal membeberkan sejumlah temuan investigasi awal atas peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalteng), 7 Oktober 2023 lalu. Temuan tersebut mulai dari pengerahan aparat yang berlebihan hingga pernyataan aparat yang keliru dan menyesatkan.

Poin-poin temuan itu dipaparkan Tim Advokasi dalam laporan yang publikasikan pada 15 Oktober 2023. Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal sendiri merupakan gabungan dari 16 lembaga masyarakat sipil, di antaranya AMAN, Walhi, YLBHI, Save Our Borneo, Greenpeace Indonesia, dan Sawit Watch.

Pengerahan aparat secara berlebihan

Berdasarkan pantauan Tim serta keterangan warga Desa Bangkal, sejak 16 September hingga 5 Oktober 2023, aparat kepolisian dibantu TNI telah menurunkan ratusan personel ke Desa Bangkal.

Berdasarkan Surat Perintah Nomor/1377/IX/PAM.3.2./2023 tertanggal 27 September 2023 dari Polda Kalteng yang ditandatangani oleh Karoops Polda Kalteng, setidaknya ada 440 anggota kepolisian ditugaskan sebagai BKO untuk “mengamankan” aksi massa di Desa Bangkal. Rincian 440 personel tersebut terdiri dari antara lain Direktorat Kriminal Umum, Direktorat Kriminal Khusus, Direktorat Samapta, Bidang Hubungan Masyarakat, Satuan Brimob dan Tim Kesehatan.

Ratusan warga melakukan aksi demo menutup pabrik dan menghentikan operasional PT HMBP I di Desa Bangkal, Sabtu (16/9/2023) lalu. Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut realisasi plasma 20 persen perusahaan. Foto: Istimewa/Tabengan.

"Temuan kami mengindikasikan bahwa dalam penanganan terhadap aksi massa, aparat yang diterjunkan beberapa kali melakukan pelanggaran prosedur yang berujung pada kekerasan dan pelanggaran HAM," kata Tim Advokasi Solidaritas untuk Masyarakat Adat Bangkal dalam laporannya, Minggu (15/10/2023).

Dalam mengawal penyampaian pendapat oleh masyarakat Desa Bangkal, kata Tim Advokasi,  aparat kepolisian kerap lebih mengedepankan penggunaan kekuatan dan senjata api. Sejak masyarakat memulai demonstrasi pada 16 September 2023, aparat dianggap minim melakukan komunikasi serta mengedepankan pengamanan dengan cara damai dan efektif. Pihak kepolisian, ujar Tim, kerap mendahului proses dengan penindakan berupa penembakkan gas air mata ke arah warga.

"Peristiwa penembakan tanggal 7 Oktober 2023, menjadi bukti pengerahan pasukan secara sewenang-wenang menjadi faktor terjadinya pelanggaran HAM terhadap masyarakat," ujar Tim Advokasi.

Penggunaan senjata api dan gas air mata

Tim Advokasi menguraikan, selama pengamanan masa demonstrasi yang dilakukan masyarakat Bangkal, Tim menemukan fakta terdapat penggunaan senjata oleh personel kepolisian secara berlebihan yang mengarah pada tindakan brutalitas.

Misal dalam aksi 21 September 2023, terdapat peristiwa penembakan terhadap kendaraan mobil pickup milik warga yang mengangkut dan hendak mendistribusikan logistik makanan di pos 4. Ketika kendaraan sedang melaju, menurut Tim, gas air mata ditembakkan dari arah barikade polisi.

Tembakan tersebut tepat mengenai bagian depan mobil. Dalam dokumentasi yang didapatkan, terlihat gas air mata yang masuk ke dalam bak mobil pick up yang digunakan mengangkut logistik dan ibu-ibu yang menumpang. Menurut keterangan saksi, penembakan tersebut dilakukan secara spontan, polisi tidak memberikan instruksi untuk mengurangi kecepatan termasuk menanyakan maksud dan tujuan masyarakat yang menaiki mobil pick up tersebut.

Tim Advokasi juga menemukan penggunaan senjata gas air mata pada 24 September 2023. Itu terjadi malam hari, sekitar pukul 19.30 WIB, saat masyarakat hendak menuju afdeling 10 untuk mengkonfirmasi kebenaran informasi adanya warga yang ditangkap. Namun dalam perjalanan, rombongan masyarakat bertemu dengan pasukan Brimob.

Tanpa mengkonfirmasi maksud dan tujuan, pihak kepolisian kemudian menembakkan gas air mata dan tembakan peluru karet ke arah kerumunan masyarakat. Tak hanya itu, aparat kepolisian juga sempat mengejar sambil melepaskan tembakan ke arah pemukiman warga di area simpang 3.

"Warga pun lari berhamburan menghindari perihnya gas air mata. Bahkan salah satu warga yang saat itu datang hendak menyaksikan peristiwa keributan tersebut menjadi korban penembakan peluru karet yang mengenai lengan kanan," kata Tim Advokasi.

Penggunaan senjata api dan gas air mata secara sewenang-wenang juga secara nyata terlihat dalam peristiwa penembakan terhadap demonstran pada 7 Oktober 2023. Situasi yang semula damai berujung pada jatuhnya korban jiwa dan luka akibat penembakan secara sewenang-wenang.

Terdengar secara jelas terdapat instruksi dari mobil komando aparat yang memerintahkan penembakan senjata yang diarahkan langsung ke demonstran. Setidaknya terdengar dua instruksi yang diperintahkan yakni “... jangan ke atas, jangan ke atas, gas air mata jangan ke atas, arahkan ke orangnya...”, dan “..bidik kepalanya! Bidik.! AK, AK persiapan, AK persiapan, ayo kita bermain!"

Berdasarkan keterangan saksi, pihak kepolisian tidak memberikan peringatan secara patut kepada demonstran. Dari arah barikade aparat kepolisian, peringatan hanya diberikan satu kali. Tak lama, aparat kepolisian langsung melancarkan tembakan gas air yang juga terdengar suara letusan senjata api.

Timbulnya korban jiwa dan luka

Dalam rentetan demonstrasi yang dibalas secara brutal oleh aparat kepolisian khususnya pada 21 September 2023, 24 September 2023, dan 7 Oktober 2023, terdapat sejumlah korban jiwa dan luka.

Dalam aksi 7 Oktober 2023, terdapat korban jiwa dan luka yang menurut Tim Advokasi diduga kuat akibat peluru tajam. Korban jiwa akibat penembakan peluru tajam tersebut menimpa warga komunitas adat Bangkal bernama Gijik. Hal itu dikuatkan dengan bukti dokumentasi yang diperoleh dari warga. Dokumentasi tersebut menunjukan adanya luka yang secara kasatmata berbentuk lubang yang menyerupai bekas luka tembak pada dada bagian kiri korban.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari saksi, pada saat gas air mata tengah berlangsung terdengar juga suara tembakan senjata api. Di saat yang bersamaan, Gijik dan Taufik Noor Rohman yang sedang menghadap belakang (seperti posisi berlari) terlihat jatuh tersungkur ke tanah pada waktu hampir bersamaan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Tim, Taufik Noor Rohman juga mengalami luka tembak pada bagian punggung. Jika mengacu pada keterangan saksi yang melihat Gijik dan Taufik jatuh tersungkur bersamaan serta merujuk pada temuan ketika Tim Advokasi mengunjungi TKP, kontur tanah tempat Gijik lebih rendah dari Taufik.

"Berdasarkan hal tersebut, kami menduga kuat bahwa luka tembak yang dialami oleh Taufik merupakan peluru yang sebelumnya menembus tubuh Gijik," ujar Tim Advokasi.

Sesaat setelah kejadian penembakan tersebut, Gijik dan Taufik langsung dievakuasi menggunakan mobil warga dan dibawa ke Puskesmas Terawan KM 69. Namun karena minimnya alat, keduanya dibawa ke RS Murjani Sampit yang kemudian dirujuk ke RSUD Dr. Doris Silvanus Palangkaraya.

Gijik yang meninggal kemudian dibawa pulang oleh keluarga ke rumah duka dan dimakamkan beberapa hari kemudian. Sedangkan Taufik hingga laporan ini terbit masih berada di RS dan menjalani perawatan intensif dengan keadaan kritis.

Selain Gijik dan Taufik, Tim menemukan warga yang juga terluka akibat penggunaan peluru karet. Seperti yang terjadi dalam peristiwa pada 23 September 2023, tembakan peluru karet menimbulkan korban terhadap 2 warga. Luka tersebut dialami warga bernama Marjono dan Kura. Marjono mengalami luka pada bagian lengan sebelah kanan, sedangkan Kura mengalami luka pada bagian hidung.

Selain pada 23 September 2023, penembakan peluru karet juga digunakan kepolisian dalam peristiwa 7 Oktober 2023. Saksi menjelaskan, setidaknya terdapat 6 kali tembakan yang dirasakan mengenai bagian belakang punggungnya.

"Terdapat juga korban lain bernama Ambaryanto yang mengalami luka pada lengan bagian kanan. Penembakan tersebut terjadi bersamaan di tengah berlangsungnya rentetan tembakan gas air mata yang dilakukan oleh aparat kepolisian," ujar Tim Advokasi.

Selain peluru tajam dan peluru karet, beberapa warga menjadi korban gas air mata. Mengacu pada kronik peristiwa, gas air mata digunakan pada 21 September 2023, 23 September 2023, dan 7 Oktober 2023.

Jika mencocokan dokumentasi dan keterangan saksi yang ditemui, hampir keseluruhan warga mengalami iritasi pada bagian kulit, perih pada bagian mata, hingga sesak karena menghirup perihnya gas air. Selain itu, gas air mata yang ditembakan ke arah perkebunan sawit menyebabkan warga yang hendak mengevakuasi diri terhambat dan terpaksa menghirup asap gas air mata yang mengepung perkebunan.

Dalam rentetan peristiwa penembakan gas air mata tersebut, ditemukan korban anak, remaja, perempuan, ibu hamil, dan orang dengan lanjut usia. Salah satu warga yang turut bersolidaritas dengan membawa anaknya berusia 4 tahun menuturkan saat itu anaknya menangis akibat efek bahan kimia yang terkandung dalam gas air mata.

Penangkapan dan upaya paksa

Sesaat setelah penembakan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam pada siang hari, 7 Oktober 2023 lalu, aparat kepolisian juga melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap demonstran. Terdapat 20 orang demonstran yang ditangkap oleh kepolisian.

Menurut keterangan salah satu saksi, mulanya warga mendengar aparat kepolisian memberikan imbauan kepada para demonstran untuk menyerahkan mandau--senjata adat suku Dayak yang biasa dibawa. Setelah diserahkan warga dapat kembali ke rumah masing-masing.

Mendengar imbauan tersebut, setidaknya 20 orang berkumpul, yang langsung seketika dipaksa duduk berjongkok dan dikeliling aparat bersenjata. Setelahnya mereka dibawa pergi menggunakan kendaraan milik kepolisian ke Markas Komando Brimob.

"Tak lama sampai di Mako Brimob, 20 orang tersebut langsung dibawa kembali ke Polres Kotim untuk menjalani pemeriksaan. Semua warga yang ditangkap juga dipaksa melakukan tes urine oleh kepolisian," ujar Tim Advokasi.

Tim Advokasi menyebut, terdapat juga temuan beberapa di antaranya mengalami tindak penyiksaan, seperti dipopor senjata sebanyak 4 kali, dijepret pada bagian punggung menggunakan karet ketapel, hingga ditempeleng. Temuan selanjutnya yakni terdapat salah seorang yang ditangkap dan diperiksa masih berstatus siswa SMA.

Terhadap 20 orang yang ditangkap dilakukan pemeriksaan secara terpisah masing-masing sebanyak dua orang dengan dua penyidik di dalam satu ruangan. Kemudian mereka mulai diperiksa sejak pukul 23.30-01.30 WIB.

Sebelum mereka diperiksa, penyidik hanya menunjukkan ketapel, mandau, hingga senjata mirip pistol. Penyidik tidak menjelaskan status hukum, alasan pemeriksaan yang sah, hingga tuduhan pasal yang dikenakan kepada mereka. Tak hanya itu, selama proses BAP kesemuanya tidak didampingi oleh penasihat hukum.

Kemudian setelah berkas BAP dicetak, semuanya dipaksa untuk menandatangani. Salah satu orang yang ditangkap menuturkan sempat melihat BAP yang dicetak berstatus hukum diperiksa sebagai saksi. Selain itu terdapat juga harta benda yang disita tanpa adanya surat perintah dan berita acara penyitaan.

"Misal Saksi J mengalami penyitaan sewenang-wenang seperti 1 satu unit handphone tipe android merk OPPO hingga uang hasil dagang es sejumlah Rp300.000. Hingga saat ini barang-barang tersebut belum dikembalikan dan tidak diketahui keberadaannya," kata Tim.

Perusakan kendaraan milik warga

Selain penembakan dan penangkapan sewenang-wenang, Tim Advokasi juga menemukan fakta, terdapat perusakan sejumlah kendaraan mobil dan motor milik warga masyarakat yang sempat digunakan untuk memobilisasi masa. Kendaraan yang rusak tersebut baru diketahui ketika warga hendak diambil dekat titik aksi.

Berdasarkan keterangan saksi J (50) yang juga turut ditangkap, pada 7 Oktober 2023, ia sempat membawa mobil minibus merk Avanza digunakan untuk memobilisasi keluarganya dan diparkirkan dekat titik aksi. Setelah tembakan gas air mata berhenti, mobil tersebut hendak diambil namun kondisinya dalam keadaan rusak. Bagian yang rusak meliputi kaca pintu depan bagian kiri pecah, lampu depan pecah, dan kaca depan pecah retak, diduga akibat tembakan peluru karet.

Selain mobil, terdapat juga kendaraan roda dua salah satu warga yang mengalami kerusakan. Dalam dokumentasi video yang didapatkan, salah satu motor hancur. Bagian motor yang rusak tersebut meliputi lampu bagian depan pecah, engsel jok patah hingga sepatbor rusak.

"Berdasarkan data yang dihimpun setidaknya lebih dari 40 kendaraan motor roda dua milik warga diduga dirusak oleh aparat keamanan di lokasi dan motor diangkut menggunakan truk," kata Tim.

Pernyataan aparat yang keliru dan menyesatkan

Pasca-kejadian 7 Oktober 2023, keesokan harinya, Kombes Pol. Erlan, Kabid Humas Polda Kalteng menyampaikan bahwa polisi yang bertugas dalam peristiwa 7 Oktober tidak dibekali peluru tajam. Polisi hanya dibekali dengan gas air mata, peluru hampa, dan peluru karet.

Tim Advokasi menganggap pernyataan Kombes Pol. Erlan ini keliru dan menyesatkan masyarakat, mengingat proses penyelidikan berbasis ilmiah sedang dilakukan dan menunggu hasil. Polda Kalteng, menurut Tim Advokasi, seharusnya tidak buru-buru menyimpulkan jenis senjata yang digunakan aparat kepolisian di lapangan.

"Mengingat berdasarkan temuan di lapangan dan dokumentasi warga diduga kuat ada penggunaan senjata dengan peluru tajam yang menyebabkan satu warga meninggal dunia dan satu korban sedang kritis," ujar Tim.

Tim juga menilai beberapa pernyataan aparat juga terkesan menyudutkan masyarakat dan menempatkan masyarakat sebagai pihak yang “bersalah” pada peristiwa yang terjadi di Desa Bangkal. Hal itu seakan menunjukkan adanya upaya untuk mengesampingkan peran aparat atas peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi.

Berdasarkan temuan di atas, menurut Tim, dapat dinyatakan adanya dugaan kuat pelanggaran HAM terhadap warga. Secara umum pelanggaran HAM yang dialami oleh warga dapat dikategorikan ke dalam tiga hal.

"Yakni adanya extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum oleh aparat kepolisian, adanya represi terhadap hak untuk berkumpul secara damai dan menyampaikan pendapat, serta adanya pelanggaran terhadap hak masyarakat adat, perempuan dan anak," kata Tim Advokasi.