LIPUTAN KHUSUS:
Aturan PLTS Hambat Pengembangan Energi Terbarukan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Koalisi Demokrasi Energi menilai Permen ESDM No. 26/2021 tentang PLTS mengakomodir memo internal PLN yang membatasi kapasitas pemasangan surya atap hanya 10-15 persen dari kapasitas terpasang.
Energi
Jumat, 20 Oktober 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Demokrasi Energi menganggap sejumlah kebijakan yang dibuat pemerintah bertolak belakang dengan komitmen Indonesia melakukan transisi energi, sebagai salah satu upaya untuk menurunkan emisi negara dari sektor energi. Koalisi minta kebijakan penghambat itu segera dibatalkan.
Salah satu kebijakan yang dimaksud koalisi itu adalah revisi Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 26/2021, yang mengatur tentang pemasangan solar panel atau surya atap. Revisi Permen ini dianggap mengakomodir memo internal PLN yang membatasi kapasitas pemasangan surya atap hanya 10-15 persen dari kapasitas terpasang. Menurut Koalisi, aturan ini menghambat pengembangan energi terbarukan dalam rencana ketenagalistrikan khususnya energi surya.
"Jika pemerintah berkomitmen untuk melakukan transisi, seharusnya PLN menjalankan aturan yang sudah diterapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM. Tetapi apa yang kita lihat hari ini, PLN jadi lebih berkuasa dan tidak patuh pada kebijakan yang lebih tinggi," kata Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam siaran pers Koalisi Demokrasi Energi, Selasa (17/10/2023), .
Hadi berpendapat, transisi energi tidak akan bisa berjalan dan energi surya akan tidak kompetitif harganya, bila tiap lembaga negara tidak memiliki kemauan yang serius untuk bertransisi melalui payung hukum yang mereka ciptakan.
Padahal, lanjut Hadi, Indonesia sebagai negara dengan skala geografis yang cukup besar memiliki berbagai macam potensi energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi sekitar 3.295 gigawatt (GW) energi surya yang bisa mencukupi kebutuhan seluruh negeri.
Hadi mengatakan, koalisi meminta keseriusan pemerintah dalam implementasi transisi energi. Menurut Hadi, gelombang investasi yang besar juga harus dibarengi dengan payung hukum dan kemauan politik untuk melepas ketergantungan pada jebakan energi batu bara.
"Greenpeace pernah melakukan survei pada tahun 2020 dan menemukan bahwa lebih dari 80 persen warga Jakarta ingin memasang panel surya di rumahnya. Tingginya keinginan masyarakat yang ingin memasang panel surya harusnya bisa menjadi landasan bagi pemerintah agar membuat payung hukum yang lebih serius untuk mendukung penerapan energi terbarukan di masyarakat," ujar Hadi.
Yohanes Sumaryo dari Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menuturkan, salah satu daya tarik dalam memasang PLTS atap adalah adanya ketentuan net metering. Namun pemerintah mewacanakan untuk menghapus ketentuan net metering ini pada revisi Permen ESDM 26/2021 tersebut.
“Net metering itu bentuk insentif pemerintah agar masyarakat umum tertarik memasang PLTS atap yang harganya relatif masih mahal dibanding biaya langganan listrik PLN. Dengan net metering koefisien perbandingan ekspor-impor menjadi 1:1, maka tingkat pengembalian modal atau payback period pemasangan PLTS atap bisa berkisar antara 4-5 tahun,” katanya.
Lebih lanjut Yohanes menjelaskan ketiadaan net metering akan menyurutkan minat calon pelanggan untuk memasang PLTS atap. Dia mengatakan, dengan revisi Permen ESDM No. 26/2021, yang mana ekspor listrik ke grid PLN ditiadakan, maka orang yang mau memasang PLTS atap terpaksa harus membeli baterai penyimpan energi yang cukup mahal dan membuat tingkat pengembalian modal lebih lama, menjadi 9-10 tahun.
"Ini menyebabkan banyak orang yang mengurungkan niatnya memasang PLTS atap,” ucap Yohanes.
Pengamat lainnya, Suriadi Darmoko, pengampanye 350 Indonesia, berpendapat, kebijakan yang berubah-ubah bahkan cenderung membatasi partisipasi masyarakat dalam transisi energi berbanding terbalik dengan fasilitas kebijakan yang didapat oleh para oligarki. Suriadi menyebut, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, selain dapat menggalang partisipasi publik, juga merupakan jalan pintas mengejar bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan.
Suriadi mengatakan, melalui PLTS atap publik bisa berpartisipasi dalam transisi energi. Sehingga ke depan independent power poducer (IPP) itu bukan lagi terbatas pada perusahaan skala besar, tapi juga melibatkan rumah tangga sampai Bumdes atau pemerintah daerah melalui PLTS atap.
"Semua orang mengkontribusikan atapnya untuk memanen listrik dari energi surya, tanpa perlu pengadaan lahan. Pemerintah harus ambil peran serius melalui kebijakan yang konsisten dan publik bisa dapat kepastian kebijakan dan kemudahan untuk berpartisipasi," kata Suriadi.
Menurut Reka Maharwati dari Enter Nusantara, selain memastikan sumber energinya beralih dari fosil ke energi terbarukan, hal penting lainnya dalam transisi energi adalah memastikan adanya diversifikasi kepemilikan. Ketersediaan komitmen pendanaan transisi energi saat ini, katanya, seharusnya digunakan oleh negara melalui BUMN untuk membangun sistem ketenagalistrikan di mana masyarakat bisa beramai-ramai terlibat dalam transisi energi.
“Selama ini orang muda selalu diberikan motivasi untuk menjadi agent of change, namun kebijakan yang dihadirkan oleh pemerintah belum juga mendengar aspirasi orang muda yang ingin mendorong perubahan ke arah yang lebih baik untuk generasi mendatang. Transisi energi yang bersih dan berkeadilan bisa mulai diwujudkan dengan segera melaksanakan Permen ESDM No. 26/2021 tanpa revisi,” ujarnya.
Dalam pernyataan resminya, Koalisi Demokrasi Energi menyebut, negara-negara di seluruh dunia dimandatkan untuk meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil sebelum 2030, jika ingin menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius dan menjaga bumi dari bencana iklim permanen. Sementara pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional hingga akhir 2022 masih berkisar di angka 12 persen.
Koalisi Demokrasi Energi mendesak pemerintah untuk membatalkan revisi peraturan menteri tersebut, mempertahankan ketentuan yang sudah mengakomodir aspirasi pelanggan pada Permen ESDM 26/2021, segera menerbitkan Permen ESDM 26/2021, serta meminta PLN serius menjalankan mandat transisi energi dengan mengeluarkan regulasi yang berpihak pada akses keadilan energi untuk rakyat.
Desakan Koalisi Demokrasi Energi ini juga disampaikan dalam sebuah petisi di Chance.org.