LIPUTAN KHUSUS:

Vonis Janggal Majelis Hakim Pandji Santoso dkk bagi 3 Warga Pakel


Penulis : Aryo Bhawono

Pendamping hukum warga menilai putusan ini janggal karena penggalian saksi dan bukti tak tuntas selama persidangan.

Agraria

Jumat, 27 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pengadilan Negeri Banyuwangi memvonis bersalah tiga warga Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur. Putusan ini dinilai  janggal karena penggalian saksi dan bukti tak tuntas selama persidangan. 

Tiga warga Desa Pakel, yaitu Mulyadi, Suwarno, dan Untung divonis bersalah atas kasus dugaan penyebaran berita bohong. Majelis Hakim yang diketuai oleh Moehammad Pandji Santoso dengan anggota Ni Luh Putu Pratiwi dan I Made Gede Trisnajaya Susila menyebutkan ketiganya terbukti bersalah melanggar Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Keonaran dan dikenai pidana penjara 5 tahun 6 bulan.  

Pendamping hukum ketiga warga dari LBH Surabaya, Ramli Himawan, menyatakan berbagai pertimbangan hakim atas putusan tersebut terasa janggal. Pertama, hakim mengamini bahwa keberadaan akta 1929 adalah kebohongan.  

Akta ini sendiri dianggap dasar hukum warga pakel untuk mengklaim kepemilikan tanahnya yang dikeluarkan oleh Bupati Banyuwangi R.A.A.M. Noto Hadi Suryo, pada 1929. Waktu itu warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, seluas 4.000 bahu (3.000 hektare) yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda.

Warga Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur, memberikan dukungan tiga warga, Mulyadi, Suwarno, dan Untung, yang didakwa atas dugaan menyebarkan berita bohong. Sumber foto: walhi

Padahal soal kebohongan ini merupakan tudingan saksi pelapor, Suparmo. Seharusnya hakim menindaklanjuti tudingan dengan memeriksa lembaga pemerintah terkait, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sekretariat Negara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Kantor Staf Presiden. 

Suparno, dalam kesaksiannya di persidangan sebelumnya, hanya mengucap dirinya sudah melakukan pengecekan ke lembaga-lembaga tersebut tanpa memberikan bukti.  

“Di sini hakim tidak tuntas dengan pemeriksaan. Apa kewenangan dan bukti bahwa saksi sudah melakukan verifikasi juga tidak ada,” ucap Ramli.

Kedua, pertimbangan hakim mengenai pengakuan Djohan Sugondo, pemilik PT Bumi Sari, mengenai kerugian sebesar Rp 200 miliar akibat perusakan lahan seluas 311 ha milik perusahaannya. Hakim mengamini pengakuan ini meski lahan yang dimaksud masih berkonflik dan pengakuan perusakan hanya dilakukan sepihak tanpa konfirmasi. 

“Itu adalah data internal yang diakui oleh karyawan saja, hitungan luasan seperti apa juga tidak ada. Ini kan aneh sekali,” kata Ramli. 

PT Bumi Sari merupakan perusahaan yang mengklaim tanah Desa Pakel. Berdasarkan SK Mendagri No SK.35 /HGU/DA/85, perusahaan itu hanya mengantongi HGU seluas 1.189,81 ha, terbagi dalam 2 sertifikat, yakni Sertifikat HGU nomor 1 Kluncing dan Sertifikat HGU nomor 8 Songgon. Seharusnya mereka tak memiliki hak di Pakel, namun BPN tetap menerbitkan HGU untuk perusahaan itu sehingga muncul konflik dengan masyarakat.

Ramli pun menyebutkan atas kejanggalan putusan ini, berbagai organisasi yang mendampingi warga Pakel, seperti LBH Surabaya dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, akan melaporkan dugaan pelanggaran etika hakim ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung. 

Selain Ramli menyebutkan tim kuasa hukum telah berdiskusi dengan para terdakwa dan warga Pakel untuk mengajukan banding.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, menyebutkan vonis bersalah kepada 3 petani Pakel membuktikan Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak berpihak pada masyarakat dan akan semakin memperpanjang konflik agraria. 

Majelis hakim dituding menutup mata persoalan konflik agraria yang terjadi. Desa itu mengalami ketimpangan penguasaan lahan dan tumpang tindih izin, akibat HGU yang dikeluarkan sepihak oleh ATR/BPN Banyuwangi. 

“Tiga petani tersebut tengah berjuang untuk mendorong redistribusi tanah di desanya, karena wilayahnya mengalami kekurangan lahan, sehingga mengakibatkan banyak warga yang tak bertanah. Naasnya mereka dilaporkan oleh sesama warga desa dengan tuduhan menyiarkan berita bohong,” kata dia.

Kriminalisasi petani datang bertubi di kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu. Pada 2017, sebanyak 4 orang warga Desa Sumberagung dikriminalisasi, karena menolak tambang emas di bukit Tumpang Itu. Salah seorang warga mendekam di jeruji besi atas suara lantangnya menolak pertambangan. 

Pada 2021 lalu, saat tiga warga Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo dituduh menghalangi pertambangan dengan dikenakan pasal 162 UU Minerba. Pelaporan oleh perusahaan direspons cepat oleh pihak berwajib hingga ke fase persidangan. Saat itu 3 orang warga tersebut diputus bersalah oleh Hakim PN Banyuwangi. Saat kasasi di Mahkamah Agung mereka diputuskan tidak bersalah.

“Tentu hal ini menambah catatan hitam Pengadilan Negeri Banyuwangi,” ucapnya dalam pernyataan sikap.