LIPUTAN KHUSUS:
Tanah Dirampas Industri Sawit, Suku Awyu Papua Banding ke Manado
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Banding dilakukan setelah Majelis Hakim PTUN Jayapura menolak gugatan soal izin lingkungan hidup yang dikeluarkan DPMPTSP Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari.
Iklim
Selasa, 28 November 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, melayangkan banding atas gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado, pada 22 November 2023. Upaya banding ini dilakukan setelah Majelis Hakim PTUN Jayapura menolak gugatan yang menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).
Tigor Hutapea, salah satu kuasa hukum Masyarakat Suku Awyu, menuturkan upaya banding ini dilakukan agar hakim memperbaiki putusan hakim PTUN Jayapura. Pihaknya menilai Majelis Hakim PTUN Jayapura salah dalam menerapkan pertimbangan-pertimbangan putusan. Dibandingkan putusan-putusan lingkungan lainnya, putusan PTUN Jayapura tidak menggambarkan perlindungan terhadap lingkungan dan keberadaan masyarakat adat.
"Kami yakin Hakim Pengadilan Tinggi PTUN Manado akan lebih bijaksana memutus permohonan banding ini dengan berpedoman pada peraturan yang benar,” kata Tigor pada Rabu (23/11/2023).
Tigor menguraikan, upaya banding ini berdasarkan keyakinan bahwa PTUN Jayapura sebagai judex facti tingkat pertama telah salah menerapkan hukum, antara lain tentang batas waktu gugatan, aspek prosedur dan substansi perkara pasca-Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (Perma 1/2023), tidak mempertimbangkan fakta hukum bahwa Prosedur Pengumuman Objek Sengketa Bertentangan dengan Pasal 50 Ayat 3 PP Nomor 22 Tahun 2021, dan kesalahan dalam memberi pertimbangan terkait partisipasi publik.
Hakim PTUN Jayapura juga luput menganalisis fakta bahwa objek sengketa juga bertentangan dengan asas kearifan lokal, asas kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, kehati-hatian, ekoregion, keanekaragaman hayati, asas tertib penyelenggara negara, asas kehati-hatian, asas keadilan, serta asas kemanfaatan.
Emanuel Gobay mewakili Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua menambahkan, putusan Majelis Hakim PTUN Jayapura itu jelas melanggar hak masyarakat adat yang dijamin pada UUD 1945, Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dengan cara menggunakan Surat LMA dan mengabaikan Fakta Hukum Penolakan yang dilakukan oleh Pimpinan Marga Woro.
"Atas dasar itu, harapannya melalui Upaya Banding ini majelis hakim pemeriksa di PT TUN Manado dapat menegakkan hak Masyarakat Adat Papua melalui putusan yang berprinsip pada dasar perlindungan hak masyarakat adat demi memberikan kepastian hukum bagi penerus Marga Woro yang akan mewarisi hak atas tanah dan hutan di Wilayah Adat Marga Woro,” ujar Emanuel Gobay.
Pembukaan hutan Suku Awyu akan melepaskan setidaknya 23 juta ton CO2, yang bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam krisis iklim.
Aktivis Greenpeace Indonesia dan anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Asep Komarudin, menambahkan, penting bagi publik dan Mahkamah Agung untuk mengawal perkara ini bersama-sama karena perkara ini bukan permasalahan administratif belaka, tapi ada hak masyarakat adat yang dirampas, bahkan tidak diakui keberadaannya, dan juga potensi dampak terhadap iklim jika perusahaan melakukan pembukaan lahan yang akan melepaskan setidaknya 23 juta ton CO2 yang bertentangan dengan komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim.
Bersamaan dengan pengajuan banding dari Hendrikus ‘Franky’ Woro, dua penggugat intervensi yakni Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Walhi Eksekutif Nasional juga mengajukan banding atas keputusan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR yang telah mengabaikan prinsip in dubio pro natura, yang bermakna ‘jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan pelindungan lingkungan dalam putusannya’–demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.