LIPUTAN KHUSUS:

Malang Banjir, MCW: Pemkot Jangan Hanya Tuding Saluran dan Sampah


Penulis : Gilang Helindro

Banjir di Malang adalah persoalan tata ruang yang buruk, termasuk di dalamnya degradasi ruang terbuka hijau, tulis Malang Corruption Watch (MCW).

Lingkungan

Minggu, 03 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan banjir di sejumlah wilayah Kota Malang, Jawa Timur, pada akhir pekan lalu. Malang Corruption Watch (MCW) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim dalam usulan kebijakan (policy brief) Menggugat Permasalahan Banjir di Kota Malang menegaskan bahwa Malang perlu melakukan review ulang Perda RTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) dan terbuka untuk partisipasi publik.

Ahmad Adi, Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) mengatakan, sejak awal terkait kebijakan pemerintah Kota Malang terlihat kurang dalam merespon partisipasi publik ini. “Dulu kita pernah melakukan audiensi bersama, lagi lagi usulan dari MCW dan Walhi diendapkan pemda. Kami teruskan dengan hak atas menyampaikan pendapat, hak publik untuk mendapatkan balasan, namun tidak ada respon,” ungkap Adi saat dihubungi pekan lalu (30/11/2023). 

Adi mengatakan, Kota Malang merupakan salah satu daerah yang mengalami fungsi penurunan ruang resapan dan tangkapan air, atau dalam isu yang lebih luas mengalami penurunan ruang terbuka hijau. Faktanya pun sudah terang benderang. Misalnya, BPBD Kota Malang mencatat, sepanjang 2022 terjadi sekitar 211 kejadian banjir. Transisi musim penghujan April-Maret dan memasuki musim penghujan sekitar Oktober-Desember, Kota Malang sejak 5 tahun terakhir paling tidak mengalami banjir rata-rata 20 kejadian. 

Adi menilai, melihat abainya Pemkot dalam hal penyelesaian banjir, persoalan tata ruang belum menjadi fokus pemerintahan Kota Malang. “Pemerintah Kota Malang ternyata belum memiliki sensitivitas perihal persoalan banjir. Termasuk banjir 26 November 2023, pemerintah menyebut jika banjir diakibatkan saluran air yang mengalami penyempitan dan sampah rumah tangga,” kata Adi.

Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan sejumlah titik di wilayah Kota Malang, Jawa Timur. Dok: BNPB

padahal, menurut Adi, banjir di wilayah Kota Malang bukan sekedar masalah saluran atau sampah, tetapi persoalan yang lebih kompleks yakni persoalan tata ruang, termasuk di dalamnya degradasi ruang terbuka hijau. Sehingga solusi yang diambil sebagai tindakan bukan membangun, tetapi membenahi tata ruang yang ada, me-review izin yang melanggar tata ruang, serta mendorong perlindungan kawasan hijau yang belum dialihfungsikan menjadi kawasan lindung hijau. 

Wahyu Eka Styawan, Direktur Walhi Jatim mengatakan pada revisi tata ruang terbaru tidak ada pelibatan publik baik dari KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) sampai uji Perda RTRW. Namun, “Kalaupun dilakukan secara terbuka saran dari kami atau masyarakat Kota Malang juga sangat pesimis untuk diakomodir dan dijalankan,” ungkap Wahyu. 

Ke depannya, kata Wahyu, untuk membenahi Kota Malang dibutuhkan keingingan untuk mengubah dan lebih sensitif atas krisis yang terjadi. Salah satunya dengan menegakkan prinsip keterbukaan informasi serta partisipasi yang bermakna, termasuk membuka semua dokumen berkaitan dengan tata ruang, membuka ruang seluas-luasnya untuk memberikan masukan. 

“Dalam kata lain melakukan review ulang Perda RTRW. Tidak cukup di situ, suara-suara masyarakat harus diakomodir dan menjadi pertimbangan,” tambah Wahyu. 

Wahyu mengatakan, salah satu upaya dalam waktu dekat yang patut didorong adalah mendorong perlindungan kawasan hijau tersisa, melakukan moratorium izin pembangunan sementara waktu, lalu melakukan review izin-izin pembangunan baru dengan kesesuaian ruang. Sementara dalam jangka panjang adalah melakukan review ulang pola ruang di Kota Malang agar tahu problem alih fungsi ruang yang mendorong kerentanan wilayah. 

Sehingga nantinya, ungkap Wahyu, dapat membuat kebijakan yang lebih menekankan pada upaya pembenahan tata ruang serta berfokus pada alokasi ruang terbuka hijau termasuk kawasan lindung yang menjadi tempat resapan dan tangkapan air, sebagai suatu upaya pemulihan kawasan dan bagian dari menghadapai serta menangulanggi dampak dari krisis iklim.