LIPUTAN KHUSUS:

Bank Jerman Diminta Ikut Bebaskan 3 Warga Lingkar TN Lore Lindu


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

AGRA mendesak proses hukum terhadap ketiga warga di TN Lore Lindu itu dihentikan demi Hak Asasi Manusia (HAM).

HAM

Rabu, 20 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tiga warga berinisial E (44), F (54) dan A (44) ditangkap Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi karena diduga melakukan penambangan emas tanpa izin (PETI), di dalam kawasan Taman Nasional (TN) Lore Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng), pada Senin, 11 Desember 2023 lalu. Merespon penangkapan ini, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mendesak proses hukum E, F dan A dihentikan demi penegakan hak asasi manusia (HAM).

Dalam pernyataan resmi Balai Pencegahan dan Pengamanan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi menyatakan, ketiga tersangka pelaku PETI ini ditangkap ketika sedang melakukan kegiatan penambangan dan mengetahui bahwa lokasi tersebut masuk dalam kawasan TN Lore Lindu. Kemudian, ketiga pelaku yang disebutkan sebagai tokoh masyarakat itu, beserta barang bukti lainnya,  dibawa oleh petugas ke Kantor Balai Besar TN Lore Lindu di Palu, untuk diperiksa.

Berdasarkan hasil gelar perkara Penyidik Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, pada 12 Desember 2023, status ketiganya dinaikkan statusnya menjadi tersangka. Selanjutnya pada 13 Desember 2023, telah dikeluarkan surat perintah penangkapan dan penahanan kepada ketiga tersangka tersebut serta surat perintah penyitaan barang bukti dan izin penyitaan barang bukti kepada Pengadilan Negeri Palu. Selanjutnya, tim Penyidik Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi menitipkan tiga tersangka itu di Rutan kelas I Kota Palu, sedangkan barang bukti diamankan di Kantor Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Seksi Wialayah II Palu.

Tiga tersangka ini dijerat dengan pasal 78 ayat (3), Jo Pasal 50 ayat (2) huruf a UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan pasal 36 UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang dan/atau pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 33 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp7,5 miliar.

Tiga warga di Kabupaten Sigi ditangkap karena diduga melakukan PETI di TN Lore Lindu. Foto: AGRA

"Saya telah memerintahkan tim penyidik untuk mengembangkan dan mencari kemungkinan adanya keterlibatan pelaku lain, dalam hal ini pemodal, pengepul dan pengolah bahan baku emas ilegal tersebut, agar dapat memutus rantai bisnis dari kegiatan PETI di TN Lore Lindu,” kata Aswin, Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi, Minggu (17/12/2023).

Kepala Balai Besar TN Lore Lindu, Titik Wurdiningsih, menambahkan, kerusakan kawasan taman nasional dan lingkungan akibat aktivitas PETI telah memberikan dampak nyata pada terjadinya penurunan tutupan hutan serta pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan kimia yang merugikan masyarakat.

Upaya pengamanan dan perlindungan kawasan TN Lore Lindu dilakukan untuk menjaga keutuhan kawasan sehingga kawasan konservasi dapat memenuhi fungsinya sebagai penyangga sistim kehidupan, pengatur tata air dan sebagai pusat perlindungan sumber daya genetik keanekaragaman hayati (flora-fauna).

"Upaya penegakan hukum juga dilakukan untuk menjaga hak-hak negara terhadap kawasan hutan yang harus dijaga dan dilindungi,” ujar Titik.

Warga tak memiliki kesempatan mendapatkan pembelaan dan pendampingan hukum

Penangkapan E, F dan A itu menuai tanggapan dari Pimpinan Pusat AGRA. Ketua AGRA, Mohammad Ali, mengatakan tuduhan yang diberikan oleh Balai Besar TN Lore Lindu dan Gakkum LHK Wilayah Sulawesi terhadap 3 warga itu sangat berlebihan.

Menurut Ali, sesungguhnya tiga warga itu hanya sedang mengumpulkan batuan material sisa pertambangan yang telah ditutup sejak Mei 2023 lalu. Adapun peralatan seperti 1 buah linggis, 1 buah martil dan 1 buah alat tibe yang ditemukan oleh Gakkum dan Balai Besar TN Lore Lindu di lokasi penangkapan bukanlah milik ketiganya.

"Kecuali sebilah parang yang memang selalu dibawa layaknya petani pada umumnya ketika berpergian ke ladang ataupun hutan serta seperempat karung batuan yang sudah berhasil mereka kumpulkan sebelum penangkapan dilakukan," kata Ali, dalam sebuah keterangan resmi, Selasa (19/12/2023).

Ali mengungkapkan, pihak keluarga baru mengetahui bahwa E, F dan A telah ditahan di Rumah Tahanan kelas II Kota Palu melalui surat penahanan yang dilayangkan kepada keluarga, dua hari setelah proses penahanan dilakukan. Melalui lampiran surat penahanan tersebut diketahui bahwa proses penyidikan telah rampung dilaksanakan pada 12 Desember, dengan putusan ditetapkannya ketiga orang petani itu sebagai tersangka yang selanjutnya mendapatkan sanksi penahanan sejak 13 Desember 2023 hingga 1 Januari 2024.

"Akibatnya, ketiga petani maupun pihak keluarga sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk meminta haknya untuk mendapatkan pembelaan dan pendampingan hukum," ujar Ali.

Selain itu, dalam proses penangkapan yang disebut sebagai kegiatan Operasi Pengamanan Hutan, personel yang terlibat dalam operasi tersebut dipersenjatai dengan senjata organik. Hal itu tentunya adalah bagian dari tindakan teror dan intimidasi yang dilakukan Gakkum dan Balai Besar TN Lore Lindu terhadap rakyat serta menunjukkan bahwa sejak awal Gakkum dan Balai Besar TN Lore Lindu telah mendudukkan masyarakat lingkar kawasan taman nasional sebagai pelaku tindakan kriminal.

Tulang punggung keluarga

Berdasarkan penuturan keluarga dan tetangga, lanjut Ali, diketahui bahwa F dan A sehari-hari bekerja sebagai buruh tani saat musim tanam dan musim panen, sedangkan di luar musim tersebut mereka akan menjadi pekerja serabutan. Ali melanjutkan, F dan A sebenarnya juga memiliki lahan perkebunan yang ditanami berbagai komoditas seperti kemiri, vanili maupun kelapa, yang juga telah diklaim sebagai kawasan hutan.

Hasil pertanian F dan A saat ini tidak lagi produktif, bahkan kemiri sudah tidak lagi berbuah lebat sejak gempa 2018, yang telah mengakibatkan kekeringan di wilayah aliran DAS Gumbasa. Kondisi itu selanjutnya diperparah oleh berbagai fenomena perubahan iklim seperti badai El Nino yang mengakibatkan kemarau panjang yang tentunya juga berdampak buruk terhadap pertanian rakyat.

Pandemi Covid 19 yang sangat panjang, imbuh Ali, semakin memperburuk situasi ekonomi para petani, sehingga tidak sedikit keluarga tani terjerat hutang pinjaman “tanggung renteng” yang harus dibayar mingguan, termasuk F dan A.

Untuk itu, lanjut Ali, F dan A terpaksa harus bekerja serabutan, seperti mencoba peruntungan dengan mengumpulkan batuan sisa tambang, dengan harapan bisa dijual untuk bertahan hidup dan membayar hutang mingguan. Namun mereka ditangkap oleh Gakkum dan Balai Besar TN Lore Lindu dan pekerjaan ini baru pertama dilakukan.

"Bapak F dan Bapak A adalah tulang punggung keluarga yang harus menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Sehingga sontak setelah ditahan, keluarga tak lagi memiliki sumber pendapatan sama sekali, karena kehilangan satu-satunya tenaga yang selama ini bekerja untuk mencari nafkah," ujar Ali.

Lahan masyarakat jadi kawasan TN Lore Lindu

Ali menguraikan, sejak 2017 Pemerintah Jerman melalui Bank Kreditanstalt Für Wiederaufbau (KFW) mendanai Projek Forest Programme III yang bertajuk Sulawesi Collaborative Integrated Management of the Lore Lindu Landscape, yaitu sebuah projek Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di wilayah TN Lore Lindu di Sulteng dengan total nilai kerjasama 14.850.000 euro. Kerja sama itu terdiri dari 13,5 juta euro bersumber dari KFW sendiri dan 10% sisanya yaitu 1.350.000 euro bersumber dari penyertaan pembiayaan Pemerintah Indonesia.

Dalam melaksanakan proyek ini, Direktorat Perencanaan Kawasan Konservasi di bawah Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) ditunjuk sebagai Badan Pelaksana Proyek/Project Implementing Agency (BPP/PEA), sedangkan Balai Besar TN Lore Lindu, Balai Pengelolaan Daerah ALiran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (BPDASRH) Palu-Poso dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Sulawesi ditunjuk sebagai Unit Pelaksana Proyek/Project Implementation Unit (UPP/PIU).

Semenjak proyek tersebut dijalankan, imbuh Ali, aktivitas monitoring kawasan hutan kerap dilakukan oleh Balai Besar TN Lore Lindu selaku salah satu pelaksana projek (PIU) dengan pemegang alokasi anggaran terbesar ketiga yaitu sebesar 2.472.866 Euro. Tidak hanya melakukan monitoring kawasan, Balai Besar TN Lore Lindu juga melakukan penetapan tapal batas taman nasional yang tidak sedikit mencaplok tanah-tanah milik masyarakat setempat.

"Akibatnya, lahan garapan milik masyarakat yang berada di lingkar kawasan taman nasional semakin menyempit dan bahkan akses masyarakat untuk bisa memanfaatkan sumber daya alam di dalam kawasan hutan seperti sedia kala--sebelum penetapan tapal batas TN Lore Lindu--juga semakin terbatas," kata Ali.

Pembatasan aktivitas masyarakat lingkar taman nasional inilah, yang menurut Ali, berujung pada intimidasi dan kriminalisasi terhadap E, F dan A, dengan tuduhan melakukan aktivitas pertambangan tanpa izin di dalam kawasan taman nasional.

Menurut Ali, penangkapan E, F dan A yang dilakukan Balai Besar TN Lore Lindu, sebagai pelaksana proyek yang dibiayai oleh Bank KFW di Sulteng bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang dijunjung tinggi oleh Bank KFW dalam melaksanakan proyeknya.

Bank Jerman itu diketahui telah menyatakan komitmennya untuk melindungi dan menghormati HAM internasional yang berada dalam lingkup pengaruh dan pekerjaannya, bahkan hal tersebut masuk dalam persyaratan minimum pembiayaan Bank KFW yaitu mematuhi persyaratan lingkungan hidup, sosial dan HAM. Bank KFW juga berkomitmen untuk menegakkan HAM sesuai dengan makna tiga pilar PBB yang meliputi prinsip perlindungan, penghormatan dan pemulihan.

"Oleh sebab itu, kami dari AGRA, menuntut kepada pihak Bank KFW selaku pembiaya proyek harus mendesak Balai Besar TN Lore Lindu selaku pelaksana proyek untuk menghentikan semua proses hukum dan membebaskan tiga petani yang ditangkap sebagai upaya menghormati dan menegakkan HAM," katanya.

Selain itu, masih kata Ali, AGRA mendesak pihak Bank KFW melakukan investigasi dan monitoring langsung atas dampak dari proyek yang dijalankan oleh Balai Besar TN Lore Lindu terhadap masyarakat lingkar taman nasional mulai dari dampak kehilangan hak atas tanah dan hak atas akses untuk memanfaatkan hasil hutan.

"Pihak Bank KFW harus turut bertanggung jawab atas setiap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Balai Besar TN Lore Lindu terhadap hak-hak rakyat lingkar kawasan TN Lore Lindu," ucap Ali.