LIPUTAN KHUSUS:

Riset: Kekeringan Berdampak Buruk pada Anak Indonesia


Penulis : Kennial Laia

Kekeringan membuat anak-anak mengalami infeksi saluran pernapasan akut, stunting, hingga kian berisiko menjadi korban perkawinan anak.

Perubahan Iklim

Jumat, 05 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kekeringan sepanjang 2023 berdampak buruk terhadap anak-anak Indonesia. Menurut Save the Children Indonesia, kekeringan yang berujung pada kelangkaan air dan kelangkaan pangan telah memperburuk masalah kesehatan, gangguan pendidikan anak, serta mengancam kehidupan sehari-hari masyarakat. 

Tata Sudrajat, Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia, mengatakan temuan tersebut merupakan hasil kajian cepat di Lombok Barat, Sumba Timur, dan Kupang, pada November 2023. 

“Banyak anak di daerah terdampak mengalami infeksi saluran pernapasan akut selama kekeringan berkepanjangan dan ini menyebabkan mereka tidak dapat masuk sekolah,” kata Tata, Kamis (4/1/2024). “Belum lagi kerawanan pangan yang mengancam berkontribusi pada angka prevalensi stunting yang tinggi serta risiko angka perkawinan anak yang meningkat karena situasi sulit ini.” 

Dampak kekeringan itu signifikan, terutama karena datang lebih awal dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi kekeringan, yang ditandai oleh kelangkaan air dan perubahan lingkungan, secara langsung memengaruhi ketersediaan sumber daya pangan dan air. Di Lombok Barat, misalnya, debit air minum bersih turun dari 100 liter per detik ke 30 liter per detik sejak Juli 2023. 

Kekeringan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dok BPBD NTB.

Menurut Tata, kelangkaan ini dapat berkontribusi pada kerawanan pangan dan kurangnya keragaman pangan, yang pada akhirnya memengaruhi asupan gizi kelompok rentan, terutama anak-anak di bawah lima tahun. Selain itu, prevalensi stunting di Lombok Barat tetap tinggi hingga 2023, mencapai 13,63%.

Sementara itu masyarakat Sumba Timur harus melakukan perjalanan jauh, sekitar 1,5 - 3 kilometer ke mata air setiap jam 5 pagi. Tak jarang anak-anak juga dilibatkan dalam pengambilan air ini. Di Kupang, tingkat air sumur bor di sejumlah titik mengalami penurunan signifikan, yang mengganggu distribusi air termasuk ke area sawah. Masyarakat juga terpaksa membeli air di desa-desa terdekat. 

Save the Children Indonesia mengatakan, situasi ini menyebabkan peningkatan stres dan tekanan emosional dalam keluarga karena intensifikasi persaingan memperoleh air. Hal ini dapat menyebabkan konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.

Menurut organisasi tersebut, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) telah menerima dan mengelola lebih dari 200 kasus dari Januari hingga Juli 2023, diantaranya kasus kekerasan fisik dan seksual. Dalam beberapa kasus kesehatan mental orangtua dan anak juga harus menjadi perhatian.

Laporan Global Save the Children “Generation Hope” tahun 2022, memaparkan bahwa diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia—atau sepertiga dari populasi anak dunia—hidup dengan kemiskinan yang parah dan risiko iklim yang tinggi. Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami kedua ancaman tersebut.

“Dampak krisis iklim ini menjelaskan bahwa anak-anak menanggung beban yang tidak proporsional, karena tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki faktor-faktor yang membuatnya lebih rentan secara fisik, sosial dan ekonomi,” ujar Tata. 

Tata mengatakan pihaknya mendorong aksi nyata untuk lebih banyak mendiskusikan perubahan iklim dari sisi anak-anak. “Kita perlu mendorong kebijakan dan program untuk membantu anak dan keluarga, terutama yang paling terdampak oleh krisis iklim,” katanya. 

Tahun lalu Indonesia mengalami kekeringan sebagai akibat dari fenomena El Nino. Badan Penanggulangan Bencana mencatat, setidaknya terdapat 166.415 jiwa yang menderita krisis air bersih hingga akhir September 2023 di sejumlah wilayah Indonesia.