LIPUTAN KHUSUS:
10 Provinsi Pencetak Konflik Agraria Tertinggi versi KPA
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Letusan konflik terbanyak, menurut KPA, terjadi di Sumatera Utara (Sumut) dengan 33 konflik dengan luas mencapai 34.090 hektare dan korban terdampak sebanyak 11.148 KK.
Agraria
Rabu, 17 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2023, 241 kejadian konflik agraria meletus di 33 provinsi di Indonesia, mencakup lahan seluas 638.188 hektare, dengan jumlah kepala keluarga (KK) yang terdampak mencapai 135.608 di 346 desa. Dalam laporan tahunannya, KPA mengulas dan menganalisis 10 provinsi tertinggi kejadian konflik agraria di Indonesia.
Letusan konflik terbanyak, menurut KPA, terjadi di Sumatera Utara (Sumut) dengan 33 konflik dengan luas mencapai 34.090 hektare dan korban terdampak sebanyak 11.148 KK. Letusan konflik tersebut tersebar di 25 desa di berbagai kabupaten.
"Dari total konflik tersebut, sebagian besar terjadi di wilayah perkebunan sebanyak 20 letusan konflik agraria seluas 7.681 hektare dengan korban sebanyak 4.875 KK," tulis KPA, dalam Laporan Tahunan Agraria 2023 yang dirilis Senin (15/1/2024) kemarin.
Selanjutnya kejadian akibat pembangunan di sektor properti di Sumut sebanyak 7 letusan seluas 8.321 hektare (5.348 KK), pembangunan infrastruktur menyebabkan 2 letusan seluas 56 hektare (332 KK), industri kehutanan dua letusan seluas 17.320 hektare, dan pertenakan serta fasilitas militer menyebabkan masing-masing 1 letusan konflik, seluas 682 hektare (473 KK) dan 30 hektare (120 KK).
Posisi kedua ditempati Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan jumlah konflik sebanyak 19 kejadian di atas tanah seluas 75.785 hektare dan korban terdampak sebanyak 17.889 KK yang berada di 53 desa. Letusan konflik agraria terbanyak di Sulsel sepanjang 2023 disebabkan oleh sektor pertambangan dengan jumlah 8 kejadian seluas 58.478 hektare.
Penyebab konflik terbanyak selanjutnya adalah perkebunan dengan 4 kejadian seluas 15.658 hektare, kehutanan sebanyak 3 kejadian dengan luas 1.176 hektare, pesisir dan pulau-pulau kecil dengan 2 kejadian seluas 169 hektare. Terakhir, sektor infrastruktur dan properti masing-masing 1 letusan konflik, dengan luas 300 hektare dan 4 hektare.
Posisi ketiga ditempati oleh Provinsi Riau dengan jumlah letusan konflik sebanyak 16 kejadian, dengan luas mencapai 60.955 hektare dan korban terdampak sebanyak 6.992 KK. Kejadian tersebut tersebar di 20 desa di berbagai kabupaten.
Letusan konflik di provinsi ini mayoritas disumbangkan oleh sektor perkebunan dengan jumlah 10 letusan konflik di atas tanah seluas 7.598 hektare dan korban terdampak mencapai 2.795 KK. Selanjutnya sektor kehutanan dengan jumlah letusan sebanyak 5 kejadian dengan luas mencapai 53.112,7 hektare dan korban terdampak sebanyak 4.197 KK.
"Terakhir, pembangunan di bidang properti akibat klaim aset PT Pertamina dengan luas 244 hektare," kata KPA.
Berikutnya pada posisi keempat provinsi penyumbang konflik tertinggi 2023 adalah Provinsi Jambi. Provinsi tersebut menyumbangkan 15 letusan konflik agraria dengan luas 22.433 hektare dan korban terdampak sebanyak 6.061 KK yang berada di 20 desa.
Letusan konflik ini masih didominasi perkebunan sawit dengan total kejadian sebanyak 13 kali dengan luas mencapai 22.428 hektare dan korban terdampak sebanyak 6.053 KK. Terakhir, konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur sebanyak 2 kejadian dengan luas 5 hektare dengan total korban sebanyak 8 KK.
"Provinsi Kalimantan Timur dan Bengkulu masing-masing mengumpulkan 12 letusan konflik agraria," ujar KPA.
Namun secara luas, konflik agraria di Kaltim lebih luas mencapai 251.259 hektare dengan korban terdampak sebanyak 3.885 KK yang berada di 10 desa. Sementara di Provinsi Bengkulu konflik agraria terjadi di atas tanah seluas 9.241 hektare dengan korban terdampak sebanyak 4.186 KK yang berada di 23 desa.
Konflik agraria di Kaltim mayoritas disebabkan oleh pembangunan infrastruktur dengan lima kejadian seluas 251.259,3 hektare dan korban terdampak sebanyak 3.885 KK. Selanjutnya industri tambang batu bara sebanyak 3 kejadian konflik dengan luas konflik mencapai 11.000 hektare dan korban terdampak mencapai 3.222 KK. Terakhir, sektor perkebunan (256,7 hektare), kehutanan properti (83,6 hektare), dan fasilitas militer (6 hektare) masing-masing menyebabkan 1 letusan konflik.
Di Provinsi Bengkulu, letusan konflik agraria semuanya disebabkan operasi perusahaan perkebunan dengan 12 kejadian konflik seluas 9.241 hektare dan korban terdampak mencapai 4.186 KK yang berada di 23 desa di berbagai kabupaten. Dari total kejadian konflik tersebut, 11 di antaranya disebabkan oleh operasi perkebunan swasta dengan luas 8.337 hektare dengan korban terdampak sebanyak 4.186 kepala keluarga.
"Satunya lagi disebabkan operasi perusahaan plat merah, yakni PTPN VII yang berkonflik dengan warga Desa Urai, Ketahun, Bengkulu Utara dengan luas mencapai 903,6 hektare," kata KPA.
Selanjutnya Provinsi Jawa Timur dengan 11 kejadian konflik seluas 14.731 hektare dan korban terdampak mencapai 2.950 KK yang berada di 12 desa. Sektor pertambangan (12.835 hektare), perkebunan (521 hektare), fasilitas militer (292 hektare), infrastruktur (1.027 hektare) dan properti (15 hektare) masing-masing menyumbang 2 kejadian konflik. Sedangkan 1 letusan konflik lagi terjadi di sektor pesisir dan pulau-pulau kecil seluas 41 hektare.
"Berikutnya Provinsi Jawa Barat, Kepulauan Riau dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan masing-masing mencatatkan 10 kejadian konflik sepanjang 2023," ujar KPA.
Di Provinsi Jawa Barat, letusan konflik tersebut tercatat seluas 475 hektare dengan korban terdampak sebanyak 2.464 KK yang berada di 10 desa. Letusan konflik tersebut mayoritas disebabkan pengembangan bisnis properti yang menyebabkan 7 letusan konflik dengan luas 47 hektare dan korban terdampak sebanyak 1.864 KK. Selanjutnya konflik agraria di sektor perkebunan dengan 2 letusan konflik seluas 428 hektare dan korban terdampak sebanyak 600 kepala keluarga. Berikutnya sektor infrastruktur dengan catatan 1 kejadian konflik.
Di Provinsi Kepulauan Riau, letusan konflik tercatat seluas 16.674 hektare dengan korban terdampak sebanyak 9.750 KK. Kejadian konflik di provinsi ini didominasi oleh sektor properti seperti kawasan industri dan perumahan dengan 9 letusan konflik seluas 16.652 hektare dan korban terdampak sebanyak 9.450 KK. Satu lagi letusan konflik di sektor infrastruktur dengan luas 22 hektare dan korban terdampak mencapai 300 KK.
"Di NTT, 10 letusan konflik yang terjadi tersebut tercatat seluas 2.209 hektare dan korban terdampak sebanyak 2.623 KK. Konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur tercatat paling tinggi dengan 7 kejadian konflik di atas tanah seluas 1.330 hektare dan korban terdampak sebanyak 2.284 orang," ungkap KPA.