LIPUTAN KHUSUS:

Hari ini Dewan HAM PBB Bahas Dugaan Pelanggaran 3 PLTU di Sumatra


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ketiga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tersebut adalah PLTU Nagan Raya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, PLTU Pangkalan Susu di Sumatera Utara, dan PLTU Teluk Sepang di Bengkulu yang didanai badan usaha dan Pemerintah China.

PLTU

Selasa, 23 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Konsorsium Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) melaporkan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia di tiga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Pulau Sumatra yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Bengkulu, yang disokong pendanaannya dari badan usaha dan Pemerintah China. Gabungan organisasi non-pemerintah yang berbasis di Pulau Sumatra itu melaporkan dugaan pelanggaran HAM tersebut kepada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Laporan ini disampaikan melalui mekanisme empat tahunan yaitu Universal Periodic Review (UPR) atau Peninjauan Berkala Universal bagi 193 negara anggota PBB.

Dalam mekanisme ini ada 48 negara yang ditinjau setiap tahunnya dalam tiga sesi Kelompok Kerja Peninjauan Berkala Universal (UPR) Dewan HAM PBB, dengan 16 negara meninjau dalam setiap sesinya. Salah satu dari 48 negara yang ditinjau pada tahun ini adalah China.

Laporan Konsorsium STuEB menyebut telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berupa hak hidup dan kesehatan, hak atas lingkungan dan hak atas mata pencaharian atau hak ekonomi warga yang tinggal di sekitar proyek PLTU Nagan Raya Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, PLTU Pangkalan Susu Sumatera Utara dan PLTU Teluk Sepang Bengkulu yang didanai badan usaha dan Pemerintah China.

Aksi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi #bersihkanindonesia di sekitar PLTU Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara./Foto: Trend Asia

Dua lembaga keuangan yang menyediakan dana pinjaman untuk proyek PLTU di Pulau Sumatra adalah Industrial Commercial Bank of China (ICBC) dan Export Import Bank of China. Kedua bank ini telah meminjamkan dana USD270 juta untuk PLTU Teluk Sepang, USD373 juta untuk PLTU Pangkalan Susu dan setidaknya USD124,34 juta untuk PLTU Nagan Raya.

Laporan itu disampaikan ke Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM atau Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) pada Juli 2023, sesuai dengan tenggat waktu penyampaian laporan. Laporan konsorsium ini kemudian diterima oleh Kelompok Kerja Peninjauan Berkala Universal (UPR) dan dibahas hari ini, Selasa 23 Januari 2024 di Markas PBB Jenewa.

Mimi Surbakti, Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari, Sumatera Utara, yang merupakan anggota Konsorsium STuEB mengatakan PLTU Pangkalan Susu yang berdiri sejak 2015 diduga telah melanggar hak hidup dan kesehatan, hak atas mata pencaharian dan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.

“Ada 659 nelayan tradisional yang tersingkir dari perairan sekitar proyek PLTU Pangkalan Susu sehingga mereka kehilangan sumber mata pencaharian, padahal sudah puluhan tahun mereka hidup dari laut,” kata Mimi.

Ia juga menyoroti kondisi cerobong PLTU Pangkalan Susu yang mengeluarkan abu tebal, yang diduga tanpa alat penyaring atau filter, yang dikeluhkan warga. Mimi mengaku sudah pernah melaporkan abu tebal yang dihasilkan cerobong asap PLTU itu ke Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), namun tidak ada tanggapan.

Masyarakat di Bengkulu, juga telah menyuarakan penolakan keberadaan PLTU Teluk Sepang Bengkulu sejak awal pendirian proyek pada 2016. Bahkan izin lingkungan PT Tenaga Listrik Bengkulu telah digugat warga ke Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN), namun warga kalah.

Ketua Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar, mengatakan proyek PLTU batu bara Teluk Sepang yang didanai Industrial Commercial Bank of China (ICBC) dan Export Import Bank of China ini telah membuat nelayan Kelurahan Teluk Sepang kehilangan sumber ekonomi dan justru mendapat penyakit.

“Sejak PLTU beroperasi ada 39 orang warga Teluk Sepang yang terkena penyakit kulit yang sulit sembuh dan kondisi ini belum pernah terjadi,” kata Ali.

Ali mengatakan PT Tenaga Listrik Bengkulu juga telah tiga kali mendapat sanksi administrasi dari KLHK akibat ketidaktaatan terhadap aturan pengelolaan lingkungan. Sanksi administrasi pertama adalah perbaikan pengelolaan air bahang, termasuk rekonstruksi kolam pendingin air bahang yang hancur diterjang gelombang, perbaikan pengelolaan limbah fly ash and bottom ash (FABA), dan sanksi perbaikan bangunan penahan panas air bahang yang rusak akibat abrasi.

Tapi, meski sudah mendapatkan tiga kali sanksi administrasi, berdasarkan pantauan lapangan, PT Tenaga Listrik Bengkulu sama sekali tidak menunjukkan kemajuan apapun untuk memperbaiki sistem pembuangan limbah air bahang dan pengelolaan limbah FABA. Justru PT TLB membuang limbah FABA ke kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulau Baai.

Di Nagan Raya Aceh, keberadaan proyek PLTU juga telah membuat 35 kepala keluarga warga Desa Suok Puntong terpaksa pindah akibat lingkungan yang dipenuhi debu angkutan batu bara. Zaidun Abdi dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, mengatakan warga tidak punya pilihan lain kecuali pindah dengan ganti rugi yang ditawarkan perusahaan karena tidak tahan menghirup debu angkutan batu bara setiap hari.

PT PLN dan Sinohydro Co. Ltd pemilik proyek PLTU Nagan Raya juga membuang limbah air bahang ke laut dengan suhu rata-rata 35 derajat Celcius yang bertentangan dengan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No.51 pasal 3 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air.

Situasi di tapak PLTU batu bara di tiga provinsi ini menggambarkan bahwa perusahaan dari China dan perusahaan swasta Indonesia, telah mengabaikan hak-hak asasi warga negara Republik Indonesia, terutama yang tinggal di sekitar pembangkit. Mereka kehilangan sumber penghidupannya dan kesehatannya. Dua faktor ini akan menyebabkan warga yang tinggal disekitar pembangkit kehilangan masa depan.

Hal ini kemudian menjadi dasar Konsorsium STuEB membuat laporan kepada Komisaris Tinggi PBB untuk HAM atau OHCHR dan meminta OHCHR mendesak China untuk melaksanakan Deklarasi Universal HAM dan Kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi sosial dan budaya, membentuk sistem dan mekanisme pengaduan yang bertujuan memastikan setiap proyek yang didukung China tidak melanggar HAM dan memastikan China melakukan evaluasi secara rutin dari setiap proyek yang didukung, serta melakukan perbaikan dari setiap proyek yang telah melanggar HAM.

Konsorsium menyampaikan sejumlah tuntutan dan rekomendasi. Yang pertama, melakukan pencarian fakta lapangan dengan mengirimkan tim pencari fakta yang independen untuk memastikan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM utamanya di sekitar PLTU.

Yang kedua, merekomendasikan kepada perusahaan dari China untuk melaksanakan perbaikan atas pelanggaran yang telah dilakukan di PLTU batu bara Teluk Sepang Bengkulu, PLTU Pangkalan Susu Sumatera Utara dan PLTU Nagan Raya Aceh.

Ketiga, melakukan pemulihan baik lingkungan, ekonomi maupun kesehatan warga akibat kesalahan pengelolaan PLTU. Keempat, melakukan monitoring secara ketat dengan menunjuk tim independen yang mewakili seluruh pemangku kepentingan

Kemudian yang kelima, meminta kepada semua perusahaan untuk menyampaikan laporan pengelolaan dan pengendalian lingkungan kepada semua pihak terutama komunitas yang berada di sekitar pembangkit. Terakhir, meminta kepada perusahaan untuk menghormati hak-hak masyarakat yang ada di sekitar perusahaan terutama hak masyarakat adat.