LIPUTAN KHUSUS:
Hilirisasi Mas Gibran: Mantra atau Halu?
Penulis : Gilang Helindro
Ekomarin dan Jatam menemukan, di Teluk Weda hilirisasi melupakan keadilan bagi masalah sosial-ekologis dan bahkan mengabaikan isu pembangunan berkelanjutan.
Kelautan
Rabu, 24 Januari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Istilah hilirisasi menjadi mantra Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk menuju masa depan Indonesia. "Saya tidak akan pernah bosan-bosan membahas hilirisasi. Dengan hilirisasi kita akan keluar dari middle income trap. Dengan hilirisasi kita akan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri," kata Gibran dalam pernyataan pemungkas Debat Cawapres yang juga disiarkan Betahita, Ahad (21/1).
Namun, Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) menilai, pernyataan tersebut melupakan keadilan bagi masalah sosial-ekologis dan bahkan mengabaikan isu pembangunan berkelanjutan. Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional Ekomarin dalam penelitian Atas Nama Transisi Energi: Neo-Ekstraktivisme Nikel di Teluk Weda dan Dampaknya pada Komunitas Perikanan Skala Kecil mencontohkan, aktivitas pertambangan nikel PT IWIP merupakan sebuah moda perampasan ruang hidup nelayan dan komunitas pesisir atas nama transisi energi.
“Kita lihat komunitas pesisir dan nelayan tersingkir dari zona tangkapan ikan karena penebangan hutan mangrove, indikasi pencemaran logam berat,” kata Marthin, Selasa, 23 Januari 2024. “Aktivitas kapal tongkang antarpulau pengangkut stockpile nikel yang masif, hingga larangan pihak perusahaan kepada siapa pun yang menangkap ikan di sekitar areal perusahaan.”
Temuan lain, kata Marthin, menunjukkan peminggiran perikanan skala kecil semakin diperparah dengan tercemarnya hulu-hilir sungai yang menjadi sumber mata air masyarakat akibat ekspansi perusahaan.
“Tersingkirnya nelayan dari zona tangkapan ikan alhasil membuat mereka saat ini menjalankan usaha pertokoan dan kos-kosan di sekitar kawasan industri,” ungkap Marthin.
Marthin menambahkan, pada aspek kultural, perilaku makan ikan yang menjadi kebiasaan sehari-hari juga perlahan memudar, digantikan dengan makanan berbahan dasar ayam dan daging seturut kedatangan para pedagang makanan dari daerah Jawa yang turut membentuk pola konsumsi pangan yang berbeda.
Muhammad Taufik, Direktur Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, menduga aktivitas membuang limbah cairan panas ke Laut Bahodopi menjadi penyebab masyarakat pesisir kehilangan mata pencaharian. Sebelum industri nikel hadir, katanya, sebagian besar masyarakat Dusun Kurisha hidup sebagai nelayan di pesisir laut sekitar.
Setelah kawasan industri beroperasi menyusul konsesi kawasan industri dan izin untuk membuang limbah, termasuk limbah cairan panas ke laut. “Dugaan kami, hasil pendingin dari PLTU batubara yang dibuang ke laut,” katanya.
Jatam Sulteng menemukan, banyak nelayan di Dusun Kurisha tidak bisa lagi menjaring, memancing ikan, dan berburu gurita di laut, dari pekarangan rumah mereka.
Kini, kata Taufik, nelayan terpaksa mengeluarkan biaya operasional dua kali lipat, dengan konsekuensi melaut sampai di tempat jauh, menginap di perairan wilayah lain.
Jatam berangapan pemerintah hanya mengejar untung dari penetapan proyek strategi nasional, namun mengabaikan standarisasi kelayakan wilayah industri di sekitar pemukiman warga. Jadi, hilirasi mantra atau halu (keinginan, bahasa Suomi, Finlandia)?