LIPUTAN KHUSUS:

Luhut dan Bahlil Serang Tom Lembong, Tapi Tak Bicara Derita Nikel


Penulis : Aryo Bhawono

Saling serang soal hilirisasi hanya menggambarkan tabiat elit politik soal kepentingan industri bukan soal dampak yang dirasakan masyarakat sekitar tambang dan smelter nikel.

Tambang

Senin, 29 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pernyataan co-captain Timnas Anies-Muhaimin, Thomas Lembong, soal hilirisasi nikel berimbas oversupply dan membikin harga nikel jatuh di penggalan Podcast Total Politik berbalas serangan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, dan Menteri Investasi/ BKPM, Bahlil Lahadalia. Sayangnya saling serang ini tak menyebut derita rakyat karena hilirisasi. 

Tom, nama sapaan Thomas Lembong, bilang pembangunan smelter secara masif di dalam negeri berpotensi menyebabkan kelebihan suplai nikel, sehingga harga hasil tambang mineral itu akan jatuh. Kini pun produsen mobil Tesla di China, kata dia, telah menggunakan LFP (Lithium Ferro Phosphate), 100 persen dan tidak lagi menggunakan nikel. 

Bahlil dan Luhut lantas kompak menyerang balik Tom soal hilirisasi nikel dan kendaraan listrik. 

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menganggap pernyataan Tom dan serangan Luhut bersama Bahlil hanya menggambarkan tabiat elit politik soal kepentingan industri. Mereka justru sama sekali tidak membicarakan dampak yang dirasakan masyarakat sekitar tambang dan smelter nikel. 

Tiga orang bocah melihat aktivitas tambang nikel di Morowali. Sumber Foto: Green Justice Indonesia

“Hilirisasi itu telah memicu perluasan pembongkaran nikel yang berdampak pada lenyapnya ruang produksi warga, pencemaran sumber air dan perairan laut, perusakan kawasan hutan yang memicu deforestasi, terganggunya kesehatan warga, hingga kekerasan dan kriminalisasi, serta kecelakaan kerja yang berujung pada kematian,” ucap Juru Kampanye Jatam, Alfarhat Kasman, dalam rilis pers pada Jumat (26/1/2024). 

Situasi itu terjadi di hampir seluruh kawasan industri, baik di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, PT Gunbuster Nickel Industry di Morowali Utara, Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, hingga Kawasan Industri di Pulau Obi yang dikendalikan Harita Group. 

Alfarhat menyebutkan ribut-ribut elit politik ini sekedar menggambarkan perebutan kekuasaan pada Pemilu 2024, bukan mengkritisi membongkar borok proyek hilirisasi andalan Presiden Jokowi yang ugal-ugalan. 

Selain itu, menurutnya kepentingan bisnis Bahlil dan Luhut, sejumlah pengusaha, dan elit politik yang tersebar di tiga pasangan capres-cawapres Pemilu 2024 juga terganggu.

“Bahlil, misalnya, terhubung ke PT Meta Mineral Pradana, perusahaan tambang nikel yang memiliki dua izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Pemegang saham perusahaan ini dimiliki oleh PT Rifa Capital (10%) dan PT Papua Bersama Unggul (90%), milik Bahlil,” kata dia.

Sementara Luhut, menurut penelusuran Jatam, memiliki relasi dengan PT Energi Kreasi Bersama (Electrum), perusahaan patungan antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) dan PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), milik Luhut. Electrum berfokus pada pengembangan ekosistem dan industri kendaran listrik secara terintegrasi dari hulu ke hilir, meliputi manufaktur sepeda motor listrik, teknologi pembuatan baterai, infrastruktur penukaran (swap) baterai dan stasiun pengisian daya, hingga pembiayaan.

Melalui GoTo ini pula, kepentingan bisnis Luhut ketemu dengan Garibaldi ‘Boy’ Thohir, yang beberapa hari lalu mengklaim sejumlah taipan mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Boy Thohir tercatat sebagai pemegang saham sekaligus menjabat sebagai Komisaris GoTo.

“Tak ayal jika keramaian itu hanya soal kepentingan mereka sendiri dan kroni serta industri itu sendiri. Parahnya lagi, gaduh nikel itu demi meraup keuntungan politik di Pemilu 2024, tidak dalam rangka mengatasi penderitaan dan kerusakan lingkungan akibat proyek hilirisasi,” ucapnya.

Dipakai atau tidak dipakainya nikel Indonesia oleh Tesla, sama sekali tak berdampak pada pengurangan pembongkaran nikel di Kepulauan Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Sebaliknya, pembongkaran terus berlanjut, mengabaikan derita rakyat dan kerusakan lingkungan yang tak pernah terurus.