LIPUTAN KHUSUS:

Wajah Sebenarnya Hilirisasi Nikel ala Cawapres Menurut OMS


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Menurut masyarakat sipil, hilirisasi, khususnya nikel, telah membuat masyarakat setempat menjadi miskin dan lingkungan hidup semakin hancur. Contohnya seperti yang terjadi di Maluku Utara.

Tambang

Selasa, 30 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kata "hilirisasi" yang berkali-kali disebut dalam Debat Cawapres Pemilu 2024 pada Minggu (21/1/2024) lalu memicu respon negatif organisasi masyarakat sipil (OMS). Menurut mereka, hilirisasi, khususnya nikel, telah membuat masyarakat setempat menjadi miskin dan lingkungan hidup semakin hancur.

Dalam sebuah rilis resminya, koalisi OMS yang terdiri dari Forum Studi Halmahera (Foshal Malut), Walhi Malut (Maluku Utara), Trend Asia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkap sejumlah fakta buruk hilirisasi nikel di di Provinsi Maluku Utara.

Mereka menjelaskan, di Malut, terdapat tiga kawasan hilirisasi industri pengolahan bijih nikel. Dari tiga kawasan itu, dua sudah beroperasi yaitu Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang terintegrasi dengan PT Weda Bay Nikel, di Weda, Halmahera Tengah, sedangkan di Buli, Halmahera Timur pada 2024 ini, rencana dibangun pabrik komponen kendaraan baterai listrik yang diprakarsai oleh konsorsium LG dan konsorsium BUMN; IBC.

Tiga kawasan tersebut mendapatkan karpet merah dari pemerintah dengan ditetapkannya sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Tidak cukup sampai di situ, keistimewaan kembali bergulir diberikan pemerintah kepada kawasan industri hilirisasi nikel ini, yakni ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas) dan membuat kawasan itu begitu ketat dijaga aparat TNI-Polri.

Tampak dari ketinggian kawasan industri terpadu PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Auriga Nusantara.

Tapi sangat disayangkan, kata kelompok organisasi, industri hilirisasi nikel dalam perjalanannya sejak bercokol di Malut kerap memperlihatkan berbagai fakta-fakta yang mengenaskan. Sebab, hilirisasi nikel yang diandalkan serta dipuja pemerintah sebagai sebuah jurus jitu ini justru membunuh lingkungan hidup dan membuat kehidupan warga semakin miskin di tengah berkelindan sumber daya alam, layaknya nikel.

Berikut sejumlah fakta buruk hilirisasi nikel di Malut, menurut kelompok organisasi masyarakat sipil itu:

Pertama, keberadaan industri pengolahan nikel di Malut adalah buah dari kebijakan hilirisasi yang sejak 2015 gencar digaungkan pemerintah dan diklaim berhasil mendongkrak ekonomi Malut. Ekonomi Malut memang tumbuh berdasarkan angka-angka statistik 2023 triwulan dua yaitu mencapai 23,89 persen. Malut lantas menyandang wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di seluruh provinsi di Indonesia, bahkan jauh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. "Namun anehnya, pertumbuhan ekonomi itu tidak selaras dengan angka kemiskinan yang masih terbilang tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Malut, penduduk miskin Malut pada Maret 2022 sebanyak 79.87 ribu orang, kemudian pada September 2022 naik menjadi 82.13 ribu orang, dan pada Maret 2023 naik menjadi 83.80 ribu orang," kata kelompok tersebut, dalam sebuah rilis bersama, Senin (29/1/2024).

Berdasar dari fakta tersebut, kelompok ini kemudian mengartikan bahwa industri hilirisasi nikel yang dibangun dan terpantau begitu agresif melancarkan operasi di Malut sesungguhnya tidak memberikan manfaat ekonomi terhadap warga lokal terutama warga yang tinggal pada sekitar kawasan hilirisasi. Yang terjadi warga justru kehilangan sumber produksi ekonomi seperti, lahan pertanian, kebun maupun wilayah tangkap ikan, sebaliknya mereka yang notabene bukan warga lokal yang menikmati manfaat atas hilirisasi nikel di Malut.

Kedua, kegiatan penambangan nikel di Malut telah menciptakan daya rusak lingkungan hidup yang begitu hebat, kerusakan lingkungan tidak hanya di daratan tapi juga memusnahkan wilayah pesisir dan laut. Seperti pada November-Desember 2023 lalu terjadi dua peristiwa lingkungan hidup yang dianggap bertalian dengan kebijakan hilirisasi nikel, yakni perubahan warna air laut pada pesisir Pulau Garaga, Kepulauan Obi, Halmahera Selatan dan Pesisir dan laut di Kecamatan Maba, Halmahera Timur.

Perubahan air laut dengan tampak merah kecoklatan pada kedua lokasi tersebut ditengarai disebabkan oleh industri nikel. Dengan begitu, daya rusak yang ditimbulkan atas penambangan nikel terus meluas seiring dengan program hilirisasi oleh pemerintah.

Kelompok ini menyebut Halmahera adalah pulau terbesar di Kepulauan Maluku yang menjadi arena balapan buldoser milik perusahaan penambang sejak dua dekade terakhir, aktivitas mengeruk yang cenderung meluluhlantakkan Pulau Halmahera ini terpantau mengalami peningkatan eskalasi yang begitu tajam pada 2018.

"Penambangan bijih nikel juga tak hanya berlangsung di Halmahera, tapi menyasar pada pulau-pulau kecil seperti pulau Gee, Pulau Pakal, Pulau Gebe, dan Pulau Mabuli yang sudah lebih dulu di porak-poranda, termasuk pulau-pulau di Kepulauan Obi yang bernasib sama," ujar kelompok ini.

Padahal eksploitasi alam di pulau-pulau kecil merupakan perbuatan yang disebut kejahatan lingkungan, dimana Pulau Kecil memiliki kerentanan ekologis yang tinggi jika ditambang serta daya pulih yang lambat di mana pulau tersebut merupakan sumber utama kehidupan warga lokal. Tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, aktivitas pertambangan juga memicu konflik sosial antar warga.

Ketiga, hilirisasi nikel secara langsung mengakibatkan deforestasi hutan yang tak terkendali dilakukan oleh perusahaan penambangan bijih nikel. Penambangan bijih nikel didahului dengan aktivitas land clearing atau pembersihan area, karena itu sangat mustahil apabila tidak terjadi kehilangan tutupan hutan. Terutama pada tiga lokasi yang kini terkepung Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel.

"Seperti di Halmahera Timur terdapat 19 izin dengan total luas konsesinya sebesar 101.047,21 hektare, sementara di Halmahera Tengah ada 13 izin dengan luas total konsesi 10.390 hektare," kata mereka.

Sedangkan di Halmahera Selatan, kata kelompok itu, ada 15 izin dengan total luas konsesi sebesar 32.236 hektare. Untuk IUP nikel yang mencaplok dua kawasan administratif sekaligus yakni wilayah Halmahera Timur dan Halmahera Tengah sebanyak 4 izin dengan luas total konsesi sebesar 70.287 hektare.

Dengan demikian kehilangan tutupan hutan, dominan terjadi pada wilayah operasional penambangan bijih nikel. Data analisis spasial Global Forest Watch menunjukkan sejak 2001 hingga 2022, Halmahera Tengah kehilangan sudah 26,1 ribu hektare tutupan pohon yang setara dengan penurunan 12 persen tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 20,9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Sementara untuk di Halmahera Timur, sejak 2001 hingga 2022, telah kehilangan 56,3 ribu hektare tutupan pohon yang setara dengan penurunan 8,9 persen tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 44,5 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e). Kemudian di Halmahera Selatan, sejak 2001 hingga 2022 sudah kehilangan 79,0 ribu hektare tutupan pohon yang setara dengan penurunan 9,9 persen tutupan pohon sejak 2000, dan setara dengan 62,9 Megaton (Mt) emisi ekuivalen karbon dioksida (CO2e).

Keempat, riset Walhi Malut pada Maret sampai April 2023 lalu, bertajuk “Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut Perairan Teluk Weda dan Pulau Obi” memberi kesimpulan bahwa status kualitas air perairan di kawasan Teluk Weda dan Pulau Obi terindikasi mengalami pencemaran dan tingkat pencemaran sudah terakumulasi hingga ke biota laut seperti kima dan ikan.

"Ikan target konsumsi telah terpapar dengan logam berat. Logam berat bersifat toksik dan dapat membahayakan masyarakat sekitar. Kondisi yang sama juga terjadi perairan Teluk Buli, Halmahera Timur," ujar mereka.

Tiga lokasi tersebut, kata mereka, merupakan wilayah yang dekat dengan kawasan industri hilirisasi nikel, seperti Harita Nickel, PT IWIP dan wilayah operasional penambangan nikel PT Aneka Tambang (Antam). Dengan begitu, kondisi perairan serta biota laut yang sudah terindikasi tercemar dan terpapar logam berat diduga kuat ditengarai atas aktivitas industri hilirisasi nikel maupun tambang yang berlangsung.

Kelima, hilirisasi nikel juga secara langsung membuat sungai-sungai hancur seperti Sungai Akejira dan Ake Kobe yang membentang melewati pemukiman Desa Woekop, Desa Worjerana, Desa Kulo Jaya, dan Desa Lukulamo, Weda Tengah, Halmahera Tengah. Yang mana air sugnai-sungai itu tampak berwarna merah kecoklatan, diduga air tersebut terkontaminasi tanah galian ore nikel. Perubahan warna dari kedua air pada aliran sungai itu sudah terjadi sejak 2018 dan masih keruh sampai saat ini.

"Terkontaminasi air dengan ore tambang nikel itu membuat akses warga terhadap kedua sungai itu pupus, padahal semula aliran sungai tersebut merupakan sumber kebutuhan air bersih dengan segala pemenuhan keperluan rumah tangga warga sekitar," kata kelompok tersebut.

Namun, operasi tambang nikel seperti PT Weda Bay Nickel (WBN) yang berada di hulu sungai diduga kuat menjadi biang atas terkontaminasinya air dari jernih ke merah kecoklatan. Selain PT WBN, PT Tekindo Energi juga diduga turut berkontribusi dalam memperkeruh warna air sungai ini.

Tidak hanya kedua sungai di atas, kelompok ini menduga Sungai Sageyen di Kampung Sagea, Kecamata Weda Utara, Halmahera Tengah, juga rundung nasib serupa. Aliran sungai yang terhubung dengan wilayah karst ini juga kerap menunjukkan perubahan warna air yang tampak merah kecoklatan meskipun tanpa ada hujan pada kawasan tersebut.

Perubahan air Sageyen, diduga disebabkan oleh operasi tambang PT WBN di wilayah hulu. Di sisi lain, Sungai Sageyen merupakan objek ekowisata sekaligus sumber air minum warga di kampung Sagea. Peristiwa hancurnya sungai yang berhubungan dengan hilirisasi itu juga terjadi di Sungai Sangaji, Maba, Halmahera Timur serta Sungai Toduku di Obi, Halmahera Selatan.

Keenam, imbas dari hilirisasi nikel juga membuat warga di Kampung Kawasi, Kecamatan Obi Halmahera Selatan terusir dari kampung asalnya oleh Harita Nickel dan pemerintah. Meski Harita Nickel telah membangun kawasan permukiman baru yang disebut mereka sebagai Ecovillage Kawasi, namun kawasan baru ini dibangun di atas timbunan kawasan gambut pesisir yang juga merupakan sumber pangan.

"Banyak warga juga dipaksa meskipun menolak dipindahkan. Apa yang dilakukan oleh Harita ini tidak lain dari merampas ruang hidup warga kampung Kawasi dari tempat tinggalnya," ucap mereka.

Ketujuh, kawasan hilirisasi industri nikel "distempel" sebagai bagian dari agenda “ekonomi hijau” solusi dari krisis iklim, tapi justru masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai tumpuan energi. Pengoperasian PLTU batu bara pada kawasan Industri Nikel Harita di Obi dan PT IWIP di Weda terus berlangsung setiap waktu tanpa henti.

"Bersamaan dengan itu mulut cerobong PLTU terus menyemprot emisi pembakaran ke udara, yang dapat memperburuk kualitas udara serta menimbulkan penyakit bagi manusia, terutama terkena ISPA," kata kelompok ini.

Mereka mencontohkan, di PT IWIP misalnya, kapasitas produksi listrik eksisting PLTU batu bara saat ini sebesar 6.560 MW dan direncanakan penambahan sebesar 760 MW sehingga total pengembangan menjadi 7.320 MW. Di sisi lain, kasus ISPA pada sekitar kawasan tersebut tercatat naik. Data menunjukkan, tercatat pada 2020 kasus ISPA di Lelilef sebanyak 434 orang sedangkan pada 2022 naik menjadi 1.100 orang.

Kedelapan, kelompok ini menyebut penggunaan aparat keamanan Negara dalam obvitnas represif, khususnya tindakan kepolisian mengatasi para warga yang menolak obvitnas di Halmahera Tengah, Malut. Mereka mengungkapkan, kepolisian terus menerus menggunakan kekuatan berlebihan dalam menghadapi warga penolak.

Tindakan represif yang dilakukan itu, mereka anggap sebagai potret nyata atas pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara. Yang mana Negara seharusnya hadir memberikan perlindungan terhadap warga negaranya bukan sebaliknya. Penanganan aksi massa yang terjadi itu merupakan bentuk penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force).

Kelompok ini menjelaskan, tindakan yang diambil tersebut jelas melanggar ketentuan internal kepolisian, salah satunya Peraturan Kepala Kepolisian No. 7 Tahun 2012, yang mewajibkan anggota polri untuk bertindak secara profesional dan menjunjung tinggi HAM dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.

"Selain itu, polisi juga harus menghindari tindakan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, dan melanggar HAM lainnya," tutur mereka.

Berdasarkan sederet fakta di atas, kelompok organisasi masyarakat sipil ini beranggapan program hilirisasi nikel yang sekarang ini berlangsung di Malut merupakan sebuah kebijakan pemerintah yang sesat. Apabila dilanjutkan oleh siapa saja presiden terpilih nanti, sudah pasti akan menambah daftar panjang kerusakan.

Sebaliknya, pemerintah atau presiden terpilih nanti harus melakukan hilirisasi pada komoditas yang digeluti rakyat berupa cengkeh, kopra, pala, dan rempah lainnya, serta kekayaan laut, seperti ikan. Hal ini dipandang sebagai solusi yang dapat mendongkrak ekonomi warga lokal sekaligus menjamin keberlanjutan lingkungan hidup.

"Pemerintah juga harus memulihkan wilayah-wilayah kritis, terutama yang disebabkan oleh kebijakan hilirisasi ini," ucap mereka.