LIPUTAN KHUSUS:

Masyarakat Adat Amungme Minta Tinjau Ulang Amdal Freeport


Penulis : Aryo Bhawono

Kerusakan akibat tambang Freeport selain dirasakan oleh tiga suku, Amungme, Kamoro, dan Sempan, juga dikecap oleh masyarakat adat lainnya di tiga distrik dan 27 kampung pesisir.

Tambang

Kamis, 01 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (Lemasa) meminta Presiden Joko Widodo mengkaji ulang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kedua tambang bawah tanah dan juga tailing PT Freeport.  Kerusakan akibat tambang ini, selain dirasakan oleh tiga suku--Amungme, Kamoro, dan Sempan--juga dikecap oleh masyarakat adat lainnya di tiga distrik dan 27 kampung yang berada di wilayah pesisir dengan perkiraan penduduk 6.484 jiwa.

Permintaan ini disampaikan melalui surat terbuka pada 24 Januari 2024 lalu oleh Amungme Nagawan (Ketua) Lemasa, Menuel John Magal. Masyarakat adat Suku Amungme di lembah Waa, Tsinga, dan Arwanop di Kawasan Nemangkawi terdampak langsung operasi PT Freeport Indonesia. 

“Kami merasa perlu mengungkapkan rasa ketidakadilan, penipuan, kemiskinan, dan  ketidakberdayaan kami,” ucap Menuel seperti dikutip dari Jubi.

Proses Amdal kedua PT FI, menyangkut tambang bawah tanah dan tailing, kini tengah berproses. Namun proses ini tidak melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat dan pemilik gunung suci, tempat PT FI beroperasi. 

Tampak dari ketinggian kondisi sungai di sekitar PT Freeport Indonesia./Foto: PT FI

Bahkan pada studi Amdal 2018 hingga 2021, PT FI tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat yang terdampak secara langsung kegiatan tambang mereka.

“Pihak manajemen PT FI memilih untuk berinteraksi dengan kelompok masyarakat yang bersikap mendukung terhadap keberlanjutan bisnis mereka. Namun kelompok tersebut tidak mewakili secara menyeluruh lapisan yang terkena dampak langsung,” katanya.

Keputusan itu memunculkan pertanyaan terkait inklusivitas proses Amdal yang seharusnya mencakup perspektif dan kepentingan masyarakat.

Menurutnya sejak PT Freeport memasuki wilayah adat Bumi Amungsa Nemangkawi melalui Kontrak Karya Pertama (KK) pada 7 April 1967, tanah keramat Suku Amungme telah dihancurkan, tercemar, dan gunung suci/keramat telah mengalami kerusakan. Kerusakan dimulai dari puncak tertinggi hingga laut dan menyebabkan dampak besar pada lingkungan hidup. 

Kehidupan warga Suku Amungme pun mengalami dampak yang signifikan dengan disertai rasa ketidakadilan, hak-hak dasar masyarakat adat telah diabaikan

“Pada setiap momen bersejarah, seperti KK pertama tahun 1967, KK Kedua tahun 1991, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)  tahun 2018, divestasi saham 51%, perpanjangan IUPK 2018 hingga 2041 yang kemudian diperpanjang hingga 2061, serta proses amdal tidak pernah melibatkan masyarakat adat pemilik hak ulayat dan pemilik gunung suci,” katanya.

Ia menambahkan masyarakat adat Suku Amungme ingin menyampaikan secara langsung, karena mereka merasakan dampak dari kegiatan penambangan PT FI di gunung suci Nemangkawi.

“Bapak Presiden jangan lupa, kami adalah pemilik modal berupa tanah, gunung serta segala aspek alam yang meliputi sungai, hutan, dan tanah adat. Baik yang memiliki kehidupan maupun yang tidak,” katanya.

Ia pun meminta presiden turut campur tangan dalam proses Amdal PT.FI untuk memastikan pembahasan ulang yang transparan dan melibatkan langsung masyarakat terdampak. 

Langkah ini, kata dia, bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan mereka secara terbuka dan jelas serta berorientasi masa depan.

Terpisah, Pegiat Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur (Lepemawi), Adolfina Kuum, menyatakan pembahasan ulang Amdal PT FI sudah menjadi keharusan. Menurutnya hampir tidak ada perbaikan yang dilakukan perusahaan itu atas kerusakan lingkungan dan kerugian yang dirasakan masyarakat.

“Seharusnya ditinjau ulang dan seharusnya di daerah terdampak karena masuk daerah terdampak langsung,” ucapnya melalui sambungan telepon. 

Namun ia menekankan, pelibatan tidak hanya untuk lembaga adat saja melainkan juga seluruh unsur masyarakat. 

Penelitian dan pendampingan yang dilakukan Lepemawi bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan aktivitas PT Freeport berdaya rusak luas dan mendalam terhadap warga sekitar. Laporan mereka berjudul ‘Marabahaya Terbit Dari Timur’ menyebutkan dampak ini tak hanya dialami suku Amungme, Kamoro, dan Sempan, melainkan juga tiga distrik dan 27 kampung di pesisir dengan perkiraan penduduk 6.484 jiwa. 

Mereka kehilangan akses jalur transportasi laut, kehilangan mata pencaharian, kehilangan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat. 

Sebanyak 3.500 penduduk di tiga distrik yaitu Distrik Agimuga, Jita dan Manasari, Mimika Timur Jauh tidak lagi memiliki akses jalur transportasi laut. Sungai yang menjadi jalur transportasi utama mereka mengalami sedimentasi dan pendangkalan akibat pembuangan limbah tailing PT Freeport di Sungai Ajkwa/Wanogong.