LIPUTAN KHUSUS:
Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk Penyusunan Second NDC
Penulis : Kennial Laia
Target iklim dan skenario yang ada saat ini (Enhanced NDC) belum sejalan dengan Perjanjian Paris. Indonesia harus melibatkan masyarakat sipil dalam penyusun NDC keduanya.
Perubahan Iklim
Rabu, 07 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah untuk menetapkan target iklim sesuai dengan Perjanjian Paris yakni ambang batas kenaikan suhu global 1,5 derajat Celcius. Mereka juga meminta agar pemerintah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyiapan Second NDC tersebut.
Saat ini pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menggodok Target Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) kedua untuk penurunan emisi Indonesia pada 2030 dan 2035. Disebut SNDC, kementerian di bawah Siti Nurbaya Bakar itu berencana menyampaikannya pada COP ke-29 di Azerbaijan tahun ini.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan hingga saat ini pemerintah masih menggunakan perhitungan penurunan emisi menggunakan skenario kegiatan bisnis seperti biasa atau business as usual (BAU). Masyarakat sipil memandang ini tidak relevan untuk dijadikan basis perhitungan emisi. Indonesia perlu beralih pada sistem perhitungan yang akurat yaitu menggunakan acuan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan trayektori pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih realistis.
“Meski target penurunan emisi dalam Enhanced NDC (ENDC) terlihat meningkat, tetapi sesungguhnya masih tidak sejalan dengan target pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius. Saat ini, target ENDC hanya membidik penurunan emisi sebesar 31-43 persen saja di bawah BAU,” kata Fabby dalam pernyataan tertulis, Minggu, 4 Februari 2024.
Jika menggunakan perhitungan BAU untuk menetapkan target penurunan emisi dalam NDC selama ini, seharusnya target penurunan emisi Indonesia minimal 60% dari BAU untuk perhitungan dengan upaya sendiri dan 62% dari BAU untuk perhitungan dengan bantuan internasional.
“Jumlah ini belum termasuk penurunan emisi dari sektor pertanian, kehutanan dan lahan,” kata Fabby.
Analisis IESR mengungkap, Indonesia perlu menetapkan target penurunan emisi pada 2030 dengan upaya sendiri sebesar 26% atau 859 MtCO2e, dan 28% dengan bantuan internasional atau 829 MtCO2e. Hitungan berdasarkan emisi tahun 2022 ini dinilai akan berkontribusi pada pembatasan kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.
Indonesia juga perlu menurunkan bauran energi fosil seperti batu bara dan gas dalam sistem energinya. Menurut perhitungan Climate Action Tracker (CAT), bauran batu bara dalam sistem ketenagalistrikan Indonesia harus dikurangi menjadi 7 hingga 16% pada 2030. Indonesia pun harus menurunkan operasi PLTU sebelum 2040. Adapun, gas perlu berkurang menjadi 8 hingga 10% pada 2030 dan berhenti pengoperasiannya pada 2050.
Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, mengatakan pengurangan bauran energi fosil harus digantikan dengan peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 55 hingga 82% pada 2030. Namun di ENDC, yang tercantum bukan target bauran energi terbarukan, melainkan target kapasitas energi terbarukan yang terpasang. IESR menilai hal ini tidak secara jelas menunjukan hubungan dengan penurunan emisi.
Deon mengatakan, target bauran energi terbarukan di sektor kelistrikan yang jelas dapat membantu menghitung berapa besar intensitas emisi sektor ketenagalistrikan pada 2030 untuk mencapai target SDNC. Selain itu, bauran energi terbarukan yang tinggi akan dapat memberikan arah perencanaan ketenagalistrikan yang lebih jelas, termasuk jenis energi terbarukan yang perlu dibangun untuk bisa mengejar kesenjangan saat ini.
“Dengan sisa waktu tujuh tahun, maka jelas PLTS dan PLTB yang punya masa konstruksi singkat seharusnya menjadi prioritas pengembangan untuk mengejar target bauran,” kata Deon.
“Selain itu, intervensi perlu pula dilakukan pada pembangkit listrik fosil dan pentingnya untuk mengurangi bauran energi fosil dengan berbagai strategi seperti pengakhiran operasi PLTU dan atau pengurangan utilisasinya,” ujarnya.
Enam rekomendasi penyusunan SNDC
IESR bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil juga menilai dokumen ENDC -- diterbitkan pada September 2022 -- lalai dalam memasukkan prinsip keadilan iklim. Karena itu mereka mendorong agar penyusunan SNDC dapat mengakomodasi partisipasi yang lebih luas, memberikan perlindungan iklim bagi kelompok masyarakat rentan, serta berlangsung transparan.
Manajer Program Ekonomi Hijau IESR Wira Swadana mengatakan, pemerintah perlu memastikan distribusi beban pengurangan emisi secara adil. “Aktor yang paling banyak mengeluarkan emisi, harus pula mengurangi emisi dengan porsi yang lebih besar,” kata Wira.
“Tidak hanya itu, penyusunan SNDC ini perlu mengedepankan prinsip keadilan iklim yang dapat mengurangi risiko jangka pendek dan jangka panjang serta membagi manfaat, beban, dan risiko secara adil, termasuk bagi komunitas-komunitas yang selama ini termarjinalkan,” katanya.
Masyarakat sipil merekomendasikan pemerintah agar:
- Mempertimbangkan prinsip dari Persetujuan Paris sesuai dengan Article 4 Line 13 dan sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh COP,
- Mempertimbangkan integrasi measurement, reporting, and verification (MRV) bagi pihak-pihak negara-negara berkembang,
- Menanggalkan penggunaan skenario BAU sebagai basis perhitungan penurunan emisi dan beralih menggunakan emisi relatif pada tahun tertentu, dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia yang lebih akurat,
- Menetapkan target iklim selaras Persetujuan Paris,
- Melakukan pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang transparan dan dapat diakses publik,
- Memasukkan dan melaksanakan prinsip keadilan iklim.
Rekomendasi penyusunan Second NDC ini telah diserahkan kepada kementerian dan lembaga terkait.