LIPUTAN KHUSUS:

Iklim Berubah, Konflik Gajah-Manusia Meningkat


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Selain membahayakan manusia maupun gajah, konflik juga dapat menyebabkan kemunduran upaya konservasi.

Spesies

Selasa, 06 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Risiko konflik antara gajah dan manusia diperkirakan akan meningkat akibat perubahan iklim dan faktor lingkungan antropogenik lainnya. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini merupakan penelitian pertama yang mengeksplorasi dampak kenaikan suhu terhadap interaksi antara manusia dan gajah.

Para peneliti mengatakan, konflik manusia dan satwa liar dapat berdampak buruk bagi manusia maupun satwa liar, serta dapat menyebabkan kemunduran upaya konservasi. Sehingga, memahami bagaimana risiko konflik cenderung berubah akibat perubahan iklim seiring dengan berkembangnya pertanian dan populasi manusia, dapat memungkinkan para pegiat konservasi dan pengelola satwa liar untuk mengalokasikan sumber daya mitigasi dan konservasi untuk spesies dan wilayah yang rawan konflik.

“Sampai saat ini, masih sedikit upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bagaimana risiko konflik dengan spesies berbeda dapat berubah dalam intensitas dan distribusi spasial seiring dengan bertambahnya populasi manusia dan semakin intensifnya dampak perubahan iklim,” kata para penulis dalam pengantar studi tersebut.

Analisis ini, kata para peneliti, mengkaji bagaimana proyeksi dampak perubahan iklim, pergeseran jejak pertanian, dan perubahan kepadatan populasi manusia dapat mempengaruhi distribusi dan intensitas konflik dengan dua spesies besar, terancam punah, dan rawan konflik, termasuk gajah Asia dan Afrika.

Anak gajah liar sumatera ditemukan mati di Kabupatem Pelalawan, Provinsi Riau. Foto: BKSDA Riau

"Di sini, kami mengkaji bagaimana proyeksi perubahan kepadatan lahan pertanian, kepadatan populasi manusia, dan kesesuaian iklim akan mengubah tekanan konflik bagi gajah Asia dan Afrika yang terancam punah untuk dijadikan masukan dalam manajemen konflik dalam perubahan iklim," tulis para peneliti.

"Kami menemukan bahwa risiko konflik (kepadatan lahan pertanian dan/atau kepadatan populasi manusia berada pada persentil ke-90 berdasarkan nilai saat ini) meningkat pada 2050," imbuh mereka.

Melalui studi ini para peneliti memetakan risiko konflik manusia-gajah di berbagai habitat gajah. Temuan mereka memberikan gambaran yang mengkhawatirkan, ketika suhu terus meningkat dan perambahan manusia ke habitat gajah meningkat, kemungkinan konflik diperkirakan akan meningkat. Situasi ini merupakan tantangan besar dalam pengelolaan interaksi manusia-satwa liar, yang berdampak pada kelangsungan hidup dan kesejahteraan kedua spesies tersebut.

Dalam sebuah wawancara dengan ABC News, Mia Guarnieri, ahli biologi satwa liar terkenal dan peneliti utama makalah ini, mendefinisikan konflik manusia-gajah sebagai interaksi yang menghasilkan dampak negatif bagi pihak mana pun yang terlibat. Contoh utama dari hal ini adalah penjarahan tanaman, di mana gajah memakan hasil panen, yang berujung pada pembunuhan balasan oleh para petani.

“Hasil terbesar yang kami perhatikan adalah adanya peningkatan risiko konflik bagi kedua spesies ini seiring dengan berlangsungnya perubahan iklim dan peningkatan tersebut lebih besar dalam skenario yang memiliki emisi lebih tinggi dan hambatan yang lebih tinggi terhadap upaya konservasi,” kata Guarnieri.

Pertanian, khususnya pertanian yang menanam benih jagung atau millet--yang merupakan salah satu tanaman favorit gajah--menjadi penyebab banyak konflik serupa. Guarnieri menekankan, dampak buruk dari penjarahan tanaman mencakup hilangnya nyawa gajah dan dampak signifikan terhadap mata pencaharian petani.

Konflik manusia-gajah tidak hanya mengakibatkan kerugian fisik dan ekonomi, namun juga melemahkan upaya konservasi lokal. Upaya-upaya ini sangat penting bagi spesies yang telah mengalami penurunan populasi secara dramatis selama beberapa dekade terakhir akibat hilangnya habitat dan perdagangan gading.

Rekan penulis studi, Patrick Roehrdanz mengatakan, studi ini juga menyoroti bagaimana gajah, yang terkenal dengan kompleksitas perilakunya, merespons berbagai tekanan iklim seperti ketersediaan air. Perubahan ini mempengaruhi pergerakan mereka, mengubah koridor yang mereka ambil. Adaptasi perilaku seperti ini dapat meningkatkan pertemuan dengan populasi manusia, sehingga semakin meningkatkan risiko konflik.