LIPUTAN KHUSUS:
Masyarakat Adat Suku Andio Tolak Tambang Batu Gamping di Banggai
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat adat Andio khawatir aktivitas tambang di Banggai akan membawa kerusakan lingkungan dan situs cagar budaya.
Tambang
Senin, 12 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana operasi tambang, termasuk batu gamping (batu kapur), oleh sejumlah perusahaan di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng) ditolak Masyarakat Adat Suku Andio dan kelompok masyarakat sipil. Mereka khawatir operasi tambang akan mengakibatkan lingkungan rusak.
Dilansir dari laman Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sedikitnya ada lima perusahaan tambang batu gamping yang akan beroperasi di wilayah Banggai. Kelimanya yakni PT Moramo Gamping Makmur di Kecamatan Lamala dan Mantho seluas 2.340 hektare, PT Empros Dharma Jaya di Kecamatan Masama seluas 92,55 hektare, PT Mineral Inti Selaras di desa Ranga-Ranga dan Bantayan seluas 77,25 hektare, PT Giadaya Kapoer Abadi di desa Bantayan dan Ranga-Ranga seluas 99 hektare, PT Patriot Karya Nusantara di desa Ranga-Ranga seluas 97 hektare.
Masyarakat Adat Suku Andio menilai rencana operasi tambang batu gamping itu dapat merusak wilayah adat warisan leluhur yang bernilai historis. Pertambangan juga diyakini akan merusak lingkungan dan areal pertanian yang selama ini menjadi sumber perekonomian warga.
Ismail Anggio, salah seorang tokoh adat Suku Andio menyebut salah satu daerah yang menjadi lokasi pertambangan di Kecamatan Masama, yang selama ini menjadi lumbung pangan di Kabupaten Banggai sejak 1982. Ia khawatir, saat tambang batu kapur dipaksakan beroperasi di daerah tersebut maka akan merusak struktur lahan pertanian bahkan budaya mereka.
“Hal ini yang kita khawatirkan, makanya kita menolak pertambangan di Banggai,” kata Ismail Anggio di kampungnya Desa Masama, Kabupaten Banggai, Sabtu (3/2/2024).
Menurut Ismail, ada empat cagar budaya Suku Andio yang terancam musnah jika perusahaan tambang beroperasi di Banggai. Keempat cagar budaya tersebut adalah Benteng Radjawali di komplek perkebunan Saulean perbatasan Masama dan desa Labotan, Kuburan Ambaraal (tokoh dan pejuang Suku Andio) di Kecamatan Lamala, Kuburan Radjawali (pejuang Suku Andio) di Taugi Ite’ dan Gereja Tua di desa Simpangan.
Ketua Pengurus Daerah AMAN Tompotika, Fainal Djibran, mengatakan rencana aktivitas pertambangan di Kabupaten Banggai yang ditolak oleh Masyarakat Adat Suku Andio patut didukung. Mengingat, daerah itu memiliki sejumlah situs warisan budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
“Kami dukung sikap Masyarakat Adat Suku Andio yang menolak adanya aktivitas pertambangan di Kabupaten Banggai,” kata Fainal.
Fainal menambahkan, penolakan ini dilakukan demi melindungi wilayah adat dari ancaman kerusakan alam akibat pertambangan, karena imbasnya akan merugikan kelestarian alam pengunungan yang masih alami. Menurutnya, pemerintah boleh saja memberikan karpet merah kepada investor pertambangan. Namun masyarakat adat juga harus tetap dilindungi.
“Masyarakat adat tidak boleh diabaikan, manakala pemerintah mendatangkan investor ke satu daerah,” ujarnya.
Suku Andio merupakan salah satu suku minoritas yang berada di lembah Gunung Tompotika, tepatnya di wilayah Kecamatan Masama, Kabupaten Banggai. Suku Andio mendiami wilayah adat yang terbentang dari Lomba hingga Sinsiok di Bantayan.
Keberadaan Suku Andio mulai dikenal sejak pecahnya Kerajaan Tompotika pada 1580. Sedangkan, penamaan ‘Andio’ diambil dari nama seorang pemuda yang memiliki sikap santun, kritis, cerdas dan bijak.
Dalam sebuah keterangan, Bupati Banggai Amirudin Tamoreka, menyatakan Suku Andio merupakan salah satu suku yang eksis di wilayah Kecamatan Masama dan Lamala. Sebelumnya, hanya ada tiga suku di Banggai, namun sekarang sudah bertambah Suku Andio.
“Tadinya kita mengenal ada tiga suku di daerah ini. Banggai, Balantak, dan Saluan. Namun, seiring perjalanan waktu ada satu suku lagi yakni Suku Andio,” kata Bupati Amirudin.
Kekhawatiran kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang di Banggai juga disuarakan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng. Organisasi masyarakat sipil ini bahkan mendesak dilakukannya peninjauan ulang izin tambang di Banggai.
Data Jatam Sulteng menunjukkan ada sekitar 20 perusahaan tambang nikel dan beberapa kegiatan pertambangan batuan mendapatkan izin di Kabupaten Banggai.
“Ancaman pertambangan di Kabupaten Banggai ini tak hanya di sekitar kawasan tambang saja melainkan juga seluruh aliran sungai hingga pesisir,” ucap Moh Taufik, Koodinator Jatam Sulteng, Senin (5/2/ 2024).
Ia mencontohkan tambang milik PT Koninis Fajar Mineral (KFM) di hulu Sungai Pongian, ternyata merusak seluruh kawasan aliran sungai itu hingga ke pesisir. Desa-desa di Kecamatan Bunta terkena imbas lumpur dan di kawasan pesisir terkena dampak, hasil tangkapan mereka berkurang.
Lebih lanjut Taufik menyebutkan, 20 izin pertambangan di kabupaten itu beberapa di antarnaya merupakan tambang nikel dan selebihnya batuan. Meski begitu, baru sekitar 3 perusahaan yang sudah melakukan operasi produksi, namun dampak lingkungannya sudah dirasakan oleh warga.
“Jumlah ini, izin dan yang beroperasi akan terus bertambah, kerusakan berpotensi akan lebih masif. Dan kawasan pesisir akan menerima dampak dua kali lebih besar,” kata dia.
Dampak bencana sudah dirasakan warga sekitar kawasan tambang. Banjir bandang menerjang di lima desa di Kecamatan Bunta pada 2022, yakni Desa Tuntung, Pongian, Nanga Nangaon, Kalaka, dan Salabenda. Lima desa itu berada di kawasan pertambangan nikel yaitu PT Koninis Fajar Mineral (KFM) dan PT Aneka Nusantara Internasional.
Banjir bandang juga terjadi di Desa Huhak di kecamatan yang sama pada 2023 hingga melumpuhkan jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan Banggai dengan Luwuk.