LIPUTAN KHUSUS:
Capres - Cawapres Banyak Buang Gas Selama Kampanye
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Angka emisi mereka tak sejalan dengan gembar-gembor program kebanggaan yang disampaikan para kandidat untuk mengurangi emisi CO2 dalam rangka memerangi krisis iklim.
Iklim
Jumat, 16 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hanya dalam 69 hari kampanye, jejak emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan tiga pasangan calon presiden (capres) - calon wakil presiden (cawapres) mencapai 1.276.342 kg, dari pemakaian penerbangan privat (private jet). Menurut Trend Asia, yang mengukur emisi tersebut, angka tersebut tampak tak sejalan dengan gembar-gembor program kebanggaan yang disampaikan para kandidat untuk mengurangi emisi CO2 dalam rangka memerangi krisis iklim.
Dalam rilisnya, Trend Asia menuturkan, tren gas rumah kaca (GRK) Indonesia periode 2000-2019 menunjukkan sektor energi menjadi penyebab pertama dengan 9.130.242 Gigaton karbondioksida ekuivalen (Gg CO2e) atau 39,18% dari total GRK seluruh sektor sebesar 23.298.154 Gg CO2e. Dari GRK sektor energi terdapat GRK sub-sektor transportasi dalam periode sama sebanyak 2.097.378 Gg CO2e atau 22,97% dari GRK sektor energi.
GRK sub-sektor transportasi tersebut dibagi tiga yaitu penerbangan sipil dengan 166.326 Gg CO2e atau 7,93%; transportasi darat (jalan raya dan kereta api) dengan GRK periode sama 1.926.672 Gg CO2e atau 91,86%; transportasi berbasis navigasi air dengan 4.378 Gg CO2e atau 0,2.
Data tersebut menunjukkan bahwa GRK penerbangan sipil menempati urutan kedua dalam GRK sub-sektor transportasi dengan kontribusi 7,93%. Dibandingkan dengan total GRK seluruh sektor, GRK penerbangan sipil berkontribusi 0,71% selama periode 2000-2019.
Emisi sektor penerbangan sipil merupakan salah satu masalah serius, khususnya dalam penggunaan private jet. Laporan International Energy Agency (IEA) Tahun 2022 menyebutkan bahwa penerbangan berkontribusi 2% pada emisi CO2 secara global dan jumlah emisi yang dihasilkan dari penerbangan privat lebih tinggi dibandingkan penerbangan komersial.
Menurut studi Transport & Environment (2021), polusi per penumpang yang ditimbulkan oleh private jet lebih banyak 5-14 kali dari penerbangan komersial dan private jet 50 kali lebih berpolusi dibanding moda transportasi kereta.
Private jet memiliki daya rusak lebih besar jika dibandingkan moda transportasi lain. Ia lebih polutf karena emisi penerbangan dihitung berdasar jumlah penumpang. Semakin sedikit jumlah penumpang, maka jejak karbon per individu semakin tinggi. Data ini menunjukkan bahwa seharusnya penanganan emisi sektor transportasi seperti penerbangan private menjadi perhatian para kandidat sebagai langkah untuk menekan GRK.
Trend Asia melakukan pemantauan terhadap ketiga pasangan capres-cawapres untuk melihat dampak aktivitas selama kampanye terhadap lingkungan. Fokusnya adalah pada emisi CO2 dari penerbangan yang mereka gunakan, berupa private jet, helikopter, dan pesawat komersial carter.
Metode pemantauan data penerbangan ini dengan mencocokkan jadwal dan lokasi kampanye Pilpres 2024 dari masing-masing pasangan calon (paslon) dengan bandara terdekat atau lapangan terdekat untuk melihat kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut.
Pemantauan dilakukan sejak kampanye, dimulai pada 28 November 2023 sampai 4 Februari 2024 atau selama 69 hari kampanye atau 92% hari kampanye. "Jumlah perjalanan udara yang kami analisa sebanyak 235 kali dengan berbagai tipe pesawat dengan total jarak tempuh 174.108,37 Kilometer (Km). Semuanya penerbangan domestik," ujarnya.
Tapi Trend Asia menyebut, tidak semua perjalanan dapat dianalisis karena keterbatasan data penerbangan dan adanya upaya menyembunyikan data pesawat yang digunakan di domain publik. Trend Asia menduga data penerbangan tersebut lebih banyak dari data yang tersaji untuk publik. Apa yang tersaji ini adalah puncak dari gunung es emisi penerbangan kandidat.
“Jejak karbon dari tiga paslon ini sangat tinggi terkait pemakaian pesawat, sehingga jelas berkontribusi memperparah pemanasan global. Apalagi pemakaian private jet jelas menunjukkan gaya hidup mahal dan mewah para paslon, sementara rakyat sedang menghadapi kesusahan,” kata Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry.
Seharusnya, imbuh Ashov, para capres-cawapres bisa memakai pesawat komersial atau moda alternatif lain yang mungkin dan lebih rendah emisi untuk mengurangi jejak karbon selama kampanye sekaligus untuk menunjukkan komitmen serta arah transisi energi ke depan.
Jumlah total estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama kampanye ini setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan oleh sekitar 37.539 orang di Indonesia atau lebih banyak dari emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dengan asumsi emisi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 kg.
Menurut Zakki Amali, Manajer Riset Trend Asia, terjadi ketimpangan emisi di mana perjalanan semua paslon ini menghasilkan CO2 setara dengan emisi penerbangan domestik warga satu kabupaten di Papua. Zakki bilang hal ini adalah sebuah ironi.
"Para paslon membicarakan masa depan Indonesia di atas private jet, sehingga mereka berjarak dari penderitaan rakyat. Masa depan Indonesia dibicarakan di atas kemewahan yang jauh dari situasi sehari-hari rakyat,” kata Zakki.
Temuan tersebut sangat jelas menunjukkan ketimpangan emisi. World Inequality Database (WID) mengungkapkan, pada 2019 terdapat 10% populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 11,1 ton CO2e ekuivalen per kapita CO2e dari seluruh sektor. Pada tahun sama, 1% populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 38,7 ton CO2e dari seluruh sektor. Sementara itu, dalam periode sama, per kapita di Indonesia menghasilkan 3,3 ton CO2e.
Data ini menunjukkan bahwa emisi dari 10% orang terkaya Indonesia 3 kali lipat dari rata-rata emisi nasional dan 1% orang terkaya mengeluarkan emisi setara emisi dari 12 individu umum. Jejak karbon dua kelompok ini menunjukkan ketimpangan emisi.
Zakki bilang, data tersebut menyoroti ketimpangan yang signifikan dalam emisi gas rumah kaca antara kelompok terkaya dan populasi umum di Indonesia. Kelompok-kelompok terkaya memiliki jejak karbon per kapita yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata nasional.
"Emisi yang dihasilkan oleh kelompok terkaya harus diatasi, misalnya dengan redistribusi kekayaan atau dengan menaikkan pajak untuk orang kaya dan tidak mengulangi kebijakan semacam tax amnesty yang hanya menguntungkan orang kaya,” ujar Zakki.