LIPUTAN KHUSUS:
Lebih Melesat Produksi Nikel dari Produksi Baterai
Penulis : Aryo Bhawono
Menurut ESI, investasi mobil listrik KBLBB, BYD di Indonesia tak berimbas besar karena kebanyakannya menggunakan baterai tanpa nikel.
Energi
Senin, 19 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Indonesia diperkirakan hanya akan memiliki 0,04 persen kapasitas produksi baterai global. Nilai tambah produk nikel di Indonesia masih jauh untuk mencapai produksi baterai.
Studi Energy Shift Institute (ESI) memperkirakan Indonesia hanya akan memiliki 10 gigawatt-hour (GWh) produksi baterai kendaraan listrik pada tahun ini. Sementara kapasitas produksi baterai dunia sebesar 2.800 GWh. Artinya kapasitas yang dimiliki Indonesia kurang dari 0,04 persen.
Ironisnya produksi nikel terus meningkat.
"Kapasitas global diperkirakan meningkat dua kali lipat menuju 2030, sangat jelas Indonesia tertinggal jauh di belakang, meski produksi nikelnya meningkat lebih dari delapan kali lipat sejak 2015," bunyi laporan ESI seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Lembaga itu menilai sebanyak tiga perempat ekspor hilirisasi nikel masih berkaitan dengan industri baja tahan karat.
Meski Indonesia merangkak naik dalam rantai pasok industri baterai dengan meningkatkan nilai tambah nikel dan menjadi pemain kunci dalam industri baterai dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), negara lain sudah berjalan kencang.
Pertumbuhan kapasitas produksi baterai dunia berjalan lebih cepat dari permintaan. Pabrik baterai China beroperasi kurang dari 45 persen kapasitas produksi. Sementara dorongan agresif terjadi dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengembangkan industri mereka.
“Persaingan untuk investasi akan semakin ketat meski dalam pasar yang terus tumbuh," tulis laporan ESI.
Sejauh ini nilai tambah berbagai produk nikel Indonesia berkisar dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya. Namun, angka itu masih di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai.
Permintaan nikel untuk baterai akan terus menanjak seiring adopsi kendaraan listrik. Produsen baterai, sambungnya, lebih condong menempatkan investasi pabrik mereka dengan mengikuti perkembangan pasar kendaraan listrik.
Namun masalahnya adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih lamban.
Masuknya raksasa KBLBB, BYD, untuk berinvestasi di Indonesia pun diyakini ESI tak akan memberikan imbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel.
“Karena model kendaraan mereka yang kebanyakan menggunakan baterai tanpa nikel," tulis laporan ESI.
Saat ini, menurut mereka, Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja tahan karat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai. Para pemangku kepentingan perlu bertanya apakah Indonesia telah benar memperoleh hasil yang optimal untuk sumber daya mineralnya.
"Dengan kapasitas produksi baterai yang sangat kecil, Indonesia tampaknya telah mencapai batas daya tawar hilirisasi nikelnya. Ini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang dan menata kembali rencana ke depan," kata ESI.