LIPUTAN KHUSUS:
Hati-hati Menyasar Kerugian Ekologis Korupsi IUP PT Timah
Penulis : Aryo Bhawono
Kejaksaan Agung menyasar kerugian ekologis kasus dugaan korupsi Izin Usaha Pertambangan PT Timah sebesar Rp 271 Triliun. Namun vonis dua kasus korupsi terdahulu mengecewakan.
Hukum
Selasa, 27 Februari 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kejaksaan Agung memperhitungkan kerugian ekologis mencapai Rp 271 Triliun dan akan menambahkannya sebagai kerugian negara atas kasus dugaan korupsi Izin Usaha Pertambangan PT Timah. Langkah menyasar kerugian ekologis patut didukung namun kejaksaan harus memperkuat kajian saintifik perhitungan ini. Setidaknya dua kasus korupsi yang turut menyasar kerugian ekologis menuai hasil mengecewakan di pengadilan.
Penghitungan kerugian ekologis dilakukan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo, melalui pengamatan citra satelit dari 2015 hingga 2022. Terdapat IUP di darat seluas 349.653,574 hektare di tujuh kabupaten di Provinsi Bangka Belitung.
Sedangkan data luas galian tambang di tujuh kabupaten itu totalnya 170.363,064 ha, sekitar 75.345,751 ha berada di dalam kawasan hutan dan 95.017,313 ha berada di luar kawasan hutan.
Galian tambang dalam kawasan hutan itu berada di hutan lindung (13.875,295 hektare), di hutan produksi tetap (59.847,252 ha), di hutan produksi yang dapat dikonversi (77,830 ha), dan di taman hutan raya (1.238,917 ha).
"Bahkan di taman nasional pun ada, yaitu seluas 306,456 ha," kata Bambang.
Penghitungan kerugian ekologi dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan. Kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah dalam kawasan hutan mencapai Rp 223,36 triliun
Jumlah ini terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologi) sebesar Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 60,27 miliar, dan biaya pemulihan lingkungan Rp5,26 miliar.
Sementara itu, kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan atau di areal penggunaan lain(APL), biaya kerugian lingkungannya sebesar Rp25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp6,62 miliar sehingga totalnya Rp 47,70 triliun.
"Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp 271,06 triliun," kata Bambang.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi menyebut hasil penghitungan kerugian ekologi akan ditambahkan dengan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dalam perkara yang sedang diusut Kejagung, dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah Tbk periode 2015 sampai dengan 2022.
"Saat ini penghitungan kerugian keuangan negara masih berproses, nanti berapa hasilnya akan kami sampaikan," ujar Kuntadi.
Langkah kejaksaan menyasar kerugian ekologis atas kasus korupsi ini patut mendapat didukung. Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebutkan perhitungan menggunakan Permen LHK No 7 Tahun 2014 menghasilkan jumlah yang cukup besar. Pasalnya berbagai perhitungan ini menggunakan berbagai faktor kerugian ekologis.
Perhitungan itu mencakup dana pemulihan, perhitungan pemanfaatan lahan yang seharusnya didapatkan, hilangnya daya dukung, dan dampak atas hilangnya daya dukung lingkungan terhadap lingkungan sekitar.
“Soal daya dukung ini pengertiannya adalah ketika lahan rusak, misalnya hutan lindung, maka apa saja dampaknya terhadap kawasan sekitar. Misalnya hutan lindung itu diperuntukkan untuk menopang kebutuhan air untuk pertanian ataupun kebutuhan lain. Namun yang terjadi adalah penurunan kualitas kawasan sekitar,” ucap Roni.
Namun Roni mengingatkan kejaksaan perlu berhati-hati untuk menyusun pembuktian secara saintifik ini. Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, mengungkapkan setidaknya terdapat dua kasus korupsi yang turut menyasar kerugian ekologis negara. Pertama adalah kasus korupsi pemberian IUP eksplorasi kepada PT Anugrah Harisma Barakah di wilayah Sultra tahun 2008-2014 yang menyeret Gubernur Sulawesi Tenggara saat itu, Nur Alam. Kasus ini ditangani oleh KPK.
Kedua adalah kasus korupsi perizinan lahan yang menyeret Bos PT Duta Palma Group, Surya Darmadi. Pada kasus ini kejaksaan menyebutkan empat perusahaan di bawah Pt Duta Palma Group menyerobot lahan seluas 37.095 ha di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Keempat perusahaan tersebut adalah PT Banyu Bening Utama pada tahun 2003, seta PT Panca Agro Lestari, PT Palma Satu, dan PT Seberida Subur pada tahun 2007.
Pada perkara Nur Alam, KPK menghitung pemulihan lingkungan berdasar penghitungan Permen LHK No 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Total kerugian negara di sektor lingkungan mencapai Rp 2,73 triliun. Tim KPK juga menambah Rp 1,6 triliun lagi dari keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang, PT Anugrah Harisma Barakah (PT AHB). Dengan demikian total kerugian ekonomi negara mencapai Rp 4,3 triliun.
Namun tuntutan ini ditolak oleh hakim di pengadilan tingkat pertama dengan alasan beban kerugian ekologis dan biaya pemulihan lingkungan merupakan tanggung jawab perusahaan, bukan Nur Alam.
“Bahkan pada tingkat kasasi, majelis hakim agung menyebutkan kerugian sebesar Rp 15 triliun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara melainkan murni keuntungan yang diperoleh berdasarkan usaha,” ucap Roni.
Sedangkan pada perkara Surya Darmadi, yang ditangani oleh Kejaksaan Agung, Pengadilan Negeri jakarta Pusat menjatuhkan hukuman uang pengganti Rp 2,238 triliun dan membayar kerugian ekonomi negara Rp 39,7 triliun.
Pada tingkat kasasi, MA menyunat hukuman uang pengganti yang harus ditanggung Surya Darmadi. dari Rp 42 triliun menjadi Rp 2 triliun bagi Surya Darmadi untuk mengembalikan kerugian negara.
Perjalanan dua perkara ini, menurut Roni, harus menjadi perhatian jaksa agar perjalanan kasus dugaan korupsi IUP PT Timah tidak menuai kekecewaan yang sama di pengadilan, baik di tingkat pertama hingga MA.
Ia menyebutkan permasalahan dalam pembuktian kerugian lingkungan ini terjadi karena dalam UU Tindak Pidana Korupsi, kajian saintifik belum masuk dalam daftar bukti. Namun dari berbagai putusan pengadilan, keterangan ahli, dan kajian saintifik bisa menjadi petunjuk hakim.
“Makanya pembuktian saintifik tetap penting, jaksa perlu menghubungkan kerugian perekonomian dengan kerugian ekologis karena di UU Tindak Pidana Korupsi hal itu tidak dijelaskan,” kata dia.