LIPUTAN KHUSUS:
Diadukan Sebagai Biang Deforestasi, Mayawana Terus 'Oke Gas'
Penulis : Kennial Laia
Penggusuran lahan dan konflik akibat aktivitas usaha PT Mayawana Persada terus terjadi, meski organisasi masyarakat sipil telah menyampaikan temuannya kepada Dinas LHK Kalimantan Barat.
Deforestasi
Senin, 11 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Koalisi masyarakat sipil penggiat lingkungan mendesak pemerintah untuk memberikan sanksi tegas terhadap PT Mayawana Persada, perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang beroperasi di Kalimantan Barat. Perusahaan tersebut diduga telah melakukan sejumlah pelanggaran dalam kegiatan usahanya, yang menyebabkan deforestasi, kerusakan ekologis dan habitat orang utan, serta konflik sosial dan pelanggaran hak asasi manusia.
Desakan tersebut disampaikan dalam pertemuan Koalisi yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat, Link-AR Borneo, dan Satya Bumi, dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Barat pada Jumat, 23 Februari 2024. Pertemuan tersebut merupakan tindak lanjut atas penyampaian “Laporan Kerusakan Ekologis dan Pelanggaran HAM PT Mayawana Persada: Ugal-ugalan Ekspansi HTI di Kalimantan Barat” yang disampaikan pada 28 Desember 2023.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat, Hendrikus Adam mengatakan pengamatan di lapangan menemukan bahwa Mayawana terus melakukan penggusuran di kawasan hutan. Karena itu pihaknya mendesak pemerintah pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) maupun provinsi untuk segera menyelesaikan masalah itu dengan sanksi yang tegas bagi perusahaan tersebut.
“Atas laporan ini kami berharap menjadi atensi serius untuk segera diselesaikan dan Masyarakat Adat Dayak Kualan di komunitas yang menjadi korban mendapat keadilan,” kata Adam, Senin, 26 Februari 2024.
“Berdasarkan data dan laporan dugaan pelanggaran yang disampaikan, mestinya sanksi maksimal dapat diberikan dengan serius oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada pihak Perusahaan,” tambah Adam.
PT Mayawana Persada merupakan salah satu anak perusahaan Alan Kusuma Group, dengan izin konsesi seluas 138.710 hektare, yang membentang dari Kabupaten Ketapang hingga Kayong Utara, Kalimantan Barat. Menurut laporan Koalisi, perusahaan ini telah menebangi hutan seluas lebih dari 35.000 hektare, di kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi yang merupakan habitat orang utan dan lahan gambut kaya karbon.
Secara rinci, PT Mayawana Persada menebangi sekitar 20 ribu hektare hutan sepanjang 2016 hingga 2022. Perusahaan tersebut melanjutkan penebangan hutan seluas 14 ribu hektare antara Januari dan Agustus 2023. Pada Oktober 2023, mereka membuka hutan tambahan seluas 2.567 hektare. Sehingga totalnya 35 ribu hektare telah ditebang sejak 2016.
Berdasarkan penelusuran data profil perseroan Koalisi mengungkap bahwa perusahaan di bawah Alan Kusuma Group dikendalikan oleh taipan bernama Suhadi kelahiran Tiongkok beserta keluarga dekatnya hingga 2016-2022. Anggota keluarga dekatnya: Amin Susanto, Jeffrey Susanto, Iwan Susanto, Suhadi, dan Budijuwono Handjaja. Nama-nama ini, kecuali Jeffrey Susanto, tercantum dalam dokumen “Panama Paper” sebagai pemegang saham di perusahaan cangkang yang terdaftar di British Virgin Islands bernama First Asset Management Ltd.
Kepemilikan PT Mayawana Persada mengalami perubahan pada Januari 2023, di mana separuh sahamnya diakuisisi oleh perusahaan Malaysia bernama Green Ascend (M) Sdn Bhd.
Adam mengatakan bahwa dalam pertemuan tersebut Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Barat menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap rencana kerja usaha dan meminta laporan periodik sebagaimana diperintahkan pihak Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK melalui surat yang dikeluarkan pada 12 September 2023 kepada PT Mayawana Persada untuk disampaikan ke Dinas LHK Kalbar.
Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri, mengatakan ekspansi perkebunan kayu PT Mayawana Persada telah merusak gambut dan habitat orang utan serta merampas hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
Laporan Koalisi mengungkap bahwa lebih dari 64% total wilayah konsesi PT Mayawana Persada secara resmi diakui sebagai habitat orang utan. Namun sejak 2021, deforestasi tahunan justru meningkat di konsesi perusahaan, yang sebagian besar terjadi di habitat orang utan dan lahan gambut. Pada 2022, deforestasi di dalam area kerja PT Mayawana bahkan meningkat hingga empat kali lipat dari tahun sebelumnya.
Hasil studi tahun 2022 yang dilakukan Yayasan Palung menunjukkan bahwa di Hutan Lindung Gambut Sungai Paduan–yang berbatasan dengan PT Mayawana di sebelah selatan–terdapat populasi orang utan yang dihuni 61 individu. Yayasan Palung memperkirakan terdapat cukup banyak populasi orangutan di konsesi PT Mayawana Persada, meskipun hal ini harus dikonfirmasi melalui survei lapangan lebih lanjut.
Berdasarkan Peta Kawasan Hidrologis Gambut (KHG), konsesi PT Mayawana Persada juga berada pada KHG Sungai Durian – Sungai Kualan yang memiliki indikatif fungsi lindung ekosistem gambut dan indikatif fungsi budidaya ekosistem gambut.
Koalisi menghitung bahwa PT Mayawana Persada telah membuka dan mengeringkan lahan gambut seluas 14.505 hektare sepanjang periode 2022-Oktober 2023. Artinya, aktivitas perusahaan tersebut telah mengeluarkan 797.775 metrik ton CO2 atau setara dengan 8,7 juta galon bensin yang terbakar.
Tidak hanya itu, Koalisi menyebut perusahaan tersebut juga diduga mengambil alih tanah masyarakat adat secara paksa dan disertai dengan serangkaian tindakan intimidasi dan kriminalisasi hingga menimbulkan konflik. Salah satunya konflik yang terjadi di Dusun Meraban, Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Dia menekankan, hingga pertemuan klarifikasi data atas laporan dugaan pelanggaran yang disampaikan pada Jumat, 23 Februari 2024 tersebut, praktik pembukaan hutan dan lahan masih terus terjadi. Sementara itu tanah adat Bukit Sabar Bubu, yang merupakan wilayah adat Dusun Meraban yang telah dibabat perusahaan yang kini ditanami. Namun tidak kunjung mendapatkan pertanggungjawaban dari perusahaan.
“(Perusahaan) telah merampas tanah milik masyarakat di lima Kecamatan dan 14 Desa di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara,” ujar Ahmad.
Menurut Syukri, praktik usaha PT Mayawana Persada bertentangan dengan cita-cita pemerintah untuk mengurangi deforestasi dan mitigasi perubahan iklim serta penghormatannya terhadap hak asasi manusia. “Pihak KLHK harus memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan tersebut, serta aktor-aktor politik di belakangnya,” katanya.