LIPUTAN KHUSUS:

Rencana Subsidi WTO Diskriminatif Terhadap Nelayan Kecil


Penulis : Gilang Helindro

Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan yang buruk, yang akan merugikan nelayan.

Kelautan

Kamis, 29 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kelompok nelayan kecil dan tradisional, pada 23 Februari 2024, mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia terkait negosiasi perjanjian subsidi perikanan di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) yang akan melarang subsidi bagi nelayan kecil di negara berkembang termasuk Indonesia. 

Dalam rancangan teks WTO yang sedang dibahas, terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang akan dilarang karena berkontribusi pada IUU Fishing, Overcapacity, dan Overfishing. Di antara subsidi yang dilarang adalah bahan bakar minyak, asuransi, biaya pegawai, subsidi peningkatan kapal, teknologi pencarian ikan, subsidi untuk mendukung kegiatan di laut hingga subsidi yang mencakup kerugian penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan. 

Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) dalam keterangan resminya mengungkapkan, pembahasan subsidi perikanan di WTO diskriminatif bagi negara berkembang-kurang berkembang. Maulana mengatakan, subsidi yang seharusnya dapat dipertahankan oleh negara berkembang termasuk Indonesia justru dibatasi bahkan dilarang. 

“Sementara bagi negara maju dan industri perikanan skala besar tetap dapat mempertahankan subsidinya asalkan bisa menerapkan langkah pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Ini sangat diskriminatif dan tidak adil. Karena secara otomatis pengelolaan perikanan di negara maju lebih canggih dan lebih siap”, ungkap Maulana dikutip Senin, 26 Februari 2024. 

Khalil, salah satu nelayan dari Muara Angke, Jakarta Utara, merasa keberatan dengan adanya rencana melanjutkan pembangunan permukiman di Pulau G. Foto:Gilang/Betahita.id

Menurut Maulana, WTO selama ini mau mendorong perubahan subsidi perikanan yang selama ini diberikan oleh negara berkembang, namun ternyata pada ujungnya negosiasi ini hendak melarang pemberian subsidi bagi nelayan kecil. “Itu artinya WTO melakukan intervensi terlalu jauh pada kebijakan nasional, bahkan melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sudah semestinya kita tegas dengan menolak intervensi yang dilakukan WTO itu,” tegas Maulana. 

Dalam naskah WTO, kata Maulana, tidak ada pengecualian yang jelas bagi nelayan kecil di negara berkembang untuk tetap mendapatkan subsidi. Selain nelayan kecil harus dihadapkan pada potensi penghapusan subsidi di WTO, nelayan juga dihadapkan pada kenyataan di lapangan yang hingga saat ini kesulitan dalam mengakses subsidi karena harga mahal dan birokratis. 

Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan bahwa pelarangan subsidi bagi nelayan kecil oleh WTO itu mengancam jutaan hidup nelayan serta masyarakat kecil yang bergantung di sektor perikanan. 

Dani menambahkan, selama ini saja implementasi subsidi bahan bakar kepada nelayan masih tidak tepat sasaran bahkan mahal. Berdasarkan studi KNTI 2021, 82 persen nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu kesulitan mengurus surat rekomendasi dan minimnya infrastruktur distribusi BBM subsidi yang bisa diakses nelayan kecil. 

Pengeluaran terbesar nelayan kecil adalah untuk membeli BBM yang meliputi 60-70 persen  dari total biaya melaut. “Bahkan nelayan kecil membeli BBM dengan harga 30 hingga 40 persen lebih mahal dari harga umum,” kata Dani. 

Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan nelayan kecil adalah nelayan yang domin di Indonesia. Jumlah nelayan kecil di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Sedangkan jumlah perempuan nelayan yang terlibat dalam aktivitas pra-produksi dan pasca produksi perikanan skala kecil mencapai 3,9 juta jiwa.

Menurut Fikerman, kategori nelayan kecil di Indonesia juga sudah jelas, yakni mereka yang menggunakan perahu maksimal 5 GT merujuk UU Perikanan dan 10 GT merujuk UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. 

“Nelayan skala kecil juga menangkap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan dan tidak eksploitatif,” kata Fikerman. 

Fikerman menegaskan, saat ini nelayan di Indonesia tengah menghadapi ketidakpastian untuk bisa melaut dan mendapatkan ikan karena disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah kompetisi ruang antara nelayan kecil dan industri perikanan, penimbunan pantai/reklamasi, pertambangan, hingga perubahan iklim.

“Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan yang buruk, yang akan merugikan rakyat (nelayan) Indonesia,” tegas Fikerman.