LIPUTAN KHUSUS:

BRIN Rekomendasi 6 Jenis Tumbuhan Ini untuk Restorasi Gambut


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut keenam tumbuhan memiliki laju pertumbuhan terbaik dengan tingkat kematian rendah.

Biodiversitas

Minggu, 10 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Para pakar ekologi merekomendasikan enam jenis tumbuhan yang cocok ditanam untuk merestorasi lahan gambut. Tumbuhan-tumbuhan tersebut yakni Acronychia porter, Eugenia clavatum, Calophyllum biflorum, Shorea teysmaniana, Lithocarpus leptogyne, dan Palaquium leiocapum.

Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laode Alhamd, menyebut enam jenis tumbuhan tersebut memiliki laju pertumbuhan terbaik dengan tingkat kematian rendah.

“Jenis-jenis tumbuhan tersebut melengkapi tumbuhan yang sudah dikenal dalam restorasi ekosistem gambut, seperti ramin, jelutung, punak, meranti rawa, balangeran, nyatoh, dan perepat,” kata Laode, pada Jamming Session seri ke-2, secara daring, Kamis (7/3/2024).

Kepala PREE BRIN Anang Setiawan Achmadi mengatakan, Indonesia adalah pemilik hutan rawa gambut tropis atau lebih dikenal dengan ekosistem gambut terluas di dunia, mencapai 13,4 juta hektare. Ekosistem unik yang terbentuk secara alami sejak ribuan tahun lalu ini, menurut Anang, memegang peranan penting sebagai salah satu faktor pengendali perubahan iklim global. Misalnya, pengatur tata air, perosot karbon, dan penyimpan biodiversitas.

Lahan terbakar di Jambi./Foto: Pantau Gambut

“Untuk itu, perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut berbasis riset dan inovasi sangat penting dan masih menjadi tantangan bersama, baik secara nasional maupun internasional,” katanya.

Peneliti Ahli Utama PREE BRIN Budi Hadi Narendra, menambahkan, upaya restorasi lahan gambut dengan fungsi lindung harus diusahakan melalui kegiatan pembasahan dan pemeliharaan kedalaman muka air tanah. Selain itu budidaya pertanian dapat diterapkan dengan menggunakan jenis-jenis tanaman adaptif.

Sebab, lanjut dia, pengelolaan pertanian secara intensif di lahan gambut akan menghasilkan nilai kerapatan gambut yang lebih tinggi. Namun, nilai porositas, kadar air total tanah, dan variabel konduktivitas hidrolik menjadi rendah.

“Kondisi ini menyebabkan degradasi sifat fisik dan hidrolik gambut yang dapat mengurangi fungsi gambut dalam menyimpan, menampung, dan mengalirkan air,” kata Budi.

Berkurangnya fungsi ekosistem gambut, menurut Budi, dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana kekeringan hidrologis dan risiko kebakaran.