Eks Ordal Diduga Giring Subsidi Biodiesel Rp 179 T ke Bos Sawit
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Jumat, 15 Maret 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Industri biodiesel di Indonesia dikuasai oleh segelintir konglomerasi sawit. Tidak hanya itu, mereka turut menikmati subsidi dari pemerintah. Kajian terbaru dari gabungan organisasi masyarakat sipil mengungkap bahwa ratusan triliun telah mengalir ke kocek para raksasa sawit yang memproduksi bahan bakar nabati ini.
Biodiesel adalah minyak dari tumbuhan atau hewan yang digunakan sebagai alternatif pengganti solar. Indonesia sendiri mulai memproduksinya pada 2015. Menurut kajian dari Auriga Nusantara dan Satya Bumi, bahan baku utamanya adalah minyak sawit. Hingga 2023, 100% kebutuhan biodiesel Indonesia dipenuhi oleh industri sawit. Indonesia juga telah mencapai tahap B35 atau solar dengan campuran 35% minyak sawit.
Kajian tersebut menyebut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) telah menggelontorkan subsidi sebesar Rp179 triliun kepada korporasi sawit sepanjang 2015-2023. Uang ini disalurkan kepada 29 perusahaan produsen biodiesel yang tersebar ke dalam 15 kelompok korporasi.
Dengan angka tersebut, kajian menyebut bahwa sebesar 79% dana yang dikelola oleh BPDPKS diberikan kepada perusahaan produsen biodiesel. Dana ini berasal dari pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dari pabrik, yang merupakan sektor hulu.
79% dana yang dikelola oleh BPDPKS diberikan kepada perusahaan produsen biodiesel.
Sebagai perbandingan, sepanjang 2015-2019 BPDPKS hanya menyalurkan rata-rata Rp7-8 triliun per tahun untuk program peremajaan sawit rakyat, berdasarkan kajian Serikat Petani Kelapa Sawit. Pada 2018, dukungan dana yang disalurkan hanya Rp700 miliar atau 1,6% dari dana kelolaan lembaga tersebut.
Menurut Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, perusahaan penerima subsidi ini ditunjuk oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2015.
“Alasan sosiologis dan konteks saat itu adalah bahwa bahan bakar biodiesel masih lebih mahal dari solar. Sementara kita harus beralih dari fosil ke non fosil. Dari sinilah legitimasi soal regulasi dan subsidi tersebut,” kata Andi dalam launching kajian berjudul Politically Exposed Person dalam Jejaring Biodiesel Indonesia, Rabu, 13 Maret 2024.
Tidak hanya itu, ada sejumlah perusahaan yang mendominasi subsidi dibandingkan yang lain. Wilmar mendapatkan subsidi paling besar yakni Rp56,6 triliun. Lalu ada Musim Mas (Rp26,5 triliun), Royal Golden Eagle (Rp21,3 triliun), Permata Hijau (Rp14,9 triliun), dan Sinar Mas (Rp14 triliun). Kelimanya merupakan raksasa sawit di Indonesia.
Secara khusus kajian menyoroti Jhonlin Group, yang baru mendapatkan alokasi biodiesel pada 2022 namun jumlah yang diterima telah mencapai Rp1,8 triliun.
Di sisi lain, pemerintah maupun BPDPKS tidak memberikan penjelasan terkait dasar ataupun asesmen terhadap perusahaan yang masuk dalam daftar penerima subsidi biodiesel tersebut. Andi mengatakan tim penulis laporan juga telah mengadakan audiensi dengan lembaga pengelola dana sawit tersebut.
“Pertanyaannya adalah bagaimana subsidi ini masuk ke grup-grup besar ini. Atas dasar apa atau apakah ada kategorisasi tertentu? Mereka ini grup besar, tetapi juga mendapatkan subsidi,” kata Andi.
“Pertanyaannya adalah bagaimana subsidi ini masuk ke grup-grup besar ini?"
“Dalam audiensi kemarin, ternyata kategorisasinya tidak ada. Ini sangat aneh. Dengan subsidi sedemikian besar, namun tidak memiliki asesmen dan kategori, dan kenapa dia bisa menguasai… Ini yang kami kaji, apakah ada kaitan dengan orang di balik industri ini,” kata Andi.
Peneliti Auriga Nusantara, Sesilia Maharani Putri, mengatakan syarat perusahaan untuk dapat menerima subsidi sangat sederhana.
“Di peraturan, perusahaan hanya perlu menyampaikan permohonan, yang isinya bisa membuktikan bahwa jenis bahan bakar nabati yang diproduksi memenuhi standar dan spesifikasi yang ditetapkan. Kedua, menyatakan bahwa perusahaan menjamin ketersediaan bahan bakar nabati secara kesinambungan,” kata Sesilia.
“Jadi secara aturan sesederhana dan hanya formalitas,” ujarnya.
Sesilia mengatakan bahwa saat ini tidak semua perusahaan produsen biodiesel, termasuk skala besar, memiliki laporan ketelusuran atau traceability report. Padahal ini penting untuk memetakan porsi untuk setiap sektor, termasuk industri makanan dan kosmetik. Menurutnya saat ini juga belum ada pemisahan secara khusus biodiesel untuk setiap sektor industri.
"Karena tidak ada pemisahan, kita tidak bisa mengetahui apakah Indonesia bisa memenuhi pasokan biodiesel di masa depan. Bisa jadi ada satu titik ketika biodiesel kebutuhannya semakin besar, sehingga berdampak pada industri lain karena kita tidak bisa memproyeksikan seberapa besar sawit Indonesia bisa menyokong," kata Sesilia.
Sementara itu pada situs resminya, BPDPKS menyebut bahwa “semua perusahaan yang memproduksi biodiesel dan memenuhi syarat administrasi serta produknya memenuhi kualitas yang ditentukan oleh Kementerian ESDM dapat menjadi penyalur biodiesel.” Kemudian besaran insentif yang diterima perusahaan tergantung pada jumlah volume biodiesel yang disalurkan dan selisih kurang antara HIP minyak solar dengan HIP biodiesel yang berlaku pada saat periode penyaluran.
Kajian tersebut mengatakan bahwa keberadaan politically exposed person (PEP) dalam struktur perusahaan membuat perusahaan tersebut memiliki potensi dalam penyalahgunaan kekuasaan, praktek korupsi dan suap serta pencucian uang.
Keberadaan politically exposed person (PEP) dalam struktur perusahaan membuat perusahaan tersebut memiliki potensi dalam penyalahgunaan kekuasaan, praktek korupsi dan suap serta pencucian uang.
Politically Exposed Person adalah "orang perseorangan yang tercatat atau pernah tercatat sebagai penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, memiliki atau pernah memiliki kewenangan publik atau fungsi penting". Definisi ini mengutip Peraturan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemanfaatan Aplikasi Politically Exposed Person. PPATK menggunakan istilah PEP dalam peraturan dan panduan kepatuhan anti pencucian uang.
Agar tujuan dari istilah ini lebih bisa tersebar di publik seluas-luasnya, dan tak tersembunyi dalam akronim yang kerap menghilangkan makna sesungguhnya, Betahita.ID menggunakan istilah eks orang dalam (ordal) untuk sebutan tersebut. Ordal beberapa waktu populer dalam kontestasi pilpres.
Menurut kajian ini, keberadaan bekas ordal dalam struktur kepengurusan maupun pemilik manfaat itu terindikasi memiliki pengaruh terhadap jumlah subsidi yang diterima. “Wilmar yang memiliki lima orang PEP mendapatkan jumlah subsidi paling besar di antara semua grup usaha, sedangkan Jhonlin Group dengan sembilan orang PEP, baru mendapatkan alokasi biodiesel pada 2022 namun jumlah subsidi yang diterima telah mencapai Rp1,8 triliun.”
Keberadaan politically exposed person (PEP) dalam struktur kepengurusan maupun pemilik manfaat itu terindikasi memiliki pengaruh terhadap jumlah subsidi yang diterima.
“Jadi kita mempertanyakan apakah pejabat PEP atau yang memiliki pengaruh memiliki hubungan dengan pemberian subsidi pada grup raksasa ini?” kata Andi.