UMKM Harus Berperan Aktif Turunkan Emisi, Ini Sebabnya

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Senin, 18 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) didorong untuk terlibat dalam upaya pengurangan emisi. Pasalnya sektor ini menghasilkan emisi karbon cukup besar, namun juga menjadi salah satu pilar penting yang mendukung perekonomian Indonesia. 

Menurut studi Institute for Essential Services Reform (IESR), sektor ini menghasilkan emisi terkait energi sebesar 216 MtCO2 pada 2023, atau setara dengan separuh emisi sektor industri nasional pada 2022. 

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, UMKM memiliki peran signifikan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Menurutnya, pengurangan emisi atau dekarbonisasi di seluruh rantai pasok pada sektor UMKM akan membuka peluang UMKM Indonesia bersaing di tingkat global.

“Studi kami menemukan bahwa 95% emisi dari UMKM berasal dari pembakaran energi fosil. Berkaca dari data tersebut, maka pemerintah perlu mulai mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam mendekarbonisasi UMKM,” kata Fabby dalam webinar “Peluang Dekarbonisasi Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia dan Pembelajaran dari Pengalaman Global”, Kamis, 14 Maret 2024. 

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Pemerintah juga perlu mengusulkan strategi dan memberikan bantuan berupa finansial maupun asistensi teknis kepada UMKM agar mampu merencanakan dan mendorong investasi demi menurunkan emisi gas rumah kaca,” ujarnya. 

Dekarbonasi ini dapat dimulai dari industri kecil dan menengah. Menurut kajian IESR dan Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), subsektor ini mengeluarkan emisi yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Di sisi lain, jumlah pekerjanya hingga 100 orang sehingga berpotensi menyediakan lapangan kerja bagi penduduk setempat. Hal ini dapat menjadi acuan untuk memastikan transisi yang adil di tingkat lokal maupun nasional.

Analisis IESR dan LBNL merekomendasikan pemutakhiran teknologi dan elektrifikasi untuk mendekarbonisasi tiga jenis industri kecil dan menengah. Salah satunya adalah melakukan elektrifikasi untuk sektor tekstil dan pakaian. Kemudian sektor konstruksi perlu meningkatkan penggunaan semen rendah karbon, formulasi beton yang inovatif serta mengusulkan peralatan ramah lingkungan kepada pemilik bangunan. Sementara itu sektor industri penyamakan kulit perlu mendorong penetrasi energi terbarukan variabel seperti panel surya dan turbin angin domestik.

Analis Data Energi IESR Abyan Hilmy Yafi mengatakan, dekarbonisasi industri kecil dan menengah memiliki sejumlah manfaat ekonomi. Di antaranya peluang bisnis baru, peningkatan nilai merek, dan menarik kepercayaan pelanggan. Dekarbonisasi juga akan meningkatkan proses produksi, profitabilitas, dan daya saing seiring mengurangi risiko perubahan iklim dan memastikan dampak positif terhadap lingkungan.

Di sisi lain UMKM memerlukan pendampingan terkait kesadaran energi dan efisiensinya. “Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, UMKM dapat menjadi agen perubahan yang mendorong transisi menuju perekonomian yang bersih dan berkelanjutan,” ucap Abyan. 

Ketua Tim Program Pengembangan Industri Hijau Kementerian Perindustrian Achmad Taufik mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengupayakan pendanaan atau investasi hijau bagi industri kecil dan menengah. Menurutnya pemerintah juga masih mendalami beberapa model dan menyusun kajian untuk penguatan penyedia jasa industri hijau. 

“Untuk industri kecil dan menengah dalam upaya untuk dalam bertransformasi menuju industri hijau, kita akan membantu terkait training dan peningkatan kapasitas, akses terhadap teknologi hijau, akses terhadap pasar ataupun menciptakan pasar baru,” ujar Achmad. 

Peneliti Kebijakan Energi dan Lingkungan LBNL, Bo Shen mengatakan, efisiensi energi menjadi daya tarik bagi pasar dalam memilih produk UKM. Di Tiongkok, misalnya, sertifikasi efisiensi energi menjadi dasar bagi perusahaan besar untuk mengambil produk suatu UKM. Di Amerika Serikat, sejumlah universitas membuat pusat penilaian industri yang didanai pemerintah untuk mengetahui estimasi konsumsi energi dan emisi UKM. 

Dalam konteks Indonesia, Shen mengatakan ada tiga cara untuk mendorong penghematan energi yang bisa diterapkan. 

“Di antaranya, tersedianya sistem yang terstandarisasi dan transparan untuk melacak, menilai dan mengkomunikasikan kinerja energi UKM. Kedua, adanya skema evaluasi yang didukung pemerintah dalam peningkatan citra usaha. Ketiga, keberadaan target dekarbonisasi yang jelas bagi pemerintah, perusahaan multinasional dan UKM,” kata Shen. 

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop), UMKM memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 60,5%. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini juga mencapai 97% dari total tenaga kerja pada 2021.