Perempuan dan Anak Perempuan Paling Menderita Saat Kekeringan

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Sabtu, 23 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Perempuan dan anak perempuan adalah kelompok pertama yang menderita ketika kekeringan melanda daerah miskin dan pedesaan, dan strategi air di seluruh dunia harus mencerminkan hal ini, kata PBB dalam permohonannya kepada negara-negara untuk memperbaiki konflik terkait sumber daya air.

Tekanan terhadap sumber daya air, yang diperburuk oleh krisis iklim, serta penggunaan berlebihan dan polusi pada sistem air tawar dunia, merupakan sumber konflik yang besar, menurut laporan terbaru perkembangan air dunia PBB, yang terbit Jumat, 22 Maret 2024. 

Para penulis laporan ini menemukan bahwa dampak dari pembagian air, dan kemungkinan memanfaatkan kerja sama sumber daya air ke dalam strategi perdamaian yang lebih luas, sering kali diabaikan. Kerja sama yang lebih baik mengenai akses air bersih juga akan berperan dalam meningkatkan kehidupan perempuan dan anak perempuan.

Perempuan dan anak perempuan mempunyai tanggung jawab utama dalam pengumpulan air di daerah miskin dan pedesaan di seluruh dunia. Selain itu kurangnya sanitasi yang aman merupakan salah satu faktor penyebab anak perempuan putus sekolah, dan meningkatkan kerentanan mereka dan perempuan dewasa.

Seorang anak perempuan membawa jeriken berisi air dari air mancur, yang berlokasi jauh dari rumahnya di Letefoho, Hatugau, Ermera, Timor Leste. Dok. UNICEF/Bernadino Soares

Audrey Azoulay, Direktur Jenderal Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO), yang menghasilkan laporan tahunan tentang air, mengatakan seiring dengan meningkatnya kekurangan air, risiko konflik lokal atau regional juga meningkat. 

“Pesan UNESCO jelas: jika kita ingin menjaga perdamaian, kita harus bertindak cepat tidak hanya untuk menjaga sumber daya air tetapi juga untuk meningkatkan kerja sama regional dan global di bidang ini,” kata Azoulay, Jumat, 22 Maret 2024.  

Akses terhadap air merupakan isu penting dalam konflik antara Israel dan Hamas di Gaza. Beberapa pengamat menuduh Israel “mempersenjatai” akses terhadap air bersih, karena Gaza bergantung pada Israel untuk sebagian besar pasokan airnya. Ratusan ribu anak-anak berada dalam kondisi kelaparan parah atau hampir kelaparan di Gaza, sementara kekurangan air bersih meningkatkan rasa haus serta mengganggu perawatan medis dan kebersihan.

Laporan perkembangan air dunia tahunan UNESCO tidak menyelidiki konflik-konflik tersebut, karena hal tersebut “terlalu sensitif secara politik”, menurut pemimpin redaksi laporan tersebut, Rick Connor.

Menurut Connor, air sering kali menjadi alat, sasaran, atau korban peperangan, namun biasanya bukan menjadi penyebab perang.

“Sengketa mengenai air dapat terjadi ketika permintaan melebihi pasokan, ketika ketersediaan air terganggu karena polusi, ketika akses terhadap alokasi air dibatasi, atau ketika pasokan air dan layanan sanitasi terganggu,” kata Connor. 

“Perselisihan ini dapat berkisar dari perselisihan hukum hingga perselisihan dengan kekerasan, yang sering kali mencerminkan kondisi sosial, politik, lingkungan, dan demografi yang spesifik pada suatu peristiwa dan lokasi tertentu,” ujarnya.

Dampak dari kekurangan air dan ketegangan atas air termasuk migrasi paksa, kerawanan pangan dan ancaman kesehatan lainnya serta bahaya tertentu bagi perempuan dan anak perempuan, demikian temuan laporan tersebut.

Laporan tersebut menemukan bahwa ketegangan mengenai air memperburuk konflik di seluruh dunia. Namun meski peran air dalam perang sering disebutkan, terlalu sedikit perhatian yang diberikan pada potensi kerja sama terkait air untuk menciptakan atau menjaga perdamaian, menurut Alvaro Lario, presiden Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian yang juga ketua UN-Water.

“Air, jika dikelola secara berkelanjutan dan adil, dapat menjadi sumber perdamaian dan kesejahteraan. Pertanian juga merupakan sumber kehidupan pertanian, pendorong utama sosio-ekonomi bagi miliaran orang,” katanya.

Hanya sedikit kemajuan yang dicapai dalam masalah air dalam beberapa tahun terakhir karena krisis iklim, polusi dan penggunaan sumber daya air tawar yang berlebihan di beberapa daerah telah menambah tekanan terhadap air. 

Hampir separuh populasi dunia tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang higienis, dan sekitar 2,2 miliar orang tidak dapat mengandalkan pasokan air minum yang aman. Tingkat kebutuhan yang tidak terpenuhi di seluruh dunia telah meningkat secara signifikan selama dua dekade terakhir, meskipun telah ditargetkan sebagai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan PBB pada 2030.

Sebaliknya, jika tren ini terus berlanjut, kekurangan air kemungkinan besar akan berdampak pada lebih banyak orang di masa depan. Permintaan air tawar global akan melebihi pasokan sebesar 40% pada akhir dekade ini, menurut temuan awal dari laporan terbesar mengenai air dunia, yang akan diterbitkan pada September ini oleh Komisi Global Ekonomi Air, yang terpisah dari laporan tahunan perkembangan air dunia yang diterbitkan oleh UN-Water.

Pada 2022, sekitar setengah populasi dunia mengalami kelangkaan air yang parah setidaknya selama sebagian tahun, dan antara tahun 2002 dan 2021 kekeringan menimpa lebih dari 1,4 miliar orang.